iklan1
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Pada masa rasulullah masih hidup, yang
bertindak sebagai pemutus perkara dan peleraipertikaian dalam masyarakat adalah
beliau sendiri.
Beliau sebagai referensi tertinggi untukmeminta fatwa dan keputusan. Keputusan beliau itu didasarkan atas wahyu atau sunnah,termasuk musyawarah dengan para sahabat. Sehingga pada masa nabi, setiap persoalan dapatdengan mudah dikembalikan kepada rasulullah.
Beliau sebagai referensi tertinggi untukmeminta fatwa dan keputusan. Keputusan beliau itu didasarkan atas wahyu atau sunnah,termasuk musyawarah dengan para sahabat. Sehingga pada masa nabi, setiap persoalan dapatdengan mudah dikembalikan kepada rasulullah.
Dengan wafatnya nabi muhammad, berhentilah
wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima dari
malaikat jibril baik sewaktu beliau masih berada di makkah maupun setelah
hijrah ke madinah. Demikian juga
halnya dengan sunnah, berakhir dengan meninggalnya rasulullah itu. Kedudukan
nabi Muhammad sebagai utusan tuhan tidak mungkin diganti, tapi tugas beliau
sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh
orang lain. Maka dengan demikian timbullah permasalahan tentang bagaimana cara
pemutus dan pelerai perkara dilaksanakan, dan siapakan yang mempunyai wewenang untuk
memutuskan perkara tersebut.
Periode masa Khulafa’
Ar-Rasyiddin dianggap sebagai periode pertama dalam pembentukan fiqih islam.
Periode ini berawal dari zaman wafatnya Rasulullah SAW dan menghadap Allah pada
tahun 11 hijriah sampai akhir zaman khulafa’ ar-rasyidin pada tahun 40 hijriah
dengan gaya dan corak tersendiri. Setelah hukum-hukum syariat sempurna pada
masa kerasulan, lalu pindah ke zaman para sahabat, mereka harus memikul
tanggung jawab mencari sumber-sumber syariat yang ada agar dapat menjawab
segala perkembangan dan kejadian yang terus berlangsung dan tidak ada nash-nya
dalam Al-quran atau sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemutus
Perkara setelah Wafatnya Nabi
Untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad
sebagai seorang pemimpin ummat dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti
yang disebut khalifah dari kalangan sahabat nabi sendiri. Khalifah adalah suatu kata yang “dipinjam” dari alquran Surat
Al-Baqarah ayat 30 :Artinya :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.” (Q.S. AlBaqarah: 30)[1]
Oleh karena itu, maka sebagai seorang
pengganti nabi, ummat islam secara otomatis menganggap bahwa khalifah juga
bertugas untuk memutuskan perkara yang terjadi di masyarakat. Selain itu, para
shahabat yang terkenal dengan kedalaman ilmunya juga menjadi pemutus
perkara-perkara yang terjadi saat itu, semisal Abdullah ibnu abbas, zaid bin
tsabit, Abdullah ibnu umar di madinah. Abdullah ibnumas’ud di kuffah., Abdullah
ibn amr ibn ash di mesir. Aisyah dan
zadhi yang mashur.Abu musa al asyari dan muadz bin jabal. Mereka terpencar
di beberapa kota dan membimbing peletakan dasar fiqh islami dan
pengembangannya.[2]
B. Metode Pengambilan Keputusan pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa ini sumber tasyri’ islam adalah alquran dan sunnah
rasul. Keduanya disebut nash atau naql. Apabila ada masalah yang tidak
jelas di dalam nash, para sahabat zamn khulafaurrasyidin memakai ijtihad untuk
memperolah hukum yang dicari. Jalan dalam ijtihadnya adalah berpegang pada
ma’quul-annash dan mengeluarkan illah atau hikmah yang dimaksud dari pada nash
itu, kemudian menerapkannya pada semua masalah yang sesuai illahnya dengan
illah yang dinashkan. Hal demikian kemudian dinamakan qiyash. Dalam hal
lain para sahabat bermusyawarah dalam mencari hukum yang tidak ada nashnya,
kemudian mereka sepakat dalam hukum yang mereka temukan dalam suatu masalah
itu, yang kemudian dinamai dengan al-ijmaa’.Para ulama telah menyebutkan bahwa
dari praktek khlafaurrasyidin itu terdapat perluasan dasar tasyri’ islam
disamping khulafaur-rasyidin itu terdapat juga alqiyaash dan al ijmaa’.[3]
Sumber hukum islam yang dipakai pada masa khulafaurrasyidin adalah
:
a. Alquran dan Sunnah
Sepeninggal Nabi,
terjadi banyak permasalahan yang muncul dan harus dipecahkan. Padahal,
para sahabat tidak bisa lagi menanyakan penyelesaian masalah pada nabi
karena nabitelah wafat. Sehingga, mereka sendirilah yang harus memutuskan
penyelesaian masalah tersebut. Keharusan untuk menyelesaiakan permasalahan yang
terjadi ini mendorong umat islam untuk menyelidiki Alquran dan Sunnah. Dalam
berfatwa, para sahabat selalu berpegang pada :
Alquran, karena dialah asas dan tiang agama.Mereka selalu
memahaminya dengan jelas dan terang karena Alquran diturunkan dengan lidah
(bahasa) mereka serta keistimewaan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya dan
ketika itu belum seorangpun selain Arab telah masuk di kalangan mereka.Jika ada masalah yang muncul dan memang sudah ada hukumnya serta kandungan
dalilnya tepat maka mereka akan mengambil ayat ini tanpa bermusyawarah dengan
siap pun dan tidak ada perbedaan sama sekali di antara mereka dalam hal ini. Perbedaan terkadang
muncul dalam beberapa hukum yang diambil dari Al-quran
walaupun tidak ada dalil yang menentangnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
nash yang memiliki makna lebih dari satu.[4]
Sunnah rasulullah. Para sahabat telah sepakat
untuk mengikuti sunnah nabi kapan saja mereka mendapatkannya dan percaya pada
perawi yang benar periwayatannya.Para sahabat selalu
kembali dan mngacu kepada As-Sunnah dalam mengistimbatkan hukum manakala tidak
meemukan nash dalam kitab Allah, karena As-Sunnah adalah sumber yang kedua bagi
perundang-undangan islam setelah Al-Quran. Mengingat As-Sunnah pada saat itu belum
dibukukan, maka yang menjadi rujukan mereka adalah hafalan para sahabat.
b. Ijtihad Shahabat
Namun ternyata
ada masalah yang tidak ditemukan penyelesaiannya dalam Alquran danSunnah.
Hal ini disebabkan karena pada masa nabi, wilayah kekuasaan islam hanya
sebatassemenanjung arabia. Tapi pada masa khulafaur rasyidin, kekuasaan islam
mulai meluas dan membentang keluar dari jazirah arab, meliputi: Mesir, Syiria,
Persia dan Irak.[5] Luasnya
wilayah tersebut menyebabkan kaum Muslimin menghadapi banyak kejadian dan
persoalan yang belum pernah dialami pada masa nabi. Hal ini mendorong umat
muslim untuk berijitihad, yakni mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan
hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan
sunnah nabinya. Ijtihad para sahabat dalam arti luas adalah bahwa mereka
melihat dilalah (indikasi), menganalogi, menganggap hal-hal lain dan lain
sebagainya.
Sebab-sebab adanya ijtihad :
Sebelum adanya ijtihad dan qiyas itu perlu dijelaskan terlebih dahulu yaitu
tentang pemahaman dalil-dalil. Dalil-dalil itu
terbagi menjadi dua macam :
·
Dalil yang
bersifat Qath’i ( pasti dan jelas)
·
Dalil yang
bersifat dhanni (perkiraan dan dugaan berat)
Kalau pada
dalil yang bersifat Qath’i, itu sudah pasti jelas maksud dan hukumnya.Sedangkan
pada dalil yang bersifat dhanni ini masih bisa menimbulkan berbagai macam
penafsiran-penafsiran, disebabkan karena pada dalil-dalil yang bersifat dhanni
ini terdapat ketidakjelasan tentang maksud dan hukumnya.Dalil yang bersifat
dzonni inilah para ulama membuat istilah ijtihad dan qiyas, dengan tujuan untuk
menafsirkan maksud dan hukum yang terdapat pada dalil-dalil dzanni tersebut.[6]
c. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari
umat Nabi Muhammad SAW dalam satu zaman tentang satu masalah syariat.Ijma’
harus berasal dari semua mujtahid, sehingga kesepakatan sebagian ulama saja
tidak dianggap ijma’.Kesepakatan yang melahirkan ijma’ adalah kesepakatan
setiap mujtahid yang ada pada suatu zaman tertentudan tidak disyariatkan harus
kesepakatan semua mujtahid sepanjang zaman.[7]
Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping individual.Dalam melakukan
ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hokum suatu
masalah.Hasil musyawaroh sahabat ini disebut ijma’.Kemudian rasulullah
telah menyediakan metode-metode buat ijtihad bagi mereka, melatih dan meridhoi
mereka serta menetapkan pahala ijtihadnya baik salah maupun benar. Tentang
ijtihad itu boleh dipakai berdasarkan dalil bahwa seorang hakim ketika ia
berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum kemudian benar hasilnya, maka ia
mendapatkan dua pahala. Adapun ketika salah ia mendapatkan satu pahala.
Sebagaimana diriwayatkan Al-Baghawi yang diterima dari maimun bin Mahram,
yaitu suatu gambaran cara-cara mereka melakukan istinbath hukum, ia berkata :
apabila suatu perselihan di ajukan kepada abu bakar, maka ia lihat kitab Allah.
Apabila di temukan di sana hukum yang dapat memutuskan masalah yang
terjadi di antar mereka, maka ia putuskan dengan hukum tersebut. Bila tidak
ditemukan dalm kitab Allah, ia ketahui dari sunnah rasul tantang masalah itu,
maka ia putuskan dengan sunnah tersebut. Bila tidak di temukan jaga ia keluar
dan bertanya pada kaum muslimin: suatu masalah di ajukan padaku, lalu
apakah kalian mengetahui bahwa nabi pernah memutuskan suatu hukum dalam masalah
ini? Terkadang semua golongan berkumpul dan menuturkan suatu kepusan dari rasulullah.Bila tidak
di temukan jaga dari sunnah rasul, maka ia kumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan
orang-orang terpilih untuk bermusyawarah, apabila di peroleh kesepakatan
hukumnya, maka ia putuskan masalah tersebut dengan hasil kesepakatan itu.
Langkah-langkah
yang ditempuh Abu Bakar dalam mengambil keputusan adalah sebagai berikut :[8]
a. Mencari
ketentuan hukum dalam Alquran. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan
yang ada dalam Alquran.
b. Apabila
tidak menemukannya dalam Alquran, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah.Bila
ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada pada sunnah.
Apabila tidak
menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah rasulullah
telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia
memutuskan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah
memenuhi beberapa syarat.
Jika tidak ada
sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan
bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan
diantara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.[9]
d. Ra’yu
Yang dimaksud dengan ra’yi (ijtihad) adalah mencurahkan segala upaya dalam
rangka mencari hukum dan mengeluartkannya dari dalil yang sudah terperinci,
baik dalil berupa nash dari Al-quran atau sunnah atau dalil berupa qiyas,
maslahat mursalah, adat istiadat (‘urf), atau berupa hal yang darurat. Adapun sikap para
sahabat terhadap ra’yi, mereka hadapi yang tidak ada nash yang pasti, baik dari
Al-quran atau sunnah. Pada mulanya mereka ragu untuk menggunakan cara ini,
namun keraguan itu sedikit demi sedikit hilang terutama ketika mereka
bermusyawarah utuk mengumpulkan Al-quran.
Untuk menjawab
persoalan hukum yang baru muncul itu para sahabat terlebih dahulu menunjuk
kepada Alquran dan Al-hadist. Namun bila para sahabat tidak menemukan ketetapan
hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah para sahabat
menggunakan akal pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran islam. Sebagai contoh
dapat diungkapkan siapa yang menjadi khalifah sesudah Nabi Muhammad meninggal
dunia. Permasalahan ini diselesaikan berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar
sebagi pengganti nabi menjadi Imam shalat ketika nabi tidak dapat menjadi imam
karena sakit. Tentang qiyas boleh di pakai selama tidak menyalahi dalil
yang shohih. Hanya saja mereka menyebut kata ra’yu (pendapat) terhadap sesuatu
yang dipertimbangkan oleh hati setelah berpikir, mengamati, dan mencari untuk
mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang terlihat.Sebagaimana
didefinisikan oleh Ibnu Qayyim. Dengan demikian, menurut mereka ra’yu tidak
sebatas qiyas(analogi) saja.[10]
C. Faktor Kondisional dan Situasional yang
Mempengaruhi Tasyri’ Islam Masa Khulafaur Rasyidin
a. akar masalah yang terjadi dalam pengambilan tasyri’
a. akar masalah yang terjadi dalam pengambilan tasyri’
1. Luasnya wilayah islamMasa Khulafaur Rasyidin
Periode kekuasaan pemerintahan nabi Muhammad SAW hanya meliputi semenanjung
Arabia tetapi periode khulafaur Rasyidin meliputi wilayah arab dan non arab
sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang
rinci di dalam alquran dan alhadis terbatas jumlahnya. Oleh karena itu khulafaurrasyidin mengahadapi banyak masalah yang
tadinya tidak terdapat di masyarakat arab. Misalnya masalah pengairan,
keuangan, caramenetapkan hukum di pengadilan dan budaya hukum di damaskus,
Mesir, Irak, Iran, Maroko, Samarkand, Andalusia.
2. Sahabat
khawatir akan kehilangan Alquran karena banyaknya sahabat yang hafal alquran
meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.[11]
b. PendapatSahabat
Dalam
Pengistimbatan
Tasyri’
Pengistimbatan
pada masa ini sebatas kasus-kasus yang terjadi saja. Mereka tidak
memprediksikan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak mengira-ngira bahwa
hal itu akan terjadi lalu meneliti hukumnya sebagaimana
ulamamutaakhirin.Sahabat membatasi pada kasus-kasus yang perlu difatwakan saja.
Mereka berpendapat bahwa
1. Sesungguhnya
menyibukkan diri selain dengan kasus-kasus yang terjadi adalah sia-sia,
membuang-buang waktu untuk perbuatan baik dan bajik serta menyia-nyiakan waktu
yang berharga.
2. Mereka
memelihara berfatwa dan sebagian mereka melarangkan yang lain untuk berfatwa
karena takut meleset dan salah. Oleh karena itu mereka menjauhi perluasan fatwa
terhadap kasus-kasus yang belum terjadi. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit
bahwasanya apabila ia dimintai fatwa dalam masalah yang ditanyakan. Bila
kasusnya telah terjadi, maka Zaid memberikan fatwanya, namun bila kasusnya
belum terjadi ia berkata, “biarkanlah sampai kasusnya terjadi”.
3.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat yang mengeluarkan fatwa
dan ra’yu (pendapat) pada masa ini adalah khalifah dan para pembantunya.
Disamping kesibukan mengatur negara Islam dan politik kaum muslimin; baik
keagamaan maupun keduniaan.Inilah yang membuat mereka sibuk sehingga menjauhi
menentukan dan mengira-ngira.
Para ulama sahabat
mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kebenaran riwayat diantaranya;
·
Para sahabat,
termasuk sahabat Abu Bakar tidak menerima hadist yang tidak disaksikan
lebih dari satu orang.
·
Para sahabat
tidak membukukan hadist sehingga terbagilah hadist-hadist berdasarkan
perawi-perawinya.
·
Para sahabat
tidak membukukan hasil ijtihad mereka. Sehingga sulit sekali bagi generasi
seterusnya kesulitan untuk mengetahui pendapat mereka.[12]
c. Pengaruh
Pengambilan
Hukum
Masa Khulafaur
Rasyidin.
Fatwa-fatwa yang diungkapkan para sahabat pada zaman khulafaur rasyidin
mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum islam. Banyak para ulama dan imam madzhab merujuk pada pendapat para
sahabat besar.[13]
Sahabat
melakukan penelaahan terhadap Alquran dan Sunah dalam menyelesaikan suatu
kasus.Apabila tidak didapatkan dalam Alquran dan Sunnah, mereka melakukan
ijtihad.Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat
yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi.][14] Dengan
dimuainya ijtihad oleh para sahabat, permasalahan-permasalahan kontemporer umat
islam dapat terselesaikan dengan bijak dan benar. Hal ini kemudian mendorong
para ulama sesudah masa sahabat besar untuk mengembangkan lagi ijtihad mereka
guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum islam, bahkan
masalah yang belum dihadapi.
Sahabat telah
menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan kasus yang dihadapi.Thuruq
al-Istinbath tersebut digunakan dalam rangka menyelesaikan kasus yangdihadapi. Sehingga
generasi sahabat kecil dan tabiin mengikuti jejak shahabat besar dalam
menyelesaikan suatu perkara.[15]
d. Terjadinya Perbedaan Pendapat
Sebab-sebab Ikhtilaf pada Zaman Sahabat
1. Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Alquran.
Dalam alquran
terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytira’). Umpamanyafirman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 228,
Artinya :Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al-Baqarah: 228)
Kalimat “yang
diceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru’,“ membuat para
sahabat berbeda pendapat. Perbedaan ini disebabkan kata quru’ mengandung dua
arti yakni Al-haidl dan at-thuhr. Adanya dua makna ini
membuat terjadinya perbedaan pendapat. Umar ibn Khattab memilih makna al-haidl
sebagai makna quru’.Sedangkan sahabat Zaid bin Tsabit menggunakan
makna At-tuhr.[16]
Hukum yang
ditentukan Alquran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi
kemungkinan bergabungnya dua sebab pada satu kasus. Misalnya pada alquran
terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (iddah) bagi wanita yang dicerai karena
suaminya meninggal dunia
Artinya:
Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh
hari.Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah: 234)
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(Q.S.
At-Thalaq: 4)
Dua ayat
tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita yang hamil
ditinggal mati oleh suaminya. Apakah yang berlaku baginya iddah hamil
atau iddah wafat? Hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat
diantara sahabat.Ada yang beranggapan bahwa hukum wanita haidh yang ditinggal
mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari seperti shahabat Umar.Ada yang beranggapan
menggunakan iddah hamil karena ayat iddah hamil turun setelah iddah mati
seperti kata ibnu mas’ud.Tapi sahabat Ali dan Banu Abbas menggunakan iddah terpanjang
diantara dua iddah tersebut.
Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap sunnah.
Di antara mereka ada yang penguasaan sunnahnya cukup luas, ada pula yang
sedikit. Hal itu terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai nabi.Adayang
intensif dan ada yang tidak, ada yang paling awal masuk islam dan ada pula yang
paling akhir.
Kadang-kadang riwayat telah sampai pada seorang sahabat tetapi tidak
atau belum sampai pada sahabat lain, sehingga diantara mereka ada yang
mengamalkan ra’yu karena ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu
Hurairah berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu shubuh, tidak
dihitung berpuasa ramadhan, (man ashabaha junub (an) fa la shaum lah). kemudian
pendapat ini didengar oleh aisyah yang berpendapat sebaliknya. Aisyah menjadikan peristiwa dengan nabi sebagai alas an. Maka Abu
Hurairah menarik kembali pendapatnya.
Sahabat berbeda
pendapat dalam penakwilan Sunnah.Umpamanya, thawaf. Sebagian besar sahabat
berpendapat bahwa bersegera dalam thawaf adalah sunnah, sedangkan Ibnu Abbas
berpendapat bersegera dalam thawaf tidak sunnah.Perbedaan struktur masyarakat
dan perubahan zaman menimbulkan perbedaan dalam menetapkan sesuatu pendapat.[18]
3. Perbedaan
pendapat dalam menggunakan wahyu
Adapun
perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan ra’yu
diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan Ali tentang permepuan yang
menikah dalam waktu iddahnya. Menurut Umar, apabila seorang wanita menikah
dalam masa iddahnya, tetapi ia belum dukhul, maka pasangan itu wajib dipisah.
Dan perempuan itu wajib menyelesaikan waktu tunggunya.Apabila sudah dukhul,
pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua waktu tunggu.Waktu tunggu
dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami berikutnya. Sedangkan
menurut ali, perempuan itu hanya diwajibkan menyelesaikan waktu tunggu yang
pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar berpegang pada tujuan
hukum, yakni agar orang tidak lagi melakukan pelanggaran.[19]
D. Keputusan-keputusan
yang Ditetapkan pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. Masa Khalifah
Abu Bakar Ash-Shiddiq
Khalifah Abu
Bakar adalah seorang ahli hukum yang tinggi mutunya dan dikenalsebagai
orang yang jujur dan disegani. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634 M.
sebelum masuk islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut
aktif mengembangkan dan menyiarkan islam. Atas usaha dan seruannya banyak
orang-orang terkemuka yang memeluk agama islam dan kemudian terkenal sebagai
pahlawan-pahlawan islam yang ternama. Dan kerena hubungannya yang ssangat dekat
dengan Nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang isalm
dibanding yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifa pertama tepat
sekali.
Tindakan-tindakan
Penting yang Dilakukan Abu Bakar, pidatonya pada
waktu pelantikan yang berbunyi:
“Aku telah
kalian pilih sebagai khalifah, kepala Negara.Tetapi aku bukanlah orang
yang terbaik diantara kalian.Kerena itu, jika aku melakukan sesuatu yang benar,
ikutilah, dan bantulah aku.Tetapi jika aku melakukan kesalahan,
perbaikilah.Sebab menurut pendapatku, menyatakan yang benar adalah amanat,
membohongi rakyat adalah pengkhianat.”Selanjutnya beliau berkata, “Ikutilah
perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasulnya.Kalian berhak untuk
tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.”[20]
Kata-katanya
itu sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum ketatanegaraan dan
pemikiran politik islam. Sebab, kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam
menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintah dan warga
negara.
Cara yang
dilakukan dalam memecahkan persoalan yang timbul di masyarakat.Mula-mula
pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu tuhan.Kalu dalam wakyu tuhan tidak
ada, dicarinya dalam wahyu nabi. Kalau dalam sunnah nabi tidak diperoleh
pemecahan masalah, Abu bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkan
dalam majelis. Mejelis ini melakukan ijtihad lalu timbullah konsesus bersama
yang disebut ijma’ mengenai masalah tertentu. Dalam masa abu bakar inilah
apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat.[21]
Pembentukan panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat
Alquran yang telah ditulis pada zaman nabi pada bahan-bahan darurat seperti
pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, kemudian dihimpun dalam satu naskah.
Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris
nabi Muhammad. Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah
Alquran itu diuji dahulu ketepatan pencatatannya dengan hafalan para
penghafal Alquran yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Khalifah Abu Bakar
meninggal dunia, naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab. Dan sesudah
Khalifah Umar meninggal pula, naskah Alquran itu disimpan dan dipelihara oleh
Hafshah, janda nabi Muhammad.[22]
2. Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah khalifah Abu bakar meninggal dunia, Umar bin Khattab menjadi
khalifah tahun 13 H/634 M. Dalam masanya daerah islam berkembang dan meluas
antara lain : Mesir, Iraq, Adjebijan, Parsi, Siria. Umar telah mengusir orang-orang Yahudi dan Jazirah Arab.Dan Umarlah
yang pertama kali menyusun adsministrasi pemerintahan, menetapkan peradilan dan
perkantoran, serta kalender penanggalan.[23]
Umar dkenal
sebagai Imam Mujtahiddin. Pada masanya ida berijtihad antara lain tidak
menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat untuk
memotongnya. Pencuri itu merupakan pegawai dari majikannya yang kaya raya yang
tidak memberikan gaji secara wajar.Maka umar menjalankan istislah, yang
kemudian dinamai almaslahatul mursalah.Umat tidak memberikan zakat kepada
almullafatu qulubuhum karena tidak ada illat untuk memberikannya, maqashid yang
terdapat dalam ayat ma’qulun-nash itu tidak terdapat.Yang kemudian dianamai
dengan al-ihtihsaan dll. [24]
Selain itu yang
perlu dicatat dari Umar adalah sikap tolerannya terhadap pemeluk agama lain.
Hal itu terbukti ketika beliau hendak mendirikan masjid (yang sekarang terkenal
dengan masjid Umar) di Jerussalem.Karena di tempat itu telah berdiri suatu
tempat ibadah umat Kristen dan Yahudi, sebelum mendirikan masjid tersebut, Umar
turun terlebih dahulu, memberitahukan maksudnya dan memohon kepada pemimpin
agama golongan Kristen dan Yahudi di tempat itu.Padahal sebagai seorang
khalifah atas seluruh daerah tersebut, Umar tidak wajib melakukan hal itu.
Namun, ia melakukan hal tersebut karena sikapnya yang toleran terhadap pemeluk
agama lain.
Karena usianya
yang masih relatif muda dibandingkan dengan Abu Bakar, Umar lama memegang
pemerintahan.Sikapnya keras dan sebagaimana biasanya orang yang mempunyai sikap
keras, selalu berusaha bertindak adil melaksanakan hukum.Terkenal keberaniannya
dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan keadaan nyata pada suatu saat
tertentu.Ia mengikuti Abu Bakar dalam menemukan hukum. Namun demikian, Khalifah
Umar terkenal keberanian dan kebijaksanaannya dalam menerapkan ketentuan hukum
yang terdapat dalam Alquran untuk mengatasi sesuatu masalah yang timbul dalam
masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan umum.
Tindakan-tindakan
Khalifah Umar :
·
Turut aktif
menyiarkan agama Islam sampai ke Palestina, Syiria, Irak, danPersiaserta ke
Mesir.
·
Menentukan
tahun Hijriyah sebagai tahun islam yang terkenal berdasarkan peredaran bulan
(qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi yang didasarkan pada peredaran
matahari (syamsiyahh), tahun Huijriyah lebih pendek. Perbedaan pergeserannya 11
hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya. Penetapan tahun hijriyah ini dilakukan
pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli hisab (hitung) pada waktu
itu.
·
Menetapkan
kebiasaan shalat tarawih., yaitu salat sunnah malam yang dilakukan sesudah
shalat isya’, selama bulan Ramadlan.[25]
Tindakan Umar
dalam bidang hukum, ada beberapa contoh ijtihad Umar antara lain
sebagai berikut :
·
Talak tiga,
yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika dianggap sebagai
talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri. Kecuali salah
satu pihak (dalam hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain.
Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdqsarkan kepentingan wanita, karena di
zamannya banyak pria yang dengan mudah mnegucapkan talak tiga sekaligus kepada
istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan wanita lain. Tujuannya
dalah untuk melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak yang
berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati
mempergunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus
yang di zaman nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh sebagai) talak satu. Umar
menetapkan garis hukum yang demikian untuk mendidik suami supaya tidak
menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tangannya.[26]
·
Pemberian hak
zakat kepada mualaf (orang yang baru masuk islam) seperti yang ditetapkan dalam
Alquran.Dikarenakan ia perlu dilindungi karena masih lemah imannya dan
(mungkin) terputus hubungan dengan keluarganya. Pada zaman
rasulullah, golongan ini memperoleh golongan zakat, tapi Umar menghentikan
pemberian zakat kepada muallat berdasarkan pertimbangan, islam lebih kuat
sehingga tidak perlu diberi keistimewaan.[27]
·
Menurut
alquransuratAl-Maidah (5) ayat 38, disebutkan tentang hukuman potong tangan
bagi pencuri. Pada masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di
semenanjung Arabia. Dlam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu,
ancaman hukuman pencuri yang disebut dalam alquran tidak dilaksanakan karena
pertimbanagn keadaan darurat dari kemaksiatan (jiwa) masyarakat.
·
Di dalam
alquran suratAl Maidah Ayat 5 terdapat ketentuan yang memperbolehkan pria
muslim menikahi wanita ahlulkitab (wanita yahudi dan Nasrani). Akan tetapi
khalifah Umar melarang kawin campur antara lelaki islam dengan wanita yahudi
atau nasrani demi melindungi kedudukan wanita islam dan keamanan Negara.[28]
Sepintas
lalu keputusan-keputusan (dalam kepustakaan terkenal dengan ijtihad) Umar itu
seakan-akan bertentangan dengan ketentuan Alquran. Namun, kalau dikaji sifat
hakikat ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam keseluruhannya,
ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab itu tidak bertentangan dengan maksud
ayat-ayat hukum tersebut.
3. Masa
Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan
Panitia
pemilihan khalifah memilih Utsman menjadi khalifah ketiga menggantikan Umar bin
khattab. Pemerintahan Utsman ini berlangsung dari tahun 644 sampai 655 M.
Ketika dipilih, Utsman telah berusia 70 tahun.Ia seorang yang mempunyai
kepribadian yang lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang di
sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kekayaan dan kemewahan. Hal ini
dimanfaatkan utamanya oleh keluarganya sendiri dan golongan Umayyah.
Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-jabatan penting dikuasai oleh
familinya. Pelaksanaan pemerintahan seperti ini dalam bahas orang-orang
sekarang disebut nepotisme(kecendrungan untuk mengutamakan atau menguntungkan
sanak saudara/ keluarga sendiri). Timbullah klik system dalam pemerintahan.[29]
Tindakan-tindakan Khalifah Utsman:
·
Membentuk kembali panitia yang dipimpin oleh Zaid bin
Tsabit dan Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harrits
menjalin kembali naskah-naskah Alquran kedalam lima mushaf (kumpulan
lembaran-lembaran yang ditulis, dan alquran itu sendiri juga disebut mushaf),
kemudian dikirim ke ibukota provinsi (Makkah, Kairo, Damaskus, Bagdad). Naskah itu disimpan di masjid besarnya masing-masing seperti umat
Indonesia menyimpan Alquran pusakanya di masjid Baiturrahim di komplek Istana
Merdeka Jakarta. Satu naskah disimpan di Madinah untuk mengenang jasa Utsman.
Hal itu terjadi pada tahun 30 H/ 650 M. Naskah mushaf Usmany adalah naskah yang
dikirim pada masanya. Sebagai kenang-kenangan atas jasa-jasanya, Utsman disebut
juga Al-imam. Mushaf Usmany di salin dan diberi tanda-tanda bacaan di Mesir
seperti yang kita liat sekarang ini.[30]
Penelitian terhadap kitab-kitab suci agama di dunia sekarang menunjukkan
bahwa diantara kitab-kitab suci yang ada, hanya Alquran yang tidak dapat
dibuktikan telah pernah dipasulkan oleh tangan manusia. Ia tetap asli seperti
waktu diturunkan dahulu, tanpa perubahan sedikitpun baik dalam surah maupun
dalam ayat dan kalimat-kalimatnya.
·
Menyalin dan
membuat alquran standar yang disebut dengan kodifikasi Alquran.Standarisasi
Alquran ini perlu diadakan. Karena, pada masa itu, wilayah Islam sangat luas
dan didiami oleh berbagai suku bangsa dan dialek yang tidak sama. Karena itu,
di kalangan pemeluk agama islam terjadi perbedaan ungkapandan ucapan tentang
ayat-ayat alquran yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara
mengungkapakan itu menimbulkan perbedaan arti.
4. Ali bin Abi Thalib
Setelah Utsman meninggal dunia,
orang-orang terkemuka memilih Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat. Ia
memerintah dari tahun 656 sampai tahun 662 M. Sejak kecil ia diasuh dan didik
oleh nabi Muhammad, oleh karena itu, hubungannya rapat sekali dengan nabi.
Ali adalah keponakan dan menantu Nabi SAW, setelah ia menikah dengan
putri nabi, Fathimah Az-zahra. Ketika nabi Muhammas masih hidup, Ali sering
ditunjuk oleh nabi menggantikan beliau menyelesaikan masalah-masalah
penting.Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan bahwa hubungan nabi dengan Ali
dapat dimisalkan seperti Nabi Musa dan Harun.Dan karena itu pula, orang berkata
bahwa Ali telah mengambil suri teladan, ilmu pengetahuan, budi pekerti, dan
kebersihan hati Nabi Muhammad Saw. Karena itu banyak orang yang berpendapat
bahwa ia lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lainnya. Yang berpendapat
demikian terkenal dengan golongan syi’ah.Ali terkenal dengan kemahirannya
sebagai qadli, sejak zaman Nabi.
Semasa pemerintahan Ali, tidak
banyak yang diperbuat untuk mengembangkan hukum islam. Hal
ini dikarenakan keadaan Negara tidak stabil. Di sana sini timbul bibit-bibit perpecahan
yang serius dalam tubuh umat islam yang bermuara pada perang saudara dan
timbulnya kelompok-kelompok besar umat islam sekarang ini.[32]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah nabi wafat, pengambilan keputusan
dilaksanakan oleh sahabat, utamanya khulafaur rsyidin juga dengan
sahabat-sahabat besar yang lain seperti Zaid bin Tsabit, Ibnu Masud dll. Pada masa khulafaur Rasyidin, terjadi berbagai permasalahan yang
belum pernah terjadi pada masa Rasulullah. Sehingga, timbullah penafsiran
nash-nash ayat dan terbukalah pintu istinbath terhadap masalah-masalah yang
tidak ada nash yang jelas. Ketika mengambilan keputusan, khulafaur rasyidin
dan para shahabat tetap berpegang pada Alquran dan Sunnah namun jika
penyelesainya tidak ditemukan dalam alquran dan sunna maka shahabat
melakukan ijtihad berupa ijma’ dan qiyash. Hal ini dilakukan bila
tidak ada penyelesaian tertulis dalam Alquran dan Sunnah.
Pengambilan keputusan pada masa khulafaur
Rasyidin ini menjadi rujukan bagi ulama’-ulama’ mutaakhirin dan menjadi dasar
pijakan bagi generasi setelahnya dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan
masalah syari’at. Akan tetapi fatwa-fatwa yang muncul pada zaman
khulafaurrasyidin tersebut amat terbatas.Dikarenakan sahabat lebih memilih
untuk tidak membicarakan pengambilan keputusan jika tidak ada terjadi masalah.
Para sahabat juga tidak membukukan fatwa mereka sehingga
menyulitkan generasi setelahnya untuk mendapatkan pendapat para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Khalil Rasyad Hasan, Tarikh Tasyrik, cet 3 . Jakarta. Sinar grafika
offset. 2015
Ash Shiddeay,Hasbi. 1994. Pengantar Hukum Islam. Cet
IX,Yogyakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam.
Cet II, Bandung: Malja.
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Cet.II,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ramulya, Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Cet.I,
Jakarta: Sinar Grafika.
Wahab, Abdul hallaf. 2005. Sejarah Hukum Islam. Cet I,
Bandung: Maljah.
0 Response to "Tarikh tasyri' Pada Masa Khulafa urrasyidin"
Post a Comment