Posmodernisme dalam Hubungan Internasional

iklan1
Posmodernisme dalam Hubungan Internasional
            Hubungan Internasional yang muncul sejak lama
telah berhasil membahas berbagai macam perspektif yang muncul dan berpengaruh dalam lingkup dunia. Hubungan Internasional juga berhasil membuktikan bahwa perspektif-perspektif tersebut benar adanya dan dibuktikan dengan macam-macam literatur yang telah ada. Demikian, perspektif-perspektif yang telah dibahas dalam Hubungan Internasional tersebut adalah perspektif-perspektif tradisional. Perspektif-perspektif yang juga dianggap sebagai perspektif-perspektif aliran mainstream yang membahas permasalahan dunia berdasar pada masing-masing kacamata. Dunia dalam perspektif tradisional yang mainstreamtersebut adalah relatif, bergantung pada kacamata apa kita memposisikan diri untuk membahas suatu permasalahan. Posmodernisme muncul dalam Hubungan Internasional sebagai perspektif baru yang menolak aliran mainstream. Perspektif anti-mainstream ini disebut juga sebagai perspektif alternatif yang lahir dengan kritik-kritik terhadapa perspektif tradisional. Posmodernisme bahkan mengemukakan kritiknya terhadap studi Hubungan Internasional yang dianggap selama ini telah berhasil menyembunyikan sejumlah keterbatasannya (Burchill&Linklater, 1996: 240). Oleh karena itu, perspektif-perspektif tradisional yang muncul sebelumnya, seperti realisme, liberalisme, marxisme, dan perspektif tradional lain menjadi kunci utama sebelum memahami perspektif alternatif yang muncul sebagai pengkritik perspektif tersebut (Wardhani, 2014).
            Posmodernisme adalah perspektif teori sosial yang baru dalam Hubungan Internasional, berasal dari kelompok filosof Perancis pada sekitar tahun 1980. Kemunculan posmodernis ini membawa pandangan yang menentang terhadap filsafat eksistensialisme yang mendominasi pada masa itu. Posmoderisme menilai adanya penjara konseptual yang selama ini membelenggu pikiran-pikiran para ilmuwan (Jackson&Sorensen, 1999: 303). Menurut Burchill dan Linklater (1996: 241), posmodernis adalah suatu perspektif yang tidak dapat didefinisikan secara pasti, karena adanya berbagai macam perdebatan baik antar pendukung maupun dengan para pengkritiknya. Secara harfiah, kata posmodernis berasal dari kata asli berbahasa Inggris yaitu postmodernism yang terdiri dari dua kata, post dan modernismPost dapat diartikan sebagai sesuatu yang lampau atau sesudah, sedangkan modernism adalah paham tentang hal yang bersifat modern atau meninggalkan hal-hal yang tradisional (Wardhani, 2014). Di sini dapat kita artikan bahwa posmodernisme adalah paham tentang hal-hal yang muncul setelah masa modern atau secara tidak langsung mengkritik kaum modernitas. Kaum posmodernis melihat keberhasilan modernitas, namun keberhasilan tersebut masih menyisakan nilai-nilai negatif yang merugikan manusia, seperti peperangan, kolonialisme, perbudakan, dan pemisahan antar kelas.
            Dalam perspektif posmodernisme, keadaan pikiran manusia berbeda dengan perspektif-perspektif sebelumnya. Dalam posmodernisme, manusia diberi kebebasan penuh untuk menilai suatu fenomena berdasarkan keinginannya. Hal ini kemudian menjadi agenda utama yang dibawa oleh perspektif posmodernisme dan melahirkan asumsi-asumsi dalam yang tidak terlepas dengan inti dasar agenda tersebut. Posmodernisme memiliki empat asumsi dasar dalam pemikirannya, antara lain adalah keberadaan manusia yang diposisikan sebagai asal mula kemunculan pengetahuan, anggapan bahwa tatanan dunia adalah ciptaan manusia sendiri dan bukan dari Tuhan, permasalaha tekstualitas, dan yang terakhir adalah dekonstruksi (Wardhani, 2014). Posmodernis juga mencoba menjabarkan tema-tema analisis genealogi tentang kekerasan, batas-batas negara, dekonstruksi identitas, dan juga interpretasi tentang kenegarawanan (Devetak, 2001 dalam Burchill&Linklater, 2005: 172). Genealogi sendiri adalah pola pikir historis yang mengungkap signifikasi dengan menghubungkan kekuasaan dan pengetahuan (Burchill&Linklater, 1996: 247).
            Memasuki asumsi-asumsi yang dibawa oleh posmodernisme, asumsi pertama mengatakan bahwa manusia merupakan sumber kemunculan pengetahuan. Di sini posmodernisme memberikan kebebasan penuh kepada manusia untuk berfikir dan menilai sesuatu tanpa harus memisahkan diri dari faktor-faktor objek maupun subjek. Posmodernisme menolak teori bebas nilai yang muncul sebelumnya dalam Hubungan Internasional. Posmodernisme juga tidak memungkiri akan adanya pengaruh kekuasaan atau power dalam sebuah pengetahuan. Konsep power yang selama ini sudah tidak asing lagi dalam Hubungan Internasional dianggap oleh kaum posmodernis sebagai suatu hal yang  tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan. Pengetahuan dan kekuasaan adalah dua hal yang saling menyiratkan satu dengan yang lain. Foucault (dalam Burchill&Linklater, 1996: 242-3) mengatakan bahwa sebuah pengetahuan tidak akan mampu berkembang tanpa adanya dorongan dari kekuasaan yang kemudian membentuk sebuah hubungan korelatif diantara keduanya. Di sisi lain posmodernis juga memandang bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh manusia juga memiliki kaitan yang erat dengan kedaulatannya. Pemikiran ini bertentangan dengan studi Hubungan Internasional yang menempatkan posisi penting keadaan anarchy (Wardhani, 2014).
            Asumsi kedua posmodernisme merujuk pada keberadaan tatanan dunia yang dianggap sebagai hasil cipta manusia sendiri. Tatanan dunia di mata posmodernisme bukanlah pemberian Tuhan. Manusia menciptakan segala aturannya sendiri, mengahasilkan pengetahuan berdasar asumsinya sendiri, bahkan menciptakan tatanan dunia dengan keinginannya sendiri. Asumsi ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk membentuk fakta-fakta berdasarkan jalan pikir mereka. Di sisi lain, manusia memiliki tanggung jawab penuh atas apa yang telah mereka bentuk dan ciptakan berdasar asumsi bebas mereka (Wardhani, 2014). Posmodernisme memberikan kekuasaan penuh pada keadaan manusia sebagai inti dari kemunculan berbagai hal di dunia. Manusia seolah memiliki kekuasaan dan tanggung jawab penuh atas segala hal yang nanti terjadi dalam tatanan dunia.
            Permasalahan tentang tekstualitas menjadi bahan kajian dasar asumsi ketiga kaum posmodernis. Der Derian (Dalam Burchill&Linklater, 1996: 252) mengatakan bahwa posmodernis berkaitan dengan upaya untuk menunjukkan adanya pengaruh tekstual di balik kekuasaan politik. Tekstualitas dipercaya mempunyai pengaruh yang besar dan secara intrinsik masuk ke dalam kekuasaan politik itu sendiri. Derrida, dalam bukunya Of Grammatology (1974 dalam Devetak, 2001, dalam Burchill&Linklater, 2005: 168) mendefinisikan teks sebagai suatu hal yang tidak terbatas hanya pada sebuah literatur tertulis sebagaimana anggapan pada umumnya. Tidak juga hanya membatasi definisi teks sebagai sebuah gagasan. Derrida menjabarkan teks sebagai sebuah hal yang tidak terbatas, bahkan dunia pun dapat diartikan sebagai teks. Dapat sedikit disimpulkan bahwa teks menurut Derrida, dan besar kemungkinan menjadi asumsi kaum posmodernis, adalah segala sesuatu yang dapat diinterpretasikan. Inti dari asumsi ini adalah posmodernisme menganggap perlu adanya proses interpretasi untuk secara fundamental menciptakan dunia sosial (Burchill&Linklater, 1996: 253).
            Asumsi yang keempat dalam posmodernisme adalah metodologi dengan pola dekonstruksi. Dekonstruksi kaum posmodernis mengarah pada kritik terhadap neorealisme. Kritik ini berada padabias kaum strukturalis menyangkut teori (Jackson&Sorensen, 1999: 304). Dekonstruksi sendiri dapat diartikan sebagai cara umum atas apa yang secara radikal berubah-ubah dan dianggap sebagai sebuah konsep baku. Tujuan dekonstruksi tidak lain adalah untuk menunjukkan akibat dan kerugian yang disebabkan oleh konsep baku tersebut. Menurut Der Derian (dalam Wardhani, 2014), dekonstruksi adalah satu-satunya jalan untuk menuju sukses dalam membahas kritik-kritik terhadap kaum modernitas. Posmodernisme menggunakan dekonstruksi untuk menyerang perspektif-perspektif tradisional dalam Hubungan Internasional. Dengan metodologi dekonstruksi ini, posmodernisme dapat menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan upaya untuk menemukan elemen-elemen instabilitas yang permanen dan mengancam tiap totalitas (Burchill&Linklater, 1996: 254).
            Ada berbagai asumsi mengenai keberadaan posmodernisme, baik kelebihan maupun kekurangannya. Kelebihannya antara lain adalah berhasil mnurunkan ego dan kesombongan akademik, skeptis terhadap pemikiran kebenaran universal, serta mengungkap pretensi akademik dengan jelas dan terpilah-pilah. Sedangkan kekurangannya adalah asumsinya bahwa teori selalubias, posmodernis sendiri akan terancam menjadi nihilisme dengan asumsinya sendiri. Kritik terhadap posmodernisme menyangkut bahasannya yang kurang memiliki kesinambungan dengan Hubungan Internasional dan cenderung menentang hal-hal yang telah ada sebelumnya (Jackson&Sorensen, 1999: 305-6). Meskipun demikian, kontribusi posmodernisme dalam Hubungan Internasional juga diakui. Di antaranya adalah pemikirannya tentang hubungan sebuah kekuasaan dengan ilmu, dekonstruksinya atas pertentangan fundamental dalam politik, dan membuat sebuah konsep politik dengan dasar negara berdaulat (Devetak, 2001 dalam Burchill&Linklater, 2005: 187).
            Dapat disimpulkan bahwa posmoodernisme adalah perspektif anti-mainstream yang muncul pada sekitar tahun 1980 sebagai kritik atas perspektif tradisional. Posmodernisme memiliki empat asumsi dasar dalam pemikirannya, antara lain adalah keberadaan manusia yang diposisikan sebagai asal mula kemunculan pengetahuan, anggapan bahwa tatanan dunia adalah ciptaan manusia sendiri dan bukan dari Tuhan, permasalaha tekstualitas, dan yang terakhir adalah dekonstruksi. Posmodernisme memiliki kelebihan karena mampu mengubah pola pikir egoisme dan kesombongan akademik, skeptis terhadap kebenaran yang universal, dan mengungkap pretensi akademik. Namun posmodernis juga dianggap bias dengan asumsinya bahwa teori adalah bias. Posmodernis juga dianggap kurang relevan dalam Hubungan Internasional karena terlalu menuai pertentangan dengan apa yang telah ada sebelumnya.

0 Response to "Posmodernisme dalam Hubungan Internasional"

Post a Comment