Pos-Strukturalisme dan Pos-Kolonialisme dalam Hubungan Internasional

iklan1
Pos-Strukturalisme dan Pos-Kolonialisme dalam Hubungan Internasional
            Studi Hubungan Internasional tidak melepaskan diri dari berbagai
perkembangan yang ada di dunia, termasuk  perkembangan ilmu yang berhubungan erat dengan studi Hubungan Internasional. Hal ini merupakan salah satu alasan serta faktor yang membuat studi Hubungan Internasional tetap hidup dengan dinamika yang bergerak ke arah perkembangan tanpa melupakan sejarah pembentuknya. Studi Hubungan Internasional juga membuka diri terhadap perspektif-perspektif baru yang relevan terhadap kajiannya. Selain itu, pendekatan-pendekatan terhadap berbagai macam perspektif yang telah dikaji dalam studi Hubungan Internasional, atau yang biasa dikenal dengan perspektif tradisional, juga masih diterima untuk dijadikan bahasan dalam Hubungan Internasional. Pos-strukturalisme dan pos-kolonialisme merupakan contoh dari bahasan Hubungan Internasional yang tidak terlepas dari perspektif-perspektif yang telah ada sebelumnya, yaitu perspektif strukturalisme. Pos-strukturalisme dan pos-kolonialisme bukanlah sebuah perspektif yang berdiri dengan wacana-wacana yang sepenuhnya baru, melainkan sebuah kelanjutan dan perkembangan atas perspektif strukturalisme yang ada dan telah dipelajari lebih dulu dalam studi Hubungan Internasional.
            Pos-strukturalisme merupakan gagasan yang mulai muncul pada pertengahan tahun 1960. Pos-strukturalisme muncul sebagai bentuk penolakan terhadap sistem yang berhasil mengguncang negara-negara Barat pada masa itu. Pos-strukturalisme menyatakan ketidak-setujuannya terhadap sistem politik, ekonomi, serta budaya yang diterapkan pada sekitar tahun 1968. Pos-strukturalisme dengan pendekatannya terhadap bahasa mulai masuk dan merambah dalam dunia studi Hubungan Internasional pada sekitar tahun 1980, dengan para ahli seperti Richard Ashley, Jim George, Michael Shapiro, dan Rob Walker (Campbell, 2007: 206). Dalam asumsinya, pos-strukturalisme mengungkapkan gagasannya tentang sebuah keadaan yang bukan given. Pos-strukturalisme meyakini bahwa sesungguhnya manusialah yang menciptakan berbagai konstruksi yang melahirkan sebuah keadaan tertentu. Konstruksi-konstruksi tersebut muncul melalui berbagai macam aspek, dan aspek penting di dalamnya adalah budaya dan bahasa. Di sini pos-strukturalisme mengkritik perspektif-perspektif sebelumnya yang hanya membahas tentang politik, negara, dan perang namun melupakan aspek-aspek yang berpengaruh penting di belakangnya. Pos-strukturalisme melihat bahwa perspektif-perspektif sebelumnya bahkan tidak melihat adanya konstruksi tersebut dalam dunia. Namun, bukan berarti pos-strukturalisme melupakan keberadaan negara, pos-strukturalisme juga masih menempatkan negara sebagai aktor utama (Campbell, 2007: 207).
            Pos-strukturalisme mengutarakan gagasan tentang bahasa dan budaya yang sesungguhnya sangat penting. Bahasa dan budaya sebagai sebuah konstruksi ilmu pengetahuan atau diskursus tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu cara untuk menguasai dunia. Seperti yang dikatakan oleh Capmbell (2007: 206), bahwa menurut pos-strukturalisme, hubungan antara power,pengetahuan dan juga identitas dalam hubungan global merupakan representasi penting yang tidak dapat dihilangkan. Pos-strukturalisme juga mengaitkan fenomena-fenomena yang terjadi dengan sejarah. Pos-strukturalisme memandang keberadaan sejarah yag juga berpengaruh terhadap sebuahpower. Bisa jadi power yang dimiliki adalah hasil dari konstruksi masa lalu yang telah menjadi sejarah. Pernyataan mengenai konstruksi ini didukung oleh teori pengetahuan empiris positivisme yang mengatakan bahwa apa yang dihasilkan oleh indra pengelihatan manusia merupakan sumber pengetahuan yang sah (Campbell, 20017: 208). Dengan demikian, pos-strukturalisme menolak adanya hal-hal yang mendasari kebenaran mutlak.
            Dalam pos-strukturalisme, individu dipercaya dapat ikut serta daam mempengaruhi sebuah struktur yang ada. Keberadaan konstruksi sebagai pencipta keadaan tentu tidak dapat terlepas dari setiap individu dengan berbagai pengetahuan, bahasa, dan budaya yang dibawanya untuk kemudian berinteraksi dengan sistem yang ada. Hal tersebut kemudian berpengaruh kepada hubungan pengetahuan dengan power. Pos-strukturalisme juga mengikat keberadaan seluruh aspek tersebut dengan sejarah. Pos-strukturalisme juga mengkritik perspektif strukturalisme yang dianggap terlalu fokus pada satu aspek dan melupakan peranan penting kekuasaan dalam struktur. Terlebih perspektif strukturalisme juga tidak membahas tentang konstruksi-konstruksi yang sejatinya diciptakan sendiri oleh manusia.
          Selanjutnya para scholars seperti Franz Fanon, Edward Said, Homi Bhabha, Siba N. Grovogui, membawa pos-kolonialisme, yang memiliki dasar pemikiran tidak jauh dengan pos-strukturalisme. Pos-kolonialisme juga menganggap bahwa pengetahuan dan power merupakan dua hal yang saling berkaitan. Di sisi lain, pos-kolonialisme merupakan efek dari adanya kolonialisasi terhadap budaya dan juga sosial. Pos-kolonialisme mulai muncul pada akhir 1970 sebagai respon aktif terhadap berbagai macam efek kolonialisasi yang terjadi pada masa itu. Pemikiran pos-kolonialisme ini mengacu paada penolakan terhadap penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara yang kuat terhadap yang lebih lemah dengan tujuan memperkuat negaranya. Pos-kolonialisme menawarkan asusmsi tentang kebebasan sehingga yang muncul adalah self-determination dan bukan penjajahan (Grovogui, Siba N., 2007).
         Pos-kolonialisme membawa asumsi-asumsi yang cenderung sebagai respon terhadap perlakuan negara-negara Barat atas kolonialisasi yang pernah dilakukan. Pos-kolonialisme menanyakan pandangan-pandangan yang bersumber dari negara Barat, seperti pandangan humanis, rasionalis, dan universalis. Pos-kolonialisme juga ingin mematahkan stigma yang telah diciptakan oleh negara Barat dengan menciptakan stigma tersendiri yang berbeda. Tujuannya adalah untuk menolak identifikasi yang diciptakan oleh hukum dan moral internasional yang didominasi oleh negara Barat (Hopkins, 1997, dalam Grovogui, 2007: 233). Pos-strukturalis juga menjunjung tinggi adanya kebebasan politik, sehingga dapat menunjukkan identitasnya melalui politik yang diakui. Karena politik yang diciptakan secara tidak langsung akan memperlihatkan budaya yang ada di dirinya. Secara, budaya memiliki pengaruh yang erat dalam pembentukan politik dan struktur yang ada di dalamnya. Di sini terlihat kesamaan antara pos-kolonialisme dan pos-strukturalisme, keduanya mengangkat topik tentang identitas dan budaya. Asumsi demikian membuat pos-kolonialisme menutup diri terhadap objektivitas dan netralitas yang ditawarkan oleh bangsa Barat (Grovogui, 2007: 236).
        Pos-kolonialisme juga menitikberatkan pada budaya-budaya lokal. Pos-kolonialisme menilai keberadaan kolonialisasi hanya akan menghilangkan budaya-budaya asli suatu daerah. Pos-kolonialisme menginginkan sebuah kebijakan-kebijakan yang terlepas dari pengaruh negara Barat yang dianggap sebagai negara yang lebih kuat, dan negara pencipta kolonialisasi di masa lalu. Dengan demikian, pos-kolonialisme menginginkan sejarah-sejarah berkembang berdsarkan ilmu pengetahuan. Di sini, pos-kolonialisme mendapat kritik berupa keinginannya untuk mencipakan tatanan dunia baru yang berujung pada modernitas. Keinginan tersebut dinilai kurang relevan dengan asumsi yang mereka paparkan, karena tatanan dunia baru tentu akan menciptakan fakta historisis yang baru pula.
       Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pos-strukturalisme dan pos-kolonialisme adalah dua pandangan yang memiliki topik bahasan sama, yaitu identitas dan budaya. Pos-strukturalisme merupakan bentuk protes terhadap sistem politik, ekonomi, juga budaya yang berlaku pada masa itu. Pos-strukturalisme memberikan pandangan baru bahwa keadaan yang ada bukanlah sesuatu yang given, melainkan hasil konstruksi yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Pos-strukturalisme juga memandang keberadaan bahasa dan budaya sebagai sebuah diskursus yang penting keberadaannya untuk menguasai dunia. Sehingga, kedua hal tersebut memiliki hubungan yang erat dengan power. Pos-strukturalisme juga melihat keberadaan sejarah, sebagai hasil dari bahasa dan budaya di masa lampau, yang juga mempengaruhi power. Sedangkan pos-kolonialisme lebih mengacu pada pandangannya tentang kolonialisasi dan pengaruhnya terhadap budaya lokal. Pos-kolonialisme menolak kolonialisasi dan berbagai identifikasi yang diciptakan oleh negara Barat. Pos-kolonialisme ingin menjunjung kebebasan politik dan menciptakan stigma yang terlepas dari pengaruh Barat. Pos-kolonialisme mendapat kritik tentang keinginannya untuk mewujudkan tatanan dunia baru yang justru akan melahirkan fakta sejarah yang baru pula dalam studi Hubungan Internasional.

0 Response to "Pos-Strukturalisme dan Pos-Kolonialisme dalam Hubungan Internasional"

Post a Comment