Peran Perempuan Dalam Politik

iklan1
PERAN PEREMPUAN DALAM POLITIK
Meutia Hatta, terlahir sebagai putri seorang proklamator, Bung Hatta. Persis seperti ayahnya, wanita yang bernama lengkap Meutia Farida Swasono Hatta itu, juga ikut memberikan perubahan
bagi dunia politik Indonesia, seperti yang dilakukan Moh. Hatta semasa hidupnya.
Ketika menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2004, ia tak menyia-yiakan kesempatan. Meutia melihat keterwakilan perempuan dalam partai politik dan parlemen baru 18%. Tak hanya itu, menurutnya perempuan yang sudah masuk parlemen belum tentu diberi kesempatan karena disingkirkan laki-laki (Intisari edisi Oktober 2012). Ia kemudian mencetuskan perubahan. Meutia menelurkan keputusan terkait keterwakilan para kaum perempuan sebesar 30% dalam parlemen Indonesia.
Konsep demokrasi warisan tradisi Yunani, jelas tidak mengikutkan perempuan dan budak. Dalam Jurnal Perempuan, disebutkan paling tidak ada dua persoalan perempuan dalam politik di Indonesia. Pertama, masalah keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang publik. Kedua, masalah belum adanya partai politik yang secara konkret membela kepentingan perempuan.
Kuota 30% perempuan dalam parlemen merupakan sesuatu yang wajib menjadi perhatian. Banyak kaum feminis yakin, hadirnya perempuan dalam dunia politik akan memberikan harapan bagi perubahan politik yang arogan, korup, dan patriarkis (Pesta Demokrasi: Berkah atau Mimpi Buruk?, edisi 34).
Cita-cita tersebut bukan hal yang muluk. Tengok saja negara Swedia. Negara demokratis ini terkenal sangat melindungi hak-hak perempuan dan anak. Pada tahun 2004, hampir 50% menteri di pemerintahan Swedia, adalah perempuan.
Perjuangan negara ini memang tak mudah. Jatuh bangun mulai dari diskusi keterlibatan perempuan dalam dunia politik telah dimulai sejak tahun 1884. Usaha untuk mengubah pandangan bahwa perempuan adalah sosok yang inferior menjadi hal utama dalam perjuangan ini.
Tak ada yang sia-sia. Meningkatnya peran perempuan telah menjadikan Swedia menggaet gelar negara dengan sistem kesejahteraan (welfare system)  yang terbaik di dunia. Di Swedia, perempuan dilibatkan sebagai aktor, bukan sebagai penonton. Perempuan ikut aktif dalam penentuan kebijakan di Swedia, mulai dari bidang pendidikan hingga bursa kerja.
Menurut Mother Index 2003 yang dilakukan organisasi Save the Children, Swedia menempati predikat negara yang paling aman bagi ibu dan anak. Bagaimana tidak, sejak 1948, pemerintah Swedia memberi tunjangan sebesar SEK 950 (sekitar 950 ribu rupiah) pada anak-anak sejak lahir hingga usia 18 tahun.
Masih ada lagi, pasangan yang baru mendapatkan bayi mendapat pembagian cuti sebanyak 480 hari. Negara juga memberi tunjangan sebesar 80% dari gaji kepada pihak yang mengambil cuti. Gaji tersebut diambil dari pendapatan pajak negara.
Segala fasilitas dan jaminan yang diperoleh perempuan Swedia membuat sosok perempuan Swedia menjadi individu mandiri yang tidak bergantung pada laki-laki. Mereka mampu dan berani mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, tanpa harus kehilangan dukungan dari lingkungannya.
Bayangkan jika cita-cita ini terwujud di Indonesia. Keterwakilan perempuan sebesar 30% yang dicetuskan Meutia Hatta bisa memberikan dampak besar jika tiap perempuan di Indonesia turut mendukung cita-cita ini. Dimulai dari menanamkan kesadaran kaum Hawa untuk mendukung keterlibatan perempuan dalam parlemen. Dimulai dari hal kecil. Bahkan di Swedia, perubahan ini muncul dari sebuah diskusi.
Memang sistem di Swedia dan Indonesia merupakan dua hal yang berbeda. Perubahan di bidang politik dan parlemen juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi jika bukan perempuan yang memperjuangkan nasib perempuan, lalu siapa lagi?


0 Response to "Peran Perempuan Dalam Politik"

Post a Comment