Pengaruh Terorisme Dalam Diplomasi

iklan1
Pengaruh Terorisme Dalam Diplomasi
         Diplomasi terus menglami perkembangan dengan berbagai macam isu baru yang
dibahas dalam forum internasional. Terkait globalisasi, perkembangan teknologi memiliki kaitan yang erat dengan kemunculan isu-isu yang semakin kompleks. Selain itu, munculnya aktor-aktor non-negara juga memberi perubahan pada diplomasi dan juga bahasannya. Muncul isu-isu baru yang dibawa oleh organisasi non-pemerintah seperti terorisme. Isu terorisme menjadi bahasan penting bagi dunia internasional terlebih setelah peristiwa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001, yang kemudian lebih dikenal dengan 9/11, yaitu pengeboman atas gedung World Trade Center atau biasa disebut WTC yang berada di kota New York dan juga Pentagon, Amerika Serikat. Peristiwa ini membuat negara-negara di berbagai belahan dunia ikut terguncang dan menyatakan kewaspadaan terhadap terorisme (Epstein, 2006: 4). Tidak hanya Amerika Serikat, namun banyak negara-negara lain seperti Rusia, China, Iran, dan ASEAN yang kemudian membuat kebijakan-kebijakan baru menanggapi kasus terorisme. Isu terorisme juga memberikan dampak terhadap diplomasi yang digunakan oleh negara-negara untuk bersatu melawan terorisme.
        Terorisme sendiri dapat diartikan sebagai tindakan perlawanan atau penyerangan yang dilakukan oleh pihak yang lebih lemah terhadap sistem yang keberadaannya lebih kuat, seperti negara (Center of Strategic Research, t.t: 1). Contoh penyerangan yang dilakukan oleh teroris adalah peristiwa 9/11, yang membawa nama organisasi teroris Israel Al Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden. Kejadian tersebut membawa beberapa perubahan penting dalam kebijakan Amerika Serikat, antara lain adalah keputusan Presiden Bush untuk menyatakan perang terhadap terorisme (Goldstein, 2005). Setalah Cold War berakhir, terorisme tumbuh kuat dengan jaringan yang masuk pada etnis dan agama tertentu. Terorisme berkembang melalui kelompok transnasional yang mmpersulit negara untuk melakukan tindakan melawan terorisme, sehinga dibutuhkan metode baru untuk menghadapi ancaman tersebut (Center of Strategic Research, t.t: 1). Metode yang kemudian dianggap tepat untuk melawan terorisme adalah diplomasi dan penggunaan soft power.Berhubungan dengan keberadaan setiap negara yang memiliki peraturan berbeda, diplomasi berperan sebagai instrumen dasar yang menjamin adanya peraturan bersama antar negara untuk menentukan arah tindakan yang akan dilakukan dalam melawan terorisme. Di samping soft power, instrumen yang juga penting adalah keberadaan strong intelligence. Strong intelligence diperlukan karena terorisme membuat jaringan kelompok melalui inovasi-inovasi teknologi terkini yang tidak mudah untuk dilacak. Cengizer (dalam Center of Strategic Research, t.t: 2) menambahkan, biasanya terorisme mencari anggota dari kelompok masyarakat yang kurang berpendidikan dan juga masyarakat miskin.
           Isu terorisme menjadi sebuah isu penting dunia internasional untuk bersama-sama bergabung meminimalisir atau bahkann menghilangkan keberadaan kelompok teroris. Tindakan melawan terorisme yang dilakukan oleh negara-negara dunia cenderung menggunakan diplomasi publik. Diplomasi publik dinilai lebih efektif karena dapat menghasilkan resolusi konflik yang lebih fair untuk kedua belah pihak (Center of Strategic Research, t.t: 4). Selain itu, diplomasi publik juga digunakan oleh Amerika Serikat pasca peristiwa 9/11 untuk memperbaiki citra negaranya di hadapan negara-negara Muslim dunia, terlebih negara-negara di Timur Tengah. Amerika Serikat mengakui bahwa setelah Cold War berakhir negaranya cenderung mengabaikan pentingnya diplomasi publik untuk menjada hubungan sosialnya dengan negara lain (Van Ham, 2003: 428). Diplomasi publik yang dilakukan oleh Amerika Serikat mulai memasukkan aktor-aktor non-negara dan juga penggunaan berbagai bidang, seperti halnya melakukan student exchange. Masuknya berbagai aktor non-pemerintah dalam diplomasi memberikan perkembangan dengan istilah multitrack diplomacy, yaitu diplomasi yang tidak hanya menggunakan track pemerintah dalam praktiknya (Pesto, 2010: 65). Amerika Serikat juga berusaha mengurangi kemungkinan memperoleh musuh dengan mengajak negara lain untuk beraliansi melawan terorisme (Van Ham, 2003: 434). Publik diplomasi yang dilakukan juga berdasar pada sikap to know us is to love us, yang mengindikasikan bahwa Amerika Serikat ingin memenangkan hearts and minds para Muslim di dunia. Amerika Serikat menyatakan perang terhadap terorisme, namun bukan berati perang tersebut dilakukan terhadap para Muslim dunia. Amerika Serikat mencoba melakukan publik diplomasi untuk memahami keberadaan kaum Muslim yang notabene tidak semua termasuk dalam golongan teroris (Van Ham, 2003: 441).
         Diplomasi dan soft power tidaklah sama, diplomasi tidak selalu menggunakan soft powerdalam usaha pencapaian tujuannya. Soft power dilakukan untuk mengimbangi keberadaan golongan teroris, seperti Al Qaeda, yang menggunakan soft power untuk mendapatkan anggota. Contoh nyatanya adalah dengan masuk ke sekolah-sekolah di negara-negara Islam seperti Pakistan, Syiria, Arab Saudi, bahkan Indonesia, untuk mencari calon anggota dengan melakukan brainwash kepada target (Center of Strategic Research, t.t: 7). Penggunaan soft power juga bekerjasama dengan NGOsebagai fasilitator dalam menjalankan misi serta berhubungan langsung dengan para teroris. Diplomasi publik yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam menangani isu terorisme juga masuk ke dalam soft power, karena cara-cara yang digunakan menghindari adanya kekerasan dan perang. Namun, keberadaan soft power juga dilindungi dengan kesiapan hard power jika kemudian diperlukan (Center of Strategic Research, t.t: 10). Penggunaan hard power tersebut diwujudkan dengan penggunaan diplomasi preventif dan diplomasi koersif. Diplomasi preventif dilakukan dengan melakukan penyerangan terlebih dahulu terhadap negara yang dianggap berbeda dan berbahaya bagi eksistensi negara Amerika Serikat. Sedangkan diplomasi koersif dilakukan dengan secara tegas menyatakan perang terhadap terorisme, war on terrorism (Center of Strategic Research, t.t: 12).
            Peristiwa 9/11 juga membawa perubahan terhadap hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia yang sebelumnya saling berperang ideologi selama Cold War. Masalah terorisme telah menyatukan tujuan Amerika Serikat dan Rusia, yaitu bersama-sama melawan terorisme. Namun, masih tetap ada gap di antara keduanya lantaran berbagai alasan mengenai siapa yang lebih kuat (Plater-Zyberk, 2014: 35). Rusia secara tegas menyatakan perlawanan terhadap terorisme, terlebih terkait dengan kasus diledakannya tiga bom di Moskow pada tahun 1977. Sedangkan di China, kasus serupa muncul dengan menyebarnya terorisme Uighur. China menganggap adanya golongan teroris tersebut dipicu oleh keberadaan kaum Islam separatis dan radikal yang mulai berpindah ke China. Sehingga, kejadian 9/11 mempertegas China untuk ikut bergabung dengan dunia internasional melawan terorisme (Singh, 2010: 5). China juga membuat peraturan baru yang menyatakan bahwa siapapun yang menjadi anggota atau bahkan ketua golongan teroris akan dikenakan hukuman yang berat. China membuat regulasi terhadap kejahatan terorisme dan membatasi kegiatan ekstrim yang dilakukan oleh agama (Amnesty International, t.t: 5). Bagi China, kebebasan dalam memilih agama bukanlah kebebasan bagi suatu agama untuk melakukan kegiatan ekstrimis. Isu terorisme juga tidak terlepas dari keberadaan negara Iran, yang pada tahun 1984 dikecam Amerika Serikat sebagai negara  yang memberikan sponsor kepada terorisme, khususnya Hezbollah (Bahgat, 2009: 96). Namun, saat ini Iran juga aktif dalam melawan para ekstrimis dan terorisme. Hal ini terbukti pada pernyataan Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif (dalam http://indonesian.ws.irib.ir), bahwa Iran mengusulkan dibentuknya Worlds Against Violence and Extrimist (WAVE) untuk bersama-sama dengan negara lain mencegah penyebaran kejahatan dan golongan ekstrimis yang berorientasi pada kelahiran teroris.
            Isu terorisme juga membawa pengaruh terhadap negara-negara ASEAN. Indonesia yang menolak bergabung dengan negara-negara lain untuk melawan terorisme akhirnya memutuskan untuk ikut bergabung melawan terorisme setelah kejadian pengeboman Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Sebelumnya, Indonesia menganggap isu terorisme yang terjadi pada peristiwa 9/11 hanyalah isu mengenai Amerika Serikat saja, sehingga Indonesia merasa tidak perlu untuk bergabung dalam war on terrorism (Sebastian, 2003: 1). Negara-negara ASEAN mulai menganggap terorisme sebagai isu yang cukup serius setelah menyadari banyaknya aliran separatis Muslim yang menyebar di wilayah ASEAN. Menanggapi hal tersebut, negara-negara ASEAN melihat dibutuhkannya kerjasama multilateral antar angota ASEAN untuk saling menjaga stabilitas negara dari ancaman terorisme, karena teroris menyebar melewati batas-batas negara. Setidaknya ada dua deklarasi yang menunjukkan sikap anggota ASEAN dalam menanggapi isu terorisme. Yang pertama adalah Declaration on Joint Action to Counter Terrorism Issued yang diselenggarakan pada 2001. Deklarasi ini kemudian dibahas kembali dalam ASEAN Ministerial Meeting yang ke-35 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, pada tahun 2002. Deklarasi ini diadakan untuk memperkuat kerjasama bilateral, regional, dan internasional dalam melawan isu terorisme (Sebastian, 2003: 5). Dan yang kedua adalah ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) yang dibahas pada saat ASEAN Summit ke-12 pada tanggal 11-14 Januari 2007. ACCT berisikan peraturan-peraturan tentang bagaimana mengahadapi tersangka terorisme (ASEAN, t.t: 4). Kedua deklarasi tersebut menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN juga aktif dalam melawan golongan terorisme. Dalam menanggapi terorisme, anggota ASEAN lebih menggunakan preventif diplomasi dengan kerjasama multilateral tersebut (ASEAN, t.t: 2).
            Terorisme menjadi penting unutk dipelajari dalam diplomasi karena isu terorisme telah memberi banyak pengaruh terhadap perkembangan diplomasi. Terorisme juga telah merubah arah diplomasi yang dilakukan oleh negara-negara dunia untuk bersama-sama melawan terorisme. Negara-negara dunia menyadari perlunya suatu hubungan multilateral antar negara dalam mengatasi iru terorisme, karena terorisme menyebar tanpa melihat batasan negara. Isu terorisme mengingatkan pada dunia internasional tentang pentingnya diplomasi untuk menjaga hubungan antar negara serta untuk memperbaiki citra negara, seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat (Van Ham, 2003: 428). Diplomasi juga dibutuhkan dalam memberantas terorisme. Dengan adanya diplomasi multilateral, diplomasi publik, diplomasi preventif, hingga diplomasi koersif, berbagai upaya dalam melakukan penolakan kehadiran terorisme dapat secara jelas dipahami oleh masyarakat dunia.
            Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terorisme adalah tindakan perlawanan atau penyerangan yang dilakukan oleh pihak yang lebih lemah terhadap sistem yang keberadaannya lebih kuat, seperti negara. Teror yang dilakukan oleh golongan tertentu merupakan bentuk pelaksanaan dari tujuan yang telah mereka rencanakan. Contohnya adalah pengeboman gedung WTC dan Pentagon, Amerika Serikat oleh golongan terorisme Al Qaeda pada 11 September 2001. Peristiwa tersebut kemudian menyadarkan Amerika Serikat tentang bagaimana pandangan negara-negara Timur Tengah, sebagai negara asal Al Qaeda, terhadap negaranya. Amerika Serikat kemudian mulai melakukan berbagai macam diplomasi dan upaya-upaya penggunaan soft poweruntuk memperbaiki hubungan dan citra Amerika Serikat di mata dunia. Beberapa diplomasi yang dilakukan adalah diplomasi publik, multilateral, preventif, dan juga koersif. Melalui diplomasi dansoft power, Amerika Serikat mencoba memahami keberadaan kaum Muslim yang tidak semuanya adalah teroris. Isu terorisme juga mempengaruhi negara-negara lain seperti Rusia, China, Iran, dan anggota ASEAN. Negara-negara tersebut, setelah kejadian 9/11, juga turut menyatakan diri melawan terorisme dengan bergabung dan membentuk organisasi-organisasi anti-terorism, seperti WAVE dan ACCT.
            Penulis berasumsi bahwasannya keberadaan terorisme tidak terlepas dari tujuan-tujuan kelompok tertentu yang kebanyakan dilatarbelakangi oleh sifat ekstrimis dalam menyebarkan ideologi ataupun agamanya. Sehingga tidak semua pemeluk ideologi ataupun agama yang sama dengan golongan teroris adalah teroris. Menanggapi hal tersebut, tentu diperlukan adanya pemahaman masyarakat dunia akan keberadaan sebuah ideologi ataupun agama. Contoh dari upaya yang dilakukan untuk membuat masyarakat dunia paham akan hal tersebut adalah dengan membuat program exchange. AFS misalnya, yang memberikan kesempatan besar bagi pelajar dunia, termasuk pelajar Muslim, untuk melakukan pertukaran ke Amerika Serikat dan negara lain. Bagi pelajar Muslim, kemudian menjadi tugasnya untuk menjelaskan kepada masyarakat Amerika Serikat tentang bagaimana Islam yang sebenarnya, karena tidak semua umat Islam adalah teroris. Hal ini merupakan upaya soft power yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dengan memberi kesempatan kepada masyarakatnya untuk berinteraksi langsung dengan umat Muslim dunia. Terlebih Indonesia adalah negara yang dikenal dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam dan juga pernah menjadi sarang terorisme.

0 Response to "Pengaruh Terorisme Dalam Diplomasi"

Post a Comment