iklan1
A.
Pengertian Pembatalan Perjanjian
Pembatalan suatu perjanjian dapat
dilakukan dalam hal salah satu pihak lalai dalam memenuhi kewajiban
melaksanakan prestasinya
sebagaimana yang ditentukan Pasal 1266 dan 1277 KUHPerdata. Selain itu, pembatalan perjanjian juga dapat dilakukan jika perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat perjanjian.
sebagaimana yang ditentukan Pasal 1266 dan 1277 KUHPerdata. Selain itu, pembatalan perjanjian juga dapat dilakukan jika perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat perjanjian.
Menurut pendapat para sarjana,
jika di dalam perjanjian terdapat cacat kehendak seperti kesesatan/ kekeliruan,
paksaan dan penipuan, maka mengakibatkan bahwa perjanjian yang bersangkutan
dapat dibatalkan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1449 KUHPerdata bahwa
“Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan,
menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya”.
Pembatalan perjanjian karena
akibat adanya cacat kehendak yang berupa paksaan, kekhilafan atau penipuan
berakibat lahirnya hak untuk menuntut pemulihan keadaan seperti keadaan semua,
yakni keadaan sebelum terjadinya perjanjian. Hal tersebut sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1452 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Pernyataan batal
berdasarkan paksaan, kekhilafan atau penipuan, juga berakibat bahwa barang dan
orang-orangnya dipulihkan dalam keadaan sewaktu sebelum perikatan
dibuat”.
Pihak yang tidak cakap atau cacat
kehendaknya memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian yang berupa biaya, rugi,
dan bunga jika ada alasan untuk itu. Hal tersebut sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1453 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Dalam hal-hal yang diatur dalam
Pasal 1446 dan 1449, orang terhadap siapa tuntutan untuk pernyataan batal itu
dikabulkan, selain itu diwajibkan pula mengganti biaya, kerugian dan bunga,
jika ada alasan untuk itu”.
A.
Pembatalan - Pembatalan Perjanjian
a. Syarat pembatalan
Pembatalan dalam pembuatan suatu perjanjian dapat diminta oleh salah satu pihak yang dirugikan. Pada dasarnya, suatu perjanjian dapat diminta pembatalan apabila :
1. Perjanjian itu dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum seperti : belum dewasa, ditaruh dibawah pengampunan dan wanita yang bersuami (pasal 1330 WB)
2. Perjanjian itu bertentangan dengan undang-undang ketertiban umum dan kesusilaan.
3. Perjanjian itu dibuat karena kekhilafan, paksaan atau penipuan (pasal 1321 WB)
Dalam pasal 1266 WB dapat disimpulkan, bahwa ada tiga (3) hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian, yaitu :
- Perjanjian harus bersifat timbal balik
- Pembatalan harus dilakukan di muka hakim
- Harus ada wanprestasi
Menurut Prof. subekti, perjanjian dapat diminta pembatalannya kepada hakim dengan dua cara, yaitu :
1) Dengan cara aktif : menuntuk pembatalan perjanjian di depan hakim.
2) Dengan cara pembelaan : menunggu sampai di gugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian, dan baru mengajukan alasan mengenai kekurangan dalam perjanjian itu.
Dengan demikian, yang membatalkan perjanjian itu adalah melalui putusan hakim, menurut pasal 1454 WB, permintaan pembatalan perjanjian dibatasi sampai batas waktu tertentu (5 tahun)
b. Actio Pauliana
Actio Pauliana adalah suatu upaya hukum untuk menuntut pembatalan perbuatan-perbuatan hukum debitor yang merugikan kreditornya, misalnya hibah yang sengaja dilakukan debitor sebelum dirinya dinyatakan pailit yang mengurangi/membuat mustahil pemenuhan pembayaran utang-utangnya.
Actio Pauliana adalah suatu upaya hukum untuk menuntut pembatalan perbuatan-perbuatan hukum debitor yang merugikan kreditornya, misalnya hibah yang sengaja dilakukan debitor sebelum dirinya dinyatakan pailit yang mengurangi/membuat mustahil pemenuhan pembayaran utang-utangnya.
Menurut pasal 1341 WB,
seorang kreditur diberikan hak untuk mengajukan pembatalan terhadap segala
perbuatan debitur yang merugikan kreditur. Hak ini disebut dengan hak Actio
Paulina. Dengan demikian menurut pasal 1341 ayat (1) WB “Meskipun demikian,
tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak
diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga, yang
merugikan kreditur, asal dibuktikan, bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan,
debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak,
mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur.
Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang
menjadi obyek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati. Untuk mengajukan
batalnya tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur
menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui, bahwa
dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang yang
diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak. (KUHPerd. 192, 920, 977, 1061,
1067, 1166, 1185, 1454, 1922, 1952, Credverb. 5, F. 30, 41 dst.)”.
Untuk meminta pembatalan atau mengajukan pembatalan suatu perjanjian diperlukan syarat-syarat:
1) Yang meminta pembatalan adalah kreditur dari salah satu pihak
2) Perjanjian itu merugikan baginya
3) Perbuatan atau perjanjian itu tidak diwajibkan
4) Debitur dan pihak lawan, kedua-duanya mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan kreditur
c. Pembatalan perjanjian karena kekhilafan (dwaling)
Jika kehendak seseorang pada waktu membuat perjajian dipengaruhi oleh kesan/pandangan yang palsu, maka dalam hal ini terdapat kekhilafan. Contoh : seseorang membeli lukisan yang disangkanya lukisan Abdullah, akan tetapi ternyata bukan.
Pembatalan perjanjian berdasarkan kekhilafan (dwaling)
hanya mungkin dalam 2 hal, yaitu :
1. Apabila kekhilafan terjadi
mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Misalnya, membeli barang
yang disangkanya antik, tapi ternyata bukan.
2. Apabila kekhilafan mengenai diri
pihak lawannya dalam perjanjian yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya,
mengadakan perjanjian dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi
bukan.
Sehubungan dengan syarat, bahwa
kekhilafan itu harus mengenai hakekat dari barangnya, maka perlu dijelaskan
apakah yang dimaksud dengan perkataan tersebut. Hakekat barang adalah
sifat-sifat/ciri-ciri dari batangnya yang bagi para pihak merupakan alasan
dibuatnya perjanjian yang menyangkut barang
tersebut. Sedangkan menurut Hoge Raad, hakekat barang adalah keadaan
dari barangnya yang menjadi dasar dibuatnya perikatan oleh para pihak.
Untuk menggugat berdasarkan kekhilafat
(dwaling) harus memenuhi dua syarat, yaitu :
1. Pihak lawan mengetahui atau
seharusnya mengetahui, bahwa ia justru melakukan perbuatan itu berdasarkan
ciri-ciri dan keadaan yang keliru tersebut.
2. Dengan memperhatikan semua
keadaan, pihak yang melakukan kekhilafan tersebut selayaknya dapat dan boleh
membuat kekeliruan itu.
d. Pembatalan perjanjian karena paksaan (dwang)
Yang dimaksud dengan unsur paksaan dalam
kontrak adalah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat,
dimana terhadap orang yang terkena paksaan tadi timbul rasa takut baik terhadap
dirinya sendiri maupun harta bendanya dari suatu kerugian yang terang dan nyata
(Pasal 1324 KUH Perdata). Menurut KUH Perdata, agar suatu paksan dapat menjadi
alasan pembatalan kontrak, maka unsur paksaan tersebut harus memenuhi syarat :
1. Paksaaan
dilakukan terhadap
a. orang yang membuat kontrak ;
b. suami atau isteri pihak yang membuat kontrak
c. sanak keluarga dalam garis ke atas atau ke
bawah
2. Paksaan
tersebut dilakukan oleh :
a. salah satu pihak dalam kontrak ;
b. pihak ketiga untuk kepentingan siapa kontrak
itu dibuat
c. 3. paksaan tersebut menakutkan seseorang
4. orang yang
takut tersebut harus berpikiran sehat
5. ketakutan tersebut
berupa ketakutan terhadap diri orang tersebut dan ketakutan terhadap harta
bendanya terhadap kerugian yang nyata dan terang.
6. ketakutan
bukan karena hormat dan patuh kepada orang tua atau sanak keluarga tanpa
paksaan.
Dikatakan adanya paksaan, apabila seseorang melakukan perbuatan karena takut dengan ancaman, sehingga dengan demikian, orang tersebut terpaksa menyetujui perjanjian itu (Pasal 1324 WB “Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.”). Jadi disini, yang dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa, dan bukan paksaan badan (fisik). Dengan demikian, ancaman ini harus dengan sesuatu perbuatan yang terlarang dan diaanggap mungkin, bahwa paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga (pasal 1323 WB “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam perjanjian yang dibuat itu. (KUHPerd. 893, 1053, 1065, 1325.)”). Apabila yang diancamkan adalah sesuatu tindakan yang memang diizinkan oleh undang-undang, maka tidak dapat dikatan suatu paksaan. Jadi, siapa yang mengancam debitur dengan upaya-upaya hukum yang diperkenankan, maka ia bertindak menurut hukum.
e. Pembatalan perjanjian karena penipuan
(bedrog)
Penipuan adalah suatu rangkaian kebohongan dimana pihak yang satu dengan tipu muslihat berusaha menjerumuskan pihak lawan untuk suatu kata sepakat. Menurut Pasal 1328 WB, penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan suatu perjanjian, apabila dengan salah satu pihak sengaja melakukan tipu muslihat, dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya memberikan persetujuan. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Penipuan adalah suatu rangkaian kebohongan dimana pihak yang satu dengan tipu muslihat berusaha menjerumuskan pihak lawan untuk suatu kata sepakat. Menurut Pasal 1328 WB, penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan suatu perjanjian, apabila dengan salah satu pihak sengaja melakukan tipu muslihat, dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya memberikan persetujuan. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Yang dimaksud dengan penipuan adalah suatu
tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan pihak
lain dalam kontrak tersebut menandatangani kontrak yang bersangkutan, dan jika
seandainya tidak ada unsure penipuan ini (dalam keadaan normal) maka pihak tadi
tidak akan bersedia menandatangani kontrak (Pasal 1328 KUH Perdata).
Beberapa
syarat harus dipenuhi agar suatu penipuan dalam kontrak dapat dijadikan alasan
pembatalan kontrak :
1. penipuan harus mengenai fakta substansial ;
Penipuan yang dilakukan harus mengenai
fakta substansial. Jadi, misalnyabila seseorang penjual mobil second hand
mengatakan bahwa mobil yang dijualnya dalam keadaan baik, tapi ternyata setelah
dibeli oleh seorang pembeli, mobil tersebut ternyata tidak seperti yang ia
harapkan. Alasan ini tidak cukup menjadi alasan pembatalan karena keadaan baik
yang disebut penjual sangat relatif sifatnya dan hal ini bukan merupakan fakta
substansial, tapi lebih mengarah pada sebuah pendapat. Berbeda halnya jika
seorang penjual mengatakan menjual suatu barang yang berasal dari luar negeri
dengan menunjukkan surat-surat yang dipalsukan.
Sebenarnya
barang tersebut adalah barang dalam negeri. Alasan ini dapat dijadikan sebagai alasan
membatalkan kontrak, unsur penipuan yang dilakukan oleh penjual dalam hal ini
menyangkut masalah fakta substansial.
2. Pihak
yang menandatangani kontrak berpegang pada fakta substansial yang ditipu
tersebut.
3. Penipuan juga termasuk nondisclosure
Penipuan
yang sifatnya nondisclosure ini sifatnya merahasiakan suatu fakta atau
informasi substansial. Misalnya bila seorang penjual mengetahui bahwa pembeli
mencari barang baru, tetapi dia diam saja ketika ia memberikan barang separuh
pakai pada pembeli tersebut.
4. Penipuan juga termasuk kebenaran sebagian (half
truth);
Penipuan
jenis ini adalah dengan cara tidak memberirahukan sebagian informasi
substansial sedangkan sebagian lagi diberitahukan, sehingga pemberian informasi
seperti ini bisa menyesatkan (misleading)
5. Penipuan dengan perbuatan
Misalnya seorang menjual mobil bekas Taxi,
sebelum mobil tersebut dijual, penjual tadi merubah surat-surat Taxi tersebut
sehingga kelihatan tidak seperti mobil Taxi. Jika dalam keadaan normal pembeli
mengetahui fakta bahwa mobil ini adalah bekas Taxi, maka dia tidak akan membeli
mobil tersebut.
0 Response to "Makalah Pembatalan Perjanjian"
Post a Comment