Mahkamah Internasional sebagai Penyelesaian Sengketa Internasional

iklan1
Mahkamah Internasional sebagai Penyelesaian Sengketa Internasional

Macam-macam Penyelesaian Sengketa Internasional
Di dalam kehidupan ber negara tentunya tidak dapat selamanya berjalan mulus, terdapat beberapa hambatan berupa sengketa-sengketa internasional dalam perjalanannya. Starke (2001: 646) menjelaskan terdapat dua kategori cara untuk menyelesaikan sengketa internasional yaitu secara damai dan secara paksa atau kekerasan. Pada dasarnya dalam menyelesaikan permasalahan secara damai, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membaginya kedalam tiga bentuk diantarannya negosiasi, konsiliasi, dan mediasi. Bentuk pertama, negosiasi merupakan salah satu cara yang terjadi antara dua belah pihak atau lebih yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan masalah bukan dengan jalan kekerasan. Bentuk yang kedua, konsiliasi dimana cara yang ini bertujuan untuk mempelajari tuntutan-tuntutan para pihak dan membuat usulan-usulan bagi mereka untuk pemecahan masalah secara bersahabat namun apabila usulan-usulannya tidak dapat dicapai oleh kedua belah pihak maka komisi mengeluarkan suatu laporan yang beriikan penyelidikn, kesimpulan-kesimpulan namun hal-hal yang mmepengaruhi tersebut tidak bersifat mengikat (Wallace, t,t: 227). Sedangkan bentuk yang terakhir adalah mediasi yang merupakan salah satu bentuk dari negosiasi namun dalam prosesnya menggunakan bantuan dari pihak ketiga yang diseebut dengan mediator. Mediator tersebut memiliki wewenang dan melakuka pengajuan proposal yang sesuai dengan penafsiran masing-masing (Merrills, 2011: 21).
Sedangkan cara penyelesaian sengketa selanjutnya adalah dengan menggunakan paksaan atau kekerasan. Starke (2001: 679-683) membaginya menjadi lima kategori. Pertama, perang dan tindakan bersenjata non perang yang berarti bahwa adanya suatu tindakan penaklukan negara lawan dan pembebanan syarat-syarat penyelesaian terhadap negara lawan yang ditaklukan yang pada akhirnya negara lawan tidak mampu melakukan apapun selain mematuhi persyaratan yang diberikan. Kedua, retorsi yang merupakan suatu tindakan pembalas dendaman oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan yang dianggap tidak pantas dilakukan ole negaranya. Ketiga, tindakan pembalasan yang biasanya dilakukan suatu negara karena ia merasa telah dirugikan terhadap apa yang dilakukan oleh negara lain. Keempat, blockade damai merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dalam wakt damai. Dan yang terakhir adalah intervene biasanya lebih kepada suatu bentuk ancaman kepada negara lain.
Selain itu, Wallace (t,t: 276-280) juga menjelaskan terdapa beberapa bentuk lain dari penyelesaian sengketa sengketa internasional dengan menggunakan pihak ketiga yaitu jasa-jasa baik, konsiliasi, dan komisi penyelidik. Pertama, jasa-jasa baik yang merupakan suatu cara yang dilakukan dengan cara menengahi kedua belah pihak yang bertikai secara aktif dalam usaha untuk mendamaikan negara-negara yang berkepentingan atas posisi-posisi dan tuntutan-tuntutan mereka. Namun setiap saran yang diajukan oleh pihak ketiga tidak memiliki pengaruh yang kuat. Kedua, konsiliasi yang bertugas untuk mempelajari tuntutan-tuntutan para pihak dan membuat usulan-usulan bagi mereka untuk pemecahan secara bersahabat. Namun apabila persetujuan tidak dapat dicapai maka komisi mengeluarkan suatu laporan yang berisikan penyelidikan kesimpulan dan rekomendasi-rekomendasi tetapi hal tersebut juga tidak bersifat megikat. Dan yang terakhir adalah komisi penyelidik yang bertugas untuk menentukan fakta-fakta yang menyinggung adanya persengketaan misalnya dengan mendengarkan para aksi atau mengunjungi daerah dimana tuduhan pelanggaran atas hukum internasional yang dikatakan telah terjadi. Penyelesaian atas persengkataan dapat juga diprakarsai baik melalui organisasi internasional.
Selanjutnya, terdapat suatu cara penyelesaian sengketa internasional yang terkait dengan organisasi internasional msisalnya dengan bantuan Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional merupakan suatu badan pembentukan uama dari PBB oleh karena itu badan ini tidak dapat dipisahkan dengan PBB. Mahkamah Internasional ini dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan statute terlampir yang berarti bahwa didasarkan pada Mahkamah Tetap Peradilan Internasional. Fungsi dari Mahkamah Inernasional adalah untuk memutuskan perkara sesuai dengan hukum internasional (Thontowi & Iskandar, 2006: 234).

STATUTA MAHKAMAH INTERNASIONAL
Mahkamah Internasional merupakan lembaga peradilan dunia yang berkedudukan di Den Haag. Mahkamah ini sempat disebut sebagai Mahkamah Dunia berdampingan dengan Mahkamah Tetap Internasional sebelum akhirnya Mahkamah Tetap secara resmi dibubarkan pada bulan April 1946. Statuta dalam Mahkamah Internasional dipandang sebagai statuta pada umumnya, yakni sebagai dasar atau landasan bagi berdiri dan bekerjanya sebuah organisasi internasional. Statuta merupakan bagian integral dari piagam PBB yang berupaya agar tidak ada negara yang secara individu maupun kelompok negara yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari yang lainnya. Statuta Mahkamah Internasional dalam uraian di bawah ini berkonsentrasi pada lima hal utama yakni komposisi, yuridiksi, prosedur, dan advisory opinions.
Mahkamah Internasional tersusun atas beberapa jabatan diantaranya adalah hakim, hakim ad hoc, chamber, dan the registry. Hakim Mahkamah Internasional terdiri dari lima belas hakim yang dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak dalam suatu pertemuan secara dalam satu waktu yang sama tetapi terpisah di Dewan Keamanan dan Majelis Umum (Wallace, t.t). Syarat lainnya untuk menjadi hakim menurut pasal 2 statuta Mahkamah Internasional adalah berkepribadian dan bermoral tinggi, memiliki kualifikasi yang diisyaratkan di negaranya untuk ditunjuk dalam jabatan- jabatan tinggi di bidang hukum, atau para konsultan hukum yang diakui kompeten dalam hukum internasional. Para hakim tersebut menjabat dalam kurun waktu sembilan tahun dan dapat dipilih kembali dalam periode berikutnya. Kemudian, untuk menjaga kontinuitas dipilih lima orang hakim untuk bertugas selama 5 tahun secara interval.
Selanjutnya, apabila suatu negara pada suatu sengketa tidak memiliki hakim yang berkebangsaan negaranya, ia dapat meminta agar seorang hakim ad hoc dipilih. Hakim ad hoc ini sebaiknya berasal dari kebangsaan yang berbeda dari negara yang bersangkutan aalah satunya karena kekhawatiran akan mempengaruhi keputusan hakim yang cenderung condong ke salah satu pihak. Di dalam Mahkamah juga terdapat Chamber untuk memeriksa sengketa seseorang atas permintaannya sendiri. Terdapat tiga Chamber, diantaranya adalag  The Chamber of Summary Procedure, yaitu suatu Chamber yang terdiri dari 5 (lima) orang hakim termasuk di dalamnya presiden dan wakil presiden; Chamber yang terdiri dari tiga orang hakim yang menangani suatu kategori atau kelompok sengketa tertentu, misalnya sengketa di bidang perburuhan atau komunikasi; dan Chamber yang dibentuk Mahkamah untuk menangani suatu kasus tertentu setelah berkonsultasi dengan pihak mengenai jumlah dan nama – nama hakim yang akan menangani sengketa. The Registry merupakan bagian administratif Mahkamah.  Tugas utama organ ini adalah memberi bantuan jasa di bidang administratif dengan negara – negara yang bersengketa dan juga berfungsi sebagai suatu sekretariat.
Yurisdiksi dalam Mahkamah Internasional terbagi menjadi dua bagian utama yaitu yurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkannya (contentious jurisdiction) dan yurisdiksi non contentious jurisdiction. Di dalam Contentious jurisdiction, Mahkamah berwenang mengadili sengketa yang melibatkan dua atau lebih negara  (jurisdiksi ratione personae). Sengketa yang diterima oleh Mahkamah haruslah sengketa yang bersifat hukum. Sedangkan, subjek yang dapat mengajukan sengketa hanya negara saja. Subjek hukum internasional lain seperti orang perorangan, perusahaan, dan organisasi internasional tidak dapat menyerahkan sengketa kepada Mahkamah secara langsung.
 Selanjutnya, penerimaan atas yurisdiksi Mahkamah Internasional dapat dinyatakan dari berbagai sisi. Pertama, menurut pasal 36 ayat 1, Statuta Mahkamah menyatakan bahwa Mahkamah mempunyai yurisdiksi dalam semua kasus di mana negara- negara terlibat telah setuju untuk menyerahkan sengketa kepada Mahkamah dan semua permasalan khususnya yang ada di Piagam PBB atau traktat- traktat dan konvensi yang berlaku. Kedua, dilihat dari kacamata forum prorogatum, yurisdiksi Mahkamah muncul meskipun hanya satu negara saja yang menyatakan persetujuannya atas yurisdiksi Mahkamah. Kesepakatan pihak lainnya diberikan secara diam – diam,tidak tegas, tersirat, atau bahkan jika tidak ada, tidak menjadi masalah selama persetujuan bisa dinyatakan secara tidak langsung. Ketiga, berdasarkan pasal 36 ayat 2 tentang klausul pilihan, yang menegaskan bahwa negara dapat menerima yurisdiksi Mahkamah sebagai ipso facto wajib tanpa melalui persetujuan khusus. Persengketaan hukum kemudian dibatasi dalam lingkup antara lain; interpretasi atas suatu traktat, merupakan bagian masalah dari hukum internasional, adanya indikasi pelanggaran terhadap kewajiban internasional, serta sifat alamiah atau perluasan perbaikan yang harus dibuat untuk pelanggaran terhadal kewajiban internasional.
Untuk dapat menyelesaikan sebuah sengketa di Mahkamah Internasional, pihak- pihak terlibat harus menjalankan prosedur penyelesaian sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini dapat diawali dengan kesepakatan antara pihak- pihak yang bersengketa untuk menyerahkan penyelesaian ke Mahmakah Internasional. Kemudian, pihak- pihak tersebut masing- masing menunjuk seorang hakim untuk mewakili negara dalam persidangan. Selanjutnya, hakim akan memaparkan permasalahan yang menjadi sengketa untuk kemudian diteruskan dengan penyampaian argumentasi secara lisan masing- masing wakil hakim dari pihak- pihak terlibat di muka Mahkamah. Berikutnya, persidangan dilanjutkan oleh 15 hakim Mahkamah Internasional yang telah disinggung dalam uraian sebelumnya. Dalam musyawarah tersebut, para hakim menyusun tanggapan pertamanya serta mendiskusikannya. Langkah berikutnya adalah pembentukan Drafting Committer atau Komisi Rancangan agar segera menyusun secara berurutan tiap naskah pendapat hakim untuk kemudian dibaca oleh seluruh hakim dan menjadi bahan diskusi atau amandemen dalam rapat pleno hakim. Dari diskusi tersebut, muncul sebuah pendapat akhir yang didukung suara mayoritas hakim di persidangan.Pendapat akhir Mahkamah yang sebenarnya merupakan putusan dibacakan dalam persidangan terbuka, di depan para penasehat hukum kedua pihak yang bersengketa (Rahmat, 2014).
Di samping berbagai yurisdiksi Mahkamah Internasional yang telah diuraikan sebelumnya, Mahkamah juga berkompetensi untuk memberikan nasehat atau advisory opinions yang telah tercantum dalam Statuta Mahkamah Internasional pasal 65. Nasehat dalam konteks ini adalah Mahkamah memberikan nasehat terhadap setiap persoalan hukum atas permintaan Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa, Dewan Keamanan, dan lembaga- lembaga lain yang memiliki kewenangan. Negara tidak dimasukkan dalam advisory ini namun diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam proses di muka Mahkamah (Wallace, t.t).
MEKANISME MAHKAMAH INTERNASIONAL
Secara umum, mekanisme persidangan dalam Mahkamah Internasional terdiri dari mekanisme normal dan mekanisme khusus. Mekanisme normal dimulai dengan menyerahkan perjanjian khusus antara pihak- pihak terlibat yang berisi penerimaan yuridiksi Mahkamah Internasional yang berisi identitas pihak terlibat dan inti dari sengketa. Langkah berikutnya adalah pembelaan tertulis yang dapat berupa Memori dan Tanggapan Memori. Memori berisi pernyataan fakta, hukum yang relevan, dan penundukan atau submissions yang diminta. Sedangkan, tanggapan memori berisi argumen pendukung atau juga penolakan terhadap memori, jawaban pernyataan, fakta baru, dan dokumen pendukung lainnya.
Setelah pembelaan tertulis diserahkan oleh para pihak yang bersengketa, dimulailah presentasi pembelaan. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum, kecuali bila para pihak menghendaki tertutup dan disetujui oleh Mahkamah Internasional. Berikutnya, kasus sengketa dianggap selesai berdasarkan tiga kemungkinan. Pertama, bilamana para pihak berhasil mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, bilamana pihak applicant atau kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk menarik diri dari proses beracara. Ketiga, bilamana MI telah memutus kasus tersebut berdasarkan pertimbangan dari keseluruhan proses persidangan (Setyani&Hartati, 2011).
Dalam beberapa kasus, persidangan berjalan dengan mekanisme khusus. Yang dimaksud khusus disini adalah ada penambahan tahap yang menyebabkan mekanisme berjalan dengan tidak biasa. Salah satu alasannya yaitu ada sebuah kondisi di mana untuk mencegah agar Mahkamah tidak membuat putusan, salah satu pihak dalam sengketa (respondent) mengajukan keberatan (Setyani&Hartati, 2011). Menghadapi keberatan awal ini, ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan Mahkamah yaitu menerimanya, lantas menutup kasus yang diajukan dan menolak keberatan awal tersebut dan meneruskan proses persidangan. Alasan lainnya adalah ketidakhadiran salah satu pihak karena menolak yuridiksi Mahkamah dan adanya intervensi dalam persidangan. Maksudnya adalah Mahkamah memberikan hak kepada negara lain yang tidak terlibat untuk melakukan intervensi terhadap sengketa yang dipersidangkan di Mahkamah. Ini bisa terjadi saat negara yang tidak terlibat tersebut melihat kemungkinan ia akan dirugikan oleh putusan akhir Mahkamah terhadap sengketa.
MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL DAN CONTOH KASUS
Dalam proses penyelesaian masalah hukum di tingkat internasional, langkah yang bisa diambil oleh pihak yang bersengketa adalah melalui cara arbitrasi. Menurut Pasal 37 Konvensi Den Haag, arbitrase dilakukan dengan tujuan menyelesaikan sengketa antar negara oleh hakim-hakim pilihan dan atas dasar ketentuan hukum. Ciri pokok arbitrase sendiri bersifat sukarela, mengikat, dan non-institusional (Mauna, 2005:229). Dalam prosesnya, negara yang bersengketa berhak memutuskan apakah akan mengambil cara penyelesaian melalui arbitrase dan juga negara berhak memilih hakim yang akan memimpin sidang. Namun, hakim yang dipilih bukan merupakan organ permanen yang dibentuk sebelum sengketa tersebut dibawa ke Mahkamah Internasional. Konsep tersebut kemudian yang dikategorikan sebagai non-institusional (Mauna, 2005:229). Sehingga kemudian, organ arbitrase bersifat sementara. Hanya berlaku ketika sengketa tersebut dipidanakan dan akan dibubarkan ketika kasus selesai.
Contoh kasus yang dapat menjelaskan proses arbitrase internasional adalah sengketa antara Perusahaan Semen Gresik dan Cemex. Sejak awal telah dicantumkan dalam klaususl kontrak kedua belah pihak untuk membawa permasalahan untuk diarbitrasekan. Akar permasalahan dari kasus ini adalah Semen Gresik yang pada waku ditentukan tidak dapat memenuhi tuntutan dari Cemex yang menguasai 51% saham Semen Gresik di tahun 2001. Setelah proses negosiasi mengalami kebuntuan, Cemex memutuskan untuk mendaftarkan proses arbitrase di the International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) yang merupakan afiliasi dari Bank Dunia untuk menyelesaikan masalah tersebut (The Jakarta Post 2003). Namun, ujung dari arbitrase ini adalah pencabutan pengaduan oleh Cemex di tahun 2006.
MEKANISME PENYELESAIAN DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL
Dalam menyelesaikan beberapa kasus oleh Mahkamah Internasional, ada beberapa aturan yang harus diperhatikan sebagai syarat dan juga prosedur pelaksanaan. Kasus yang ingin diselesaikan oleh Mahkamah Internasional wajib memenuhi beberapat aturan yang sudah ditetapkan dalam Statuta Mahkamah Internasional. Dalam statuta tersebut dijelaskan apa sajan yang menjadi syarat bagi mahkamah ataupun pedaftar. Proses berjalannya kasus pendaftar dalam Mahkamah Internasional kemudian dibagi ke dalam dua seksi statuta, yang pertama membahas tentang proses kasus sebelum dibawa ke mahkamah dan yang kedua mengenai keputusan mahkamah. Seksi yang pertama dibagi lagi ke dalam tiga subseksi, yaitu proses dari institusi, proses tertulis, dan proses lisan. Dalam subseksi pertama artikel 14 sampai 17 dijelaskan bahwa pendaftar harus menentukan permasalahan apa yang akan di bawa ke Mahkamah Internasional, klaim apa yang akan dibahas, dan juga siapa saja pihak yang terkait dalam perselisihan tersebut disertai dengan berbagai bukti yang dimiliki. Kemudian pelapor harus membawa sertifikat persetujuan dari pihak lain yang dinamakan dengan special agreement. Sertifikat tersebut harus dikirimkan kepada pihak terkait yaitu Sekretaris Umum PBB, anggota PBB, dan juga negara yang berselisih (International Court of Justice, t.t). Subseksi kedua menjelaskan tentang jumlah dan urutan pengajuan dengan tidak menyebabkan penundaan yang berpihak.Pendaftar juga dapat menggabungkan dua atau lebih kasus sekalipun dengan syarat tidak mempengaruhi aksi umum dalam pengadilan. Subseksi ini juga mempertegas bahwa bahasa yang digunakan dalam segala persoalan ini adalah Bahasa Inggris, jika tidak maka diharuskan untuk membawa penerjemah. Subseksi ketiga yaitu tentang proses lisan. Subseksi ini secara umum merupakan proses hearing dari proses tertulis sebelumnya. Pada proses ini berbagai argumen dari kedua pihak disampaikan dengan tetap mengacu pada bukti yang ada. Pada proses ini pula berbagai macam pertanyaan dapat disampaikan kepada kedua belah pihak, mahkamah juga dapat meminta penjelasan lebih kepada pihak-pihak terkait.
Seksi selanjutnya menjelaskan tentang proses pengesahan dalam Mahkamah Internasional. Pengesahan yang tercantum dalam Seksi G Artikel 30 Statuta Mahkamah Internasional mengindikasikan tentang hasil substantif sebelum peradilan. Anggota pihak ataupun anggota peradilan memiliki hak untuk menyampaikan opini mereka yang berupa explanatory memoranda,yaitu opini pendek yang disertai dengan penjelasan. Hasil sidang kemudian harus dibukukan dan dibacakan kepada peserta umum peradilan pada tanggal yang sudah ditentukan. Kemudian dalam artikel 31 dijelaskan bahwa hasil pengesahan harus berisikan tentang tanggal dibacakannya hasil tersebut, nama anggota pengesahan, pihak yang bersengketa, agen, penasehat, dan pengacara pihak terkait, rangkuman dari proses yang dijalani, pernyataan mengenai fakta yang ada, alasan dalampoint of law, syarat operatif dalam pengesahan, keputusan peradilan, jumlah dan nama pengesah yang menghasilkan dominasi keputusan, dan juga pernyataan autoritatif dari para pengesah. Kemudian satu dari hasil pengesahan harus ditandatangani dan disegel untuk disimpak sebagai draf di Mahkamah Internasional. Hasil pengesahan juga harus diberikan kepada masing-masing pihak sertakepada Sekretaris Umum PBB, anggota PBB, dan negara terkait lainnya (International Court of Jutice, t.t).
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa di dalam dunia internasional untuk menyelesaika sengketa internasional terdapat beberapa cara diantaranya negosiasi, konsiliasi. Lalu terdapat juga cara dengan menggunakan pihak ketiga yaitu dengan mediasi, jasa-jasa baik, dan lain lain. Terdapat juga salah satu cara dengan melibatkan organisasi internasional yaitu mahkamah internasional. Mahkamah internasional adalah suatu lembaga peradilan dunia yang merupakan suatu pembentukan dari PBB untuk menyelesaikan masalah internasional. Statuta dari Mahkamah Internasional sendiri dipandang sebagai dasar atau landasan bagi berdiri dan bagaimana organisasi tersebut bekerja. Dimana statuta Mahkamah Internasional tersebut berfokus pada komposisi, yurisdiksi, prosedur, dan advisory opinions. Di dalam mekanisme Mahkamah Internasional sendri terbagi menjadi dua mekanisme yaitu mekanisme normal dan mekanisme khusus. Namun dalam menangani masalah di Mahkamah Internasional harus berdasarkan pada prosedur di statute Mahkamah Internasional.

0 Response to "Mahkamah Internasional sebagai Penyelesaian Sengketa Internasional"

Post a Comment