Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional

iklan1
Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional
Perjanjian secara umum dimengerti sebagai persetujuan baik tertulis maupun
lisan dari dua pihak atau lebih yang mana masing- masing pihak bersepakat untuk saling menaati kesepakatan yang telah disebutkan di dalamnya. Dalam dunia hukum, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa- bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu (Kusumaatmadja, 1990: 84). Dari definisi ini, dapat diuraikan dua hal utama dalam perjanjian internasional yakni siapa saja yang menjadi peserta perjanjian ini dan mana yang dapat atau tidak dapat dimasukkan dalam kategori perjanjian internasional. Mengenai peserta perjanjian. Di dalamnya meliputi negara  dan organisasi internasional. Perjanjian internasional dapat dilakukan oleh negara  dengan organisasi internasional serta dari organisasi satu ke organisasi internasional yang lain. Dapat juga terjadi antara hukum internasional dengan subyek hukum internasional yang lain.
Namun, ada beberapa hal yang tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian. Misalnya, jika perjanjian telah terjadi pada waktu lampau antara serikat- serikat dagang yang besar seperti East India Company dan Vernigde Oost Indische Compagnie dengan kepala negeri bumiputra (Kusumaatmadja,1990: 84). Pada masa tersebut, perjanjian diadakan oleh raja- raja setempat, bukan oleh pemerintah sebagai simbol legalitas negara. Dalam lingkup hukum internasional, perjanjian seharusnya dilakukan oleh wakil negara yang melakukan perjanjian atas nama negara dengan syarat wakil negara yang ditunjuk memiliki kekuatan penuh. Kemudian, kondisi saat negara membuat kontrak terhadap orang perorangan dan badan hukum tertentu juga tidak bisa disebut sebagai perjanjian internasional karena  telah diatur dalam hukum nasional negara bersangkutan.
Perjanjian internasional dalam uraian ini diuraikan sebagai sumber hukum formal dari hukum internasional. Perjanjian memberikan arahan kepada pembentukan kaidah- kaidah dalam hukum internasional yang bergantung pada sifat dari perjanjian itu sendiri. Untuk itu, perjanjian internasional digolongkan dalam dua jenis  yakni law making treaties dan treaty contract. Dalam kaitannya dengan hukum internasional, law making treaties lah yang dianggap menjadi sumber hukum langsung hukum internasional. Sedangkan, treaty contract adalah sumber hukum tidak langsung karena hanya dimaksudkan untuk menetapkan kewajiban- kewajiban khusus diantara para pesertanya ( Starke, 2006: 52). Dua golongan perjanjian ini akan diuraikan lebih jelas  dalam paragraf berikut.

Macam Perjanjian Internasional
Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, perjnajian internasional merupakan perjanjian yang dilakukan oleh anggota masyarakat internasional yang masuk ke dalam kategori subjek hukum internasional dan bertujuan untuk menghasilkan suatu tindakan atau hukum tertentu. Perjanjian internasional kemudian digolongkan menjadi beberapa macam dengan kategori penggolongan yang berbeda-beda. Penggolongan pertama ditulis oleh Kusumaatmadja dan Agoes (2010: 119) berdasarkan pada proses pelaksanaan perjanjian hingga perjanjian tersebut diratifikasi. Golongan yang pertama pada kategori ini adalah golongan perjanjian internasional yang memiliki tiga tahap, yaitu perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Perjanjian golongan ini biasanya dilakukan untuk perjanjian yang sifatnya penting sehingga memerlukan ratifikasi oleh badan yang berwenang. Sedangkan golongan kedua yaitu perjanjian yang hanya melalui dua tahap pertama, biasanya dilakukan pada perjanjian yang sifatnya butuh untuk cepat disahkan seperti perdagangan jangka pendek. Perjanjian golongan kedua ini lebih pantas disebut sebagai persetujuan atau agreement.Namun demikian penggolongan ini dianggap kurang bisa diandalkan karena tidak ada ukuran khusus untuk menentukan apakah perjanjian tersebut penting atau tidak. Perjanjian internasional kemudian juga digolongkan berdasar pada jumlah peserta yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Kategori ini membagi perjanjian internasional menjadi perjanjian bilateral yaitu perjanjian yang hanya melibatkan dua pihak dan perjanjian multilateral yaitu perjanjian yang melibatkan lebih dari dua pihak. Contoh dari perjanjian bilateral adalah perjanjian antara Indonesia dan Tiongkok mengenai dwikewarganegaraan pada tahun 1954, sedangkan contoh dari perjanjian multilateral yaitu Konvensi Jenewa tahun 1949 yang membahas tentang perlindungaan korban perang (Kusumaatmadja & Agoes, 2010: 122).
Pembagian macam perjanjian internasional yang selanjutnya didasarkan pada fungsi dari perjanjian itu sendiri. Dasar ini membedakan jenis perjanjian sebagai treaty contract dan law making treaties. Treaty contract adalah perjanjian yang perjanjian dalam hukum perdata yang menghasilkan suatu hak dan kewajiban terbatas pada pihak yang masuk dalam perjanjian tersebut. Treaty contractmerupakan perjanjian dengan skala yang kecil dan permasalahan dalam konteks mikro. Berbeda dengan law making treaties yang apabila ditinjau dari segi bahasa berarti sebuah perjanjian dalam pembuatan hukum. Law making treaties lebih bersifat umum karena perjanjian yang dibuat merupakan perjanjian-perjanjian atas permasalahan yang mencakup masyarakat secara keseluruhan. Law making treaties bersifat makro dan memberikan efek hukum pada semua masyarakat meskipun negaranya tidak terlibat secara langsung. Bahkan tata cara tentang pelaksanaan treaty contract dapat pula berasal dari law making treaties. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa treaty contract dapat menjadi umum ketika kemudian ia menjadi suatu hukum kebiasaan (Kusumaatmadja & Agoes, 2010: 122-4).
Di Indonesia sendiri ada beberapa bentuk perjanjian yang sering dilakukan, diantaranya adalah traktat, konvensi, persetujuan, memorandum of understanding, arrangement, exchange of notes, modus vivendi, dan juga record of discussion. Traktat dapat diartikan sebagai perjanjian internasional yang mengatur tentang hal-hal yang sifatnya penting dan mengikat negara secara keselruhan. Konvensi merupakan perjanjian yang sifatnya lebih kepada law making treaty, yaitu mengatur kaidah hukum bagi masyarakat internasional. Sedangkan persetujuan merupakan perjanjian yang lingkupnya jauh lebih kecil dibanding dua perjanjian sebelumnya, persetujuan hanya mengikat pada negara terkait saja. Memorandum of Understanding (MOU) melalui perspektif politis dijelaskan sebagai perjanjian yang tidak formal sehingga tidak terlalu mengikat.Arrangement merupakan perjanjian yang dilakukan untuk mengatur pelaksanaan teknis atas perjanjian yang telah ada sebelumnya. Exchange of note adalah pemberitahuan atas posisi sebuah negara terhadap kasus secara resmi. Exchange of note dapat dijadikan sebagai sebuah perjanjian internasional melihat kelanjutan dari negara masing-masing. Modus vivendi adalah instrumen kesepakatan yang bersifat tidak resmi dan sementara, yang biasanya kemudian akan dilanjutkan ke bentuk perjanjian yang lebih resmi dan permanen. Bentuk yang terakhir yaitu record of discussiondiartikan sebagai kesepakatan sementara antara wakil pemerintahan negara dalam sebuah diskusi atau pertemuan untuk nantinya dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan (Agusman, 2010: 32-4).

Ratifikasi Perjanjian
Merujuk pada definisi hukum internasional yang merupakan kesepakatan bersama dua negara atau lebih dalam bentuk perjanjian internasional, sifat dari hukum internasional tidak mengikat. Dalam proses pembentukannya, perjanjian internasional menempuh berbagai tahapan dimulai dari penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatangan (Sunyowati et al.,2011: 45). Namun, terdapat perbedaan mengenai proses perjanjian internasional. Pada perjanjian bilateral, tahap akhir yang perlu dilakukan adalah penandatanganan guna melegalisasi perjanjian yang dibuat dua negara. Berbeda dengan perjanjian multilateral, keterikatan pihak-pihak yang terlibat tercipta setelah dilakukan ratifikasi.
Ketentuan ratifikasi telah diatur di dalam Vienna Convention On The Law of Treaties yang dibuat pada tahun 1969 di kota Wina. Namun, proses ratifikasi sendiri telah lama dipraktikkan di abad ke-19. Awalnya, menurut Grotius dalam perjanjian internasional hanya melalui tanda tangan kedua pihak maupun lebih sudah cukup. Tetapi, dengan berkembangnya prinsip demokrasi muncul urgensi untuk meninjau ulang perjanjian-perjanjian yang telah dibuat (Mauna 2005, 117). Hingga akhirnya, negara-negara mulai melakukan praktik ratifikasi dalam proses pembuatan perjanjian internasional. Setelah ratifikasi dilakukan, negara terikat secara definitif oleh perjanjian tersebut.
Lebih lanjut, antara hukum internasional dan hukum nasional terdapat hubungan terkait dengan proses ratifikasi ini. Dalam hukum internasional hanya tercantum kewajiban yang harus dipenuh oleh negara, namun hukum nasional yang menentukan implementasi dari hukum internasional tersebut. Hukum nasional juga menentukan kekuasaan negara dan mengatur prosedurnya (Mauna 2005, 116). Untuk memahami konsep ini, penulis akan memberikan contoh kasus mengenai proses ratifikasi di Indonesia. Landasan ketentuan ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia tercantum dalam pasal 9 ayat 2 UU nomor 24 tahun 2000 mengenai perjanjian internasional yang berbunyi: “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden”. Namun dalam praktiknya, Indonesia sendiri masih belum memiliki konsep dalam proses ratifikasi yang jelas. Maksud dari pernyataan tersebut adalah di Indonesia masih belum ada pembagian perjanjian yang masuk dalam kategori perlu dan tidak perlu untuk mendapat persetujuan parlemen. Bahkan dalam UUD 1945 tidak terdapat kata-kata ratifikasi (Kusumaatmadja 2003, 132). Di Indonesia juga masih terdapat banyak perjanjian internasional yang belum diratifikasi. Beberapa diantaranya adalah Konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Protokol Konvensi Anti Penyiksaan. Hingga kini tercatat sekitar 250 konvensi multilateral yang masih menunggu kajian badan legislatif negara (Hippy 2013, 98).

Perjanjian Ekstradiksi
Perjanjian internasional merupakan suatu perjanjian antar dua negara atau lebih dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dan untuk mencapai tujuan nasional. Perjanjian internasional menurut garis besar terbagi menjadi dua yaitu perjanjian internasional tidak tertulis dan perjanjian internasional tertulis (Parthiana, 2002: 35-9). Perjanjian internasional tertulis adalah suatu perjanjian antara dua atau lebih negara secara tertulis. Biasanya diwujudkannya perjanjian tertulis ini kedalam hukum internasional. Beberapa jenis dari perjanjian internasional tertulis adalah perjanjian antar negara, perjanjian antar kepala negara, perjanjian antar pemerintah, perjanjian antar kepala negara dan kepala pemerintah (Parthiana, 2002). Sedangkan perjanjian internasional tidak tertulis adalah suatu pernyataan secara bersama yang diucapkan oleh kepala negara, kepala pemerintahan ataupun menteri luar negeri atas nama negarana masing-masing mengenai suatu permasalah tertentu yang menyangkut kepentingan suatu pihak.
Dengan semakin canggihnya teknologi saat ini, pelaku kejahatan biasanya setelah melakukan suatu tindakan kejahatan di Indonesia ia langsung kabur ke negara lain. Namun apabila buronan tersebut tertangkap di negara lain maka untuk pengembaliannya ke Indonesia ia harus melalui suatu proses yaitu proses ekstradisi. Salah satu bentuk dari perjanjian internasional adalah perjanjian ekstradisi. Ekstradisi adalah suatu upaya dari suatu negara kepada negara lain untuk mengadili seorang tindak pidana untuk diadili di negaranya (Tontowi & Jawahir, 2006: 166). Namun menurut UU RI No. 1 Tahun 1979 pasal 1, ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena telah melakukan suatu kejahatan diluar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyertaan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya (Interpol, 2008).
Perjanjian ekstradisi ini memiliki kerterkaitan dengan kejahatan transnasional. Namun pada dasarnya adanya perjanjian ekstradisi tersebut telah tertuang dalam prinsip Undang-Undang setiap negara karena sebenarnya perjanjian ekstradisi ini merupakan kedaulatan suatu negara dan merupakan suatu kewajiban untuk melindungi warga negaranya. Oleh karena itu Siswanto Sunarso (2009: 5) menyatakan bahwasanya perjanjian ekstradisi merupakan suatu perjanjian yang melibatkan kepentingan hukum, kepentingan pemerintah yang baik, dan juga kepentingan warga negara untuk mendapatkan haknya.
Pada dasarnya beberapa negara telah melakukan perjanjian ekstradisi dengan negara lainnnya demi upaya untuk memberantas tingkat kejatahan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan direalisasikannya ekstradisi di Indonesia dengan membuat Undang-undang ekstradisi No. 1 Tahun 1979 (Interpol, 2008). Beberapa negara yang telah melakukan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia adalah Malaysia, Thailand, Philipina, Australia, Hongkong, Korea Selatan, dan Singapura (Interpol, 2008).
Salah satu perjanjian ekstradisi yang telah direalisasikan Indonesia adalah perjanjian ekstradisi antara pemerintah Republik Indonesia dengan Australia. Perjanjian ekstradisi yang dilakukan oleh kedua negara tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang penegakan hukum dan pemberatasan kejahatan (unsrat, tt). Cara untuk mewujudkan perjanjian tersebut adalah dengan cara mencegah lolosnya pelaku tindak pidana dari tuntutan dakwaan dan pelaksaan hukuman. Karena lolosnya pelaku tindak pidana dari tuntunan hukum, dakwaan, dan pemidanaan dapat melukai perasaan korban pelaku tindak pidana beserta keluarga dan masyarakat tepat dimana ia melakukan tindakan pidana. Terlebih lagi dengan lolosnya tindak pidana terebut dapat merugikan secara material khususnya jika tindakan pidana melakukannya dalam bidang ekonomi dan keuangan. Dengan direalisasikannya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Australia tersebut diharapkan dapat meningkatkan hubungan dan kerjasama antara kedua negara terutama dalam menegakkan hukum dan pemberatasan kejahatan (unsrat, tt). Adanya perjanjian ekstradisi ini nyatanya dapat memenuhi tuntutan keadilan selain itu juga dapat menghindari kerugian-kerugian yang disebabkan lolosnya tersangka, terdakwa atau pidana bagi kedua belah pihak khususnya tindakan pidana dalam bidang keuangan (unsrat, tt).
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar perjanjian internasional merupakan perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara terkait permalahan yang sedang terjadi guna melahirkan suatu tindakan tertentu. Perjanjia internasional juga dapat menjadi suatu sumber hukum internasional sebagaimana telah dijelaskan pada Statuta Mahkamah Internasional. Perjanjian internasional juga dibagi ke dalam beberapa kategori, ada pembagian berdasar peserta perjanjian, proses perjanjian, dan juga fungsi perjanjian internasional. Dalam perjanjian internasional, ada hal penting yang harus diperhatikan sebagai closing atas proses suatu perjanjian yaitu ratifikasi. Ratifikasi dapat diartikan sebagai bentuk persetujuan negara untuk terikat dalam sebuah perjanjian. Ketentuan mengenai ratifikasi telah diatur Vienna Convention On The Law of Treaties tahun 1969. Perjanjian internasional juga erat kaitannya dengan perjanjian ekstradiksi. Perjanjian ekstradiksi merupakan perjanjian yang menyatakan penyerahan suatu kasus negara kepada negara lain yang bersangkutan demi menuntaskan kasus kejahatan yang ada. Perjanjian ini akan berguna ketika tersangka pidana melarikan diri ke negara yang sudah melakukan perjanjian ekstradiksi.

0 Response to "Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional"

Post a Comment