Hukum Internasional: Definisi, Subyek, dan Sumbernya

iklan1
Hukum Internasional: Definisi, Subyek, dan Sumbernya
Dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat telah hidup
mengikuti aturan- aturan yang berlaku di daerah mereka sebagai perwujudan bahwa keteraturan dan keinginan menciptakan kedamaian maupun juga sebagai bentuk melanggengkan tradisi yang berlangsung turun temurun. Aturan- aturan inilah yang dikenal dengan sebutan hukum. Hukum pada umumnya terbagi menjadi dua jenis, yakni hukum resmi dan tidak resmi. Dalam menghadapi sebuah persoalan yang menyangkut pelanggaran hukum di daerah, masyarakat atau penguasa setempat tidak akan mengalami kesulitan dalam proses  pelaksanaan hukum, baik yang akan dijalankan dari segi hukum resmi maupun hukum tidak resmi seperti hukum adat. Namun, permasalahannya adalah bagaimana jika ada unsur negara lain di dalam kasus tersebut? Misalnya saja, nelayan negara A yang telah memancing ikan di wilayah laut negara B secara ilegal. Tentu memerlukan pemecahan kasus tersendiri karena adanya perbedaan hukum yang dianut negara satu dengan negara lainnya. Inilah kemudian yang menjadi salah satu alasan pentingnya menciptakan sebuah sistem hukum baru yang disebut dengan hukum internasional. Pada paper ini, tim penulis menguraikan beberapa hal mendasar tentang hukum internasional. Bagian pertama menjelaskan tentang arti hukum nasional dan hukum internasional. Bagian kedua adalah uraian tentang macam- macam hukum internasional. Bagian ketiga adalah mengenai subjek hukum internasional, dan bagian terakhir merupakan penjelasan sumber hukum internasional.
Arti Hukum Nasional dan Hukum Internasional
Hukum nasional adalah ketentuan hukum yang mengatur hidup manusia dalam lingkungan kebangsaannya masing- masing (Kusumaatmaja, 1990: 39). Sedangkan, hukum internasional, secara tradisional merupakan suatu lembaga hukum yang mengatur hubungan negara- negara merdeka pada waktu perang dan damai (Wallace, 1986: 2). Namun, seiring dengan perkembangan zaman ditambah lagi dengan adanya globalisasi yang menambah kompleksitas hubungan antar negara, definisi tersebut dinilai terlalu sempit. Lebih lanjut, Starke menuliskan bahwa hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip- prinsip dan kaidah- kaidah perilaku yang terhadapnya negara- negara merasa dirinya terikat untuk mentaati, dan karenanya, benar- benar ditaati secara umum dalam hubungan- hubungan mereka satu sama- lain (Starke, 2006: 3). Singkatnya, hukum internasional yang didefinisikan oleh Starke ini bukan hanya mencakup hubungan antara negara dengan negara, melainkan juga mengatur bagaimana hak dan kewajiban lembaga pemerintah dan non pemerintah, organisasi internasional, serta individu dalam jangkauan internasional.
Adanya dua bidang hukum ini, yakni hukum nasional dan hukum internasional tidak lantas mengesampingkan keberadaan salah satu hukum tersebut. Dengan hukum nasional misalnya, negara dapat berpartisipasi dalam perpolitikan dunia sehingga mendukung urgensi dari hukum internasional itu sendiri. Lalu, jika dicari seberapa berbeda antara hukum nasional dan hukum internasional, maka terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya. Hukum nasional tergantung pada legalitas negara, seberapa jauh hukum tersebut diakui oleh warga negara, bersifat mengikat, dan hanya berlaku dalam satu wilayah negara. Sebaliknya, hukum internasional bersifat lintas negara, namun tidak otomatis mengikat negara untuk tunduk kepada hukum internasional. Secara intrinsik, partisipasi utama dari sistem hukum ini adalah negara- negara, yang diperlakukan sebagai pemilik dari kedaulatan yang sama (Wallace, 1986: 4).
Hukum internasional merupakan keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melewati batas negara dimana batasan-batasan yang diatur diantaranya adalah negara dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau dapat juga subjek hukum bukan negara satu sama lain (Kusumaatdja 1999: 4). Sebenarnya istilah hukum internasional sama dengan hukum internasional publik namun tidak sama dengan hukum perdata internasional. Terdapat juga istilah-istilah lain yang mempunyai makna yang sama dengan hukum internasional diantaranya hukum bangsa-bangsa (law of nations) atau hukum antar negara. Namun pada akhirnya pemilihan kedua kata tersebut dinilai kurang tepat atau dinilai memiliki definisi yang sempit sehingga istilah hukum internasional lah yang dipakai. Lalu menurut Mochtar Kusumaatdja (1999: 5) pemilihan hukum internasional dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa istilah ini paling mendekati kenyataan dan sifat hubungan dan masalah yang menjadi objek dalam bidang hukum ini. Dimana pada kenyataannya pada era saat ini hal tersebut tidak terbatas pada hubungan antara bangsa-bangsa atau negara-negara saja.

Macam-macam Hukum Internasional
Pada dasarnya hukum internasional secara garis besar dibagi menjadi dua macam yaitu hukum internasional perdata dan hukum internasional publik (Kusumaatdja 1999: 1). Hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Hal tersebut berarti hukum perdata internasional merupakan hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Contoh kasus dari hukum perdata internasional adalah misalnya terdapat kontak franchaise antara perusahaan Amerika Serikat dengan perusahaan Indonesia. Hal tersebut menjadi topik yang dibahas dalam hukum perdata internasional karena menyangkut dua hukum yaitu antara hukum Amerika Serikat dan hukum Indonesia. Lalu terdapat juga contoh kasus yang dibahas dalam hukum perdata internasional misalnya dalam suatu pernikahan terdapat dua orang WNI menikah di Berlin lalu mereka melahirkan anak di Indonesia lalu beberapa lama kemudian pasangan tersebut bercerai. Menurut hukum yang berlaku anak dapat menentukan hak aliementasinya dengan melihat sah tidaknya pernikahan kedua orangtuanya yang dilakukan di Jerman. Suatu hal yang tidak termasuk dalam objek hukum perdata internasional adalah perjanjian internasional. Karena perjanjian internasional sama dengan kontrak internasional dimana hal tersebut bersifat publik yang mencakup antar negara atau subjek dalam hubungan internasional sedangkan hukum perdata internasional sendiri bersifat privat (Ramli, 2004: 5).
Sedangkan hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata (Kusumaatdja 1999:2). Hal-hal yang diatur dalam hukum internasional publik diantaranya negara dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau justru subjek hukum lain dimana keduanya bukan merupakan antar negara. Walaupun secara kasat mata hukum perdata internasional dan hukum internasional publik terlihat sama namun keduanya mengatur persoalan yang berbeda. Persamaan yang dapat terlihat dari keduanya adalah keduanya sama-sama mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Sedangkan perbedaan yang terletak diantara keduanya adalah dapat terlihat dari sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya. Jika hukum internasional publik mengatur hubungan antara negara-negara sedangkan hukum perdata internasional mengatur yang lebih fokus kepada perseorangan (Kusumaatdja 1999:2).

Subyek Hukum Internasional
Sebelum membahas pihak apa saja yang dapat dikategorikan sebagai subyek hukum internasional, perlu dipahami terlebih dahulu konsep dari subyek hukum. Subyek hukum adalah entitas yang diberikan hak dan kewajiban oleh hukum itu sendiri (Thontowi dan Iskandar, 2005: 103). Merujuk pada definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa semua pihak yang memiliki ikatan kewajiban dan hak terhadap hukum internasional merupakan subyek dari hukum internasional. Hal ini kemudian merubah pemahaman bahwa negara merupakan subyek utama dari hukum internasional. Konsep tersebut telah mengalami perubahan terutama ketika aktor non-negara mulai memegang peran yang signifikan dalam sistem internasional.
Berbicara mengenai subyek hukum internasional, terdapat beberapa teori yang menjelaskan siapa sebenarnya yang dapat dikategorikan ke dalam subyek tersebut. Pertama adalah teori transformasi yang mengatakan bahwa hanya negara yang merupakan subyek hukum internasional (Kusumaatmadja, 1999: 96). Argumen dasar dari teori ini adalah pada setiap perjanjian internasional, hak dan kewajiban diberikan konvensi secara tidak langsung kepada orang perseorangan melalui negara yang merupakan peserta dari konvensi itu sendiri. Sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa negara lah subyek utama dari hukum tersebut, tidak termasuk individu dan pihak lainnya. Berkebalikan dengan teori transformasi, Hans Kelsen mengemukakan teori yang mengatakan bahwa individu merupakan subyek hukum internasional mengingat hak dan kewajiban dari negara sebenarnya adalah hak dan kewajiban semua manusia yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam negara tersebut (Kusumaatmadja, 1999: 96-7). Namun, di samping dua teori tersebut, pada kenyataannya terdapat berbagai macam subyek hukum internasional selain negara maupun individu yang memperoleh kedudukannya berdasar pada hukum kebiasaan internasional.
Secara garis besar, subyek internasional adalah negara, organisasi internasional, organisasi regional, dan individu (Thontowi dan Iskandar, 2005: 105). Pertama adalah negara. Menurut Konvensi Montevideo, terdapat empat kriteria yang mencerminkan hukum kebiasaan internasional, yaitu: (1) penduduk tetap; (2) wilayah tertentu; (3) pemerintahan; dan (4) kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain (Thontowi dan Iskandar, 2005: 105). Lebih lanjut, Starke (2006) dalam bukunya menjelaskan empat hak dasar negara, yaitu kekuasaan untuk mengatur masalah dalam negerinya, kekuasaan untuk menerima dan mengusir orang lain, memiliki kekebalan dan hak diplomatik lainnya di luar negeri, dan memiliki yuridiksi terhadap tindakan kriminil yang dilakukan di dalam wilayah negaranya. Negara sebagai subyek hukum juga memiliki beberapa pengecualian seperti yang terjadi di negara federal. Biasanya yang menjadi pengemban hak dan kewajiban subyek hukum adalah pemerintah federal. Tetapi dalam beberapa konteks juga dimungkinkan bagi negara bagian untuk memiliki hak dan kewajiban yang terbatas atas hukum internasional. Begitu pula dengan negara persemakmuran seperti Inggris yang memiliki pengecualian bahwasanya negara dominion dari persemakmuran tersebut juga memiliki kedudukan dalam hukum internasional atau dengan kata lain bebas bertindak seperti negara berdaulat lainnya (Kusumaatmadja, 1999: 98-9).
Subyek kedua adalah organisasi internasional. Organisasi seperti PBB nyatanya memiliki personalitas hukum layaknya negara di mata hukum internasional. Personalitas ini merujuk pada fungsi, kekuasaan, keistimewaan, dan kekabalan yang dimiliki organisasi bersangkutan (Thontowi dan Iskandar, 2005: 119). Subyek ketiga adalah individu. Awalnya, individu hanyalah subyek dari hukum nasional. Namun, untuk konteks kondisi internasional saat ini dapat dikatakan bahwa individiu dalam batas tertentu mmemiliki personalitas hukum internasional. Awalnya, di Perjanjian Versailles tahun 1919 terdapat pasal-pasal yang memungkinkan individu untuk mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional. Kondisi ini semakin dipertegas pada keputusan Mahkamah Internasional Permanen. Disebutkan bahwa apabila suatu perjanjian internasional memberikan hak tertentu kepada orang perorangan, hak itu harus diakui dan mempunyai daya laku dalam hukum internasional (Kusumaatmadja, 1999: 104).
Selain tiga subyek hukum tersebut, ada juga aktor lain yang berkembang belakangan ini sehingga dapat dikategorikan sebagai subyek hukum internasional. Beberapa diantaranya adalah NGOs, kelompok minoritas, masyarakat asli, beligerensi, korporasi, wilayah-wilayah perwalian, pejuang kemerdekaan, dan tahta suci. Pertama adalah NGO. Apabila merujuk pada tujuan berdirinya NGO, organisasi ini bertujuang memengaruhi maupun merubah kebijakan subyek-subyek hukum internasional melalui kegiatan yang jangkauannya dapat meluas ke mancanegara. Sehingga kemudian kini NGO berperan besar dalam proses pembentukan hukum internasional, terutama pada isu HAM internasional. Kedua adalah kelompok minoritas dan penduduk asli yang mendapat perhatian sebagai subyek hukum internasional melalui instrumen HAM internasional seperti ICCPR (Thontowi dan Iskandar, 2005: 124).
Subyek lainnya adalah organisasi pembebasan bangsa dan Kaum Belligerensi. Kelompok ini memiliki definisi kelompok pemberontak yang sudah mencapai tingkatan yang lebih kuat dan mapan, baik secara politik, organisasi dan militer sehingga tampak sebagai suatu kesatuan politik yang mandiri (Thontowi dan Iskandar, 2005: 125). Namun, mengenai diakuinya kelompok belligerensi sebagai subyek hukum internasional masih mengalami perdebatan. Subyek berikutnya adalah tahta suci. Diakuinya aktor ini sebagai subyek hukum berdasarkan pada faktor historis ketika Paus masih memiliki kekuasaan absolut. Kondisi tersebut membuat tahta suci memiliki perwakilan diplomatik di banyak negara sehingga kedudukannya dapat dikatakan setara dengan wakil diplomatik negara lainnya. Namun kewenangannya hanya terbatas pada masalah kemanusiaan dan perdamaian umat (Thontowi dan Iskandar, 2005: 123).
Sumber Hukum Internasional
Ada beberapa pengertian mengenai sumber hukum yang dibedakan berdasarkan pada cara memandang sebuah hukum itu sendiri. Pengertian pertama adalah materiil, yaitu sumber hukum yang melihat pada penyebab sebuah hukum menjadi mengikat. Pengertian kedua melihat sumber hukum dari faktor kausal, yaitu faktor-faktor yang membantu terbentuknya hukum menjadi sebuah gejala sosial dalam masyarakat (Sunyowati et.al, 2009: 54). Faktor tersebut bisa berupa faktor politis, ekonomis, teknis, ataupun psikologis. Pengertian kedua merupakan pengertian yang melihat faktor-faktor di luar bidang hukum. Sedangkan pengertian yang ketiga yaitu sumber hukum dalam arti formil adalah adanya ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai sebuah kaidah penyelesaian permasalahan. Sumber hukum formil membahas bentuk nyata dan berlakunya sebuah hukum dalam menyelesaikan permasalahan. Sumber hukum formil dalam hukum internasional terdapat pada Pasal 7 Konvensi Den Haag XII Tahun 1907 dan Pasal 38 dalam International Court of Justice (ICJ). Namun karena Pasal 7 Konvensi Den Haag XII Tahun 1907 yang tertuang dalam rencana pembentukan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal Laut gagal terwujud, ICJ menjadi sumber utama hukum internasional (Sunyowati et. al., 2009: 54-5).
Pasal 38 Ayat 1 dalam ICJ menjelaskan bahwa ada empat sumber hukum internasional yaitu (1) konvensi internasional baik umum atau khusus yang mendirikan aturan internasional yang diakui oleh negara-negara anggota, (2) adat atau kebiasaan internasional yang dianggap sebagai bukti praktek berlakunya sebuah hukum, (3) prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa negara, dan (4) keputusan pengadilan serta hasil ajaran dari berbagai ahli yang dijadikan sebagai tambahan dari penentuan aturan hukum internasional (Sunyowati et. al., 2009: 55). Kemudian Mochtar Kusumaatmadja (dalam Sunyowati et. al., 2009: 55) membagi empat sumber tersebut menjadi dua kelompok, yaitu hukum utama yang terdiri dari konvensi internasional, adat internasional, serta prinsip umum hukum dan hukum tambahan yang terdiri dari keputusan pengadilan. Sedangkan Amann (2014, 2) membagi keempat sumber tersebut menjadi tiga bagian, yaitu dua sumber pertama sebagai sumber utama, kemudian sumber kedua, dan keputusan pengadilan sebagai sumber tambahan.
Sumber pertama yaitu konvensi internasional dapat ditemui dalam berbagai bentuk, seperti charteratau statute yang biasa digunakan untuk pengesahana sebuah dokumen, protocol digunakan dalam persetujuan atas tambahan pada perjanjian dasar, konvensi sendri biasanya digunakan dalam perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara (Amann, 2014: 3). Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 Ayat 1a menjelaskan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang disepakati oleh beberapa negara terkait dalam bentuk tertulis atas suatu instrumen tertentu. Arti tersebut kemudian diperluas dalam Konvensi Wina 1986 yang menjelaskan bahwa perjanjian internasional dapat pula dilakukan oleh organisasi internasional yang dilakukan oleh subjek hukum internasional yang menjadi bagian dari masyarakat internasional. Sedangkan kontrak yang diadakan oleh suatu negara dengan perorangan tidak termasuk dalam perjanjian internasional karena kontrak tersebut diatur dalam hukum nasional (Sunyowati et. al., 2009: 56). Sedangkan sumber hukum yang kedua yaitu hukum adat internasional merupakan sumber hukum yang tidak tertulis dan muncul dari praktek konstan sebagai sebuah aturan yang diterima secara global. Terdapat empat elemen dalam hukum adat internasional, yaitu jangka waktu, konsistensi pelaksanaan, sifat umum dari tindakan, sertaoponio juris sive necessitatis atau perilaku negara atas kewajiban hukum. Contoh dari hukum adat internasional adalah hak negara dalam pemanfaatan laut bebas. Secara tidak langsung perjanjian turut berpengaruh dalam pembentukan hukum adat internasional melalui interaksinya secara terus-menerus terhadap negara-negara terkait (Sunyowati et. al., 2009: 63).
Prinsip hukum umum merupakan prinsip umum hukum yang berfungsi sebagai penampung atas permasalahan yang belum diatur dalam perjanjian internasional ataupun hukum adat internasional. Prinsip hukum umum juga dapat dijadikan sebagai aturan pelengkap dari hukum internasional yang sesuai. Prinsip hukum digunakan ketika dua sumber hukum utama gagal dalam menyelesaikan masalah yang ada. Tiga prinsip utama dalam General Principles adalah res judicata, kesetaraan, dan good faith. Sedangkan keputusan pengadilan adalah keputusan yang memberikan bukti hukum internasional yang diangkat dari pengadilan nasional. Keputusan pengadilan internasional juga dianggap oleh negara akan mampu memengaruhi hukum adat internasional (Amann, 2014: 11).
Kesimpulan
Hukum internasional memiliki peran yang signifikan dalam hubungan internasional sebagai aturan yang harus dituruti dalam menjalin relasi antarnegara. Walaupun secara umum hukum internasional hanya dapat mengikat negara yang secara langsung ikut dalam merumuskannya, tetapi pada dasarnya ada hukum kebiasaan internasional yang dipatuhi oleh semua negara. Selain itu, ke depannya dapat diharapkan adanya perkembangan dari konteks hukum internasional mengingat semakin terintegrasinya konstelasi sistem internasional saat ini serta munculnya aktor-aktor baru. Kondisi tersebut memunculkan sebuah urgensi untuk keteraturan yang semakin kuat demi terciptanya sistem internasional yang tertib dan teratur.

0 Response to "Hukum Internasional: Definisi, Subyek, dan Sumbernya"

Post a Comment