Hukum Humaniter Internasional

iklan1
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Berbicara mengenai hukum humaniter, baiknya kita memahami
terlebih dahulu definisi mengenai hukum humaniter. Menurut Mochtar Kusumaatdja (dalam Syafii, t,t: 3) hukum humaniter merupakan bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan  hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. Sementara itu istilah hukum humaniter muncul pada tahun 1970an yang ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation Development in Armed Conflict. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya yaitu tahun 1974, 1975. 1976, dan 1977 diadakannya Diplomatic Conference on the Reaffirmation and Development on International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict (Syafii, t,t: 4)

Perkembangan Hukum Humaniter Internasional
Hukum humaniter sendiri telah mengalami perkembangan di setiap zamannya. Ahmad Syafii (t,t: 8)  membaginya kedalam tiga zaman yaitu zaman kuno, zaman abad pertengahan, dan zaman modern. Pada zaman kuno sendiri terlihat bahwa para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan apabila musuh ingin memulai suatu penyerangan ia akan diberikan peringatan terlebih dahulu. Kemudian bila terjadi suatu tembakan yang mengakibatkan kematian pertempuran akan dihentikan selama 15 hari. Pada zaman kuno ini telah terlihat bahwasanya hukum perang telah ada dari adanya pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan wanita dan anak-anak sebagai sasaran serangan, dan juga tentang pengakhiran perang (Syafii, t,t: 9).
Kemudian pada zaman berikutnya adalah zaman abad pertengahan. Pada abad pertengahan ini hukum humaniter banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Kristen, islam, serta prinsip kesatriaan. Seperti misalnya ajaran Kristen memberikan adanya konsep perang yang adil, ajaran islam memberikan hukum dan kebiasaan perang yang berefleksi pada perang yang dilakukan masa lalu dan yang terakhir adanya prinsip kesatriaan yang mengajarkan tentang pentingnya pengunguman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu (Syafii , t,t: 10).
Dan zaman yang terakhir adalah zaman modern yang mulai ditandai pada abad ke 18 atau yang menjadi suatu titik penting perkembangan hukum humaniter ini dengan didirikannya organisasi Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa pada tahun 1864 (Syafii, t,t: 11). Di dalam Konvensi Jenewa tersebut kemudian menghasilkan beberapa aturan diantaranya aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok orang-orang tertentu seperti tawanan perang yang luka, dan sebagainya. Hukum humaniter mengalami perkembangan lagi dengan adanya Konvensi 1864 yang menghasilkan adanya perbaikan keadaan tentara yang luka di medan perang darat. konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan Perlindungan Korban Perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Dalam konvensi ini menjelaskan bahwa personil-personil kesehatan harus bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangin dalam melaksanakan tugasnya. Yang kemudian pada konvensi ini dikenalkannya Palang Merah sebagai suatu organisasi kemanusiaan selama terjadi peperangan (Syafii, t,t: 12).

Pokok Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional atau HHI memiliki kaitan yang erat dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu hal yang dibahas dalam HHI adalah hukum mengenai perang yang kemudian dibagi menjadi dua, yaitu jus ad bellum atau hukum tentang perang dan jus in bello atau hukum yang berlaku dalam perang. Jus ad bellum membahas tentang perang, bagaimana suatu negara dibenarkan untuk melakukan perang serta waktu pelaksanaan perang. Sedangkan jus in bello lebih kepada hukum-hukum yang berlaku ketika melakukan perang. Hukum ini kemudian dibedakan lagi menjadi dua ketentuan, yaitu tata cara dilakukannya perang dan alat-alat yang diperbolehkan serta ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban perang. Hal ini sesuai dengan tujuan dilahirkannya HHI yaitu untuk memberi perlindungan terhadap seluruh korban perang. HHI juga memiliki tiga asas utama, yaitu asas kepentingan militer, asas perikemanusiaan, dan juga asas ksatria. Yang dimaksud dengan asas kepentingan militer adalah asas yang memernarkan suatu negara untuk berperang menggunakan kekerasan demi tercapainya sebuah kemenangan perang. Asas yang kedua menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan tidak boleh sampai melewati batasan yang telah ditentukan. Dan asa ksatria menjelaskan bahwa dalam perang asas kejujuran harus tetap dijunjung tinggi (De Mullinen 1987, 2).
Hukum Den Haag juga memiliki aturan tersendiri mengenai tata cara perang dan juga persenjataan yang diperbolehkan dalam perang. Hukum ini mengacu pada Konferensi Perdamaian I tahun 1899 dan juga Konferensi Perdamaian II tahun 1907 yang menitikberatkan pada dua prinsip utama, yaitu“the right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimited”. Prinsip yang juga tidak kalah penting adalah Klausa Marten yang terdapat pada Pembukaan Konvensi Den Haag dan berbunyi bahwa suatu aturan yang belum tercantum dalam hukum humaniter maka akan dikembalikan kepada ketentuan yang mengacu dan berpedoman pada prinsip hukum internasional yang terbentuk melalui kebiasaan dan juga hukum kemanusiaan yang berasal dari hati nurani masyaraakat. Konferensi Den Haag tahun 1899 juga melahirkan tiga deklarasi penting, yaitu larangan penggunaan peluru dum-dum, larangan terhadap peluncuran proyektil dan bahan peledak dari balon, dan larangan terhadap proyektil yang mengandung gas beracun. Kemudian diadakannya Konvensi Jenewa pada tahun 1949 juga melahirkan empat konvensi, yaitu mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat, perbaikan keadaan anggota angkatan perang di laut yang luka, sakit, dan korban karam, perlakuan tawanan perang, dan perlindungan orang-orang sipil di waktu perang. Keempat konvensi tersebut diringkas dalam ketentuan umum, ketentuan hukum terhadap pelanggaran, dan juga ketentuan pelaksanaan. Selain itu, Hukum Jenewa juga memberikan dua protokol tambahan. Protokol I berisikan tentang aturan mengenai perang atau konflik lintas negara. Protokol II mencakup aturan mengenai konflik atau perang di salah satu wilayah negara (lingkup nasional) (Anon, 2010: 25-30).
Hukum Jenewa juga mengatur tentang perlakuan kemanusiaan terhadap korban perang dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949, salah satunya adalah larangan untuk melakukan perang terhadap orang atau tentara yang telah meletakkan senjata dan tidak lagi turut perang (hors de combat) dan juga kewajiban untuk merawat korban yang luka. Beberapa tindakan lain yang juga dilarang adalah penyanderaan, pemerkosaan atau tindakan yang merendahkan martabat, melakukan hukuman mati tanpa adanya hukum atau pengadilan yang memberikan putusan yang sah. Pada tahun 1977, protokol tambahan kembali diperbaharui. Protokol I tahun 1977 menegaskan larangan terhadap serangan yang membabi buta, memperluas perlindungan terhadap personil medis dan segala bantuan medis, menentukan kewajiban Pihak Peserta Agung untuk mencari orang yang hilang, menegaskan ketentuan mengenai suplai bantuan, dan memberikan perlindungan bagi seluruh organisasi sipil serta adanya perlindungan terhadap hukum humaniter. Protokol II tahun 1977 berisikan tentang aturan atas jaminan fundamental bagi semua orang (Anon, 2010: 40-2). HHI juga memiliki dua prinsip dasar dalam perang, yaitu pembedaan dan role of engagement. Prinsip pembedaan merupakan prinsip yang membedakan manusia ke dalam dua golongan dalam perang, yaitu combatan dan warga sipil. Prinsip ini menentukan siapa saja yang boleh diserang dan tidak. Prinsip yang kedua menjelaskan mengenai adanya hak untuk melakukan perlindungan diri baik melalui perlawanan ataupun upaya yang lainnya.

Hukum Humaniter di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan hukum humaniter baik yang telah berlaku secara internasional maupun nasional. Di era kuno, hukum humaniter yang diterapkan di Indonesia lebih berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum perang.  Hal-hal dan kebiasaan yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia mengenai kebiasaan perang diantaranya adalah aturan-aturan mengenai pernyataan perang, perlakuan tawanan, serta perlakuan wanita dan anak-anak (Wagiman, 2005: 2). Selanjutnya, pada era kontemporer, penerapan terhadap hukum humaniter diwujudkan dengan memberikan pernyataan dukungan terhadap hukum humaniter internasional dan pendirian komisi humaniter. Pernyataan dukungan diwujudkan dengan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949  yang kemudian dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 59 tahun 1958 tentang keikutsertaan Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949.
Selain perwujudan dukungan dalam bentuk dukungan hukum, Indonesia juga mendirikan komisi humaniter yang disebut dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisi ini dibentuk dengan tujuan menciptakan kondisi kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia, yang mana dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, Piagam PBB, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat (Komnas HAM, 2013).

Penggunaan tentara anak Sierra Leone
Dalam kurun waktu konflik yang terjadi di Sierra Leone (1993-2002), anak-anak merupakan salah satu dari korban perselisihan melalui perekrutan sebagai tentara. Perekrutan ini dilakukan oleh pihak yang terlibat seperti RUF, AFRC, dan CDF. Mereka dipergunakan untuk melakukan tindakan kriminal seperti menyerang desa-desa maupun untuk kegiatan patroli harian. Keterlibatan anak dalam konflik bersenjata tentunya melanggar hukum internasional terutama terkait kemanusiaan. Larangan ini masuk dalam kajian hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional. Selain itu, dalam Protokol Tambahan tahun 1977, Konvensi Hak Anak tahun 1989, dan protokol opsional Konvensi Hak Anak tahun 2000 telah disebutkan adanya batas umur anak yang tidak boleh diikutsertakan dalam konflik bersenjata. Merujuk pada hukum tersebut, setelah perang berakhir pihak Sierra Leone tidak membiarkan  pelanggaran tersebut berlalu begitu saja. Pada tahun 2007, pengadilan khusus untuk Sierra Leone (SCSL) menentukan tiga orang tersangka dari pihak AFRC atas dakwaan kejahatan perang, termasuk di antaranya pelanggaran akibat merekrut anak di bawah umur sebagai tentara. Hasil pengadilan SCSL adalah mengadili pihak yang merekrut tentara anak, bukan tentara anak itu sendiri terlepas dari kejahatan apapun yang mereka lakukan saat menjadi tentara perang.

Genosida Rwanda
Konflik yang terjadi di Rwanda memiliki akar permasalahan etnis. Antara suku Hutu dan Tutsi, semenjak Belgia meninggalkan Rwanda terjalin hubungan yang tidak baik dan saling tendensius. Hingga akhirnya di tahun 1961 pada Revolusi Hutu, pemilu didominasi oleh suku Hutu. Sedangkan di sisi lain Tutwsi menginginkan Rwanda berada di bawah dominasi suku Tutsi. Hingga akhirnya di tahun 1990, suku Tutsi membentuk RPF (Rwanda Patriotic Forum) sebagai kelompok militer oposisi pemerintahan suku Hutu. Puncaknya adalah di bulan April hingga Juli, total sejumlah kurang lebih 800.000 korban jiwa jatuh. Besarnya jumlah korban dan kejinya tindakan yang dilakukan oleh pihak berkonflik tentu melanggar hukum kemanusiaan internasional. Apalagi menurut Mahkamah Internasional terdapat empat kejahatan besar dalam hukum internasional, yaitu kejahatan genosida, ethnic cleansing, kejahatan perang dan juga kemanusiaan yang masuk kategori tidak termaafkan dan masuk dalam konteks pidana internasional. Kejahatan yang sudah melanggar aturan hukum ini kemudian diselesaikan pada tingkat internasional melalu pengadilan kriminal internasional (ICT) yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan kasus ini. Peradilan tersebut dimulai pada tahun 1995 dan berakhir di tahun 2012. Dalam kurun waktu tujuh tahun tersebut, sebanyak 50 proses pengadilan dilakukan dan menghukum sebanyak 29 tertuduh. Namun sayangnya, ICTR sering dianggap gagal karena tidak mampu menghukum terpidana yang melakukan kejahatan manusia tersebut (HRW 2014).

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hukum humaniter adalah sebuah hukum yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang. Hal ini  berbeda dengan hukum perang, jika hukum perang merupakan sebuah hukum yang mengatur mengenai peperangan itu sendiri. Istilah hukum humaniter ini telah ada sejak tahun 1970an dengan diadakanya Conference of Government Expert on the Reaffirmation Development in Armed yang kemudian pada tahun-tahun berikutnya hukum humaniter ini mengalami perkembangan yang lebih luas ditambah lagi dengan era yang semakin modern seperti sekarang ini. Hukum humaniter juga memiliki kaitan yang erat dengan Hak Asasi Manusia. hal ini dibuktikan dengan beberapa konvensi dan protokol yang muncul dengan membawa asas-asas kemanusiaan dalam perang. Hukum humaniter memiliki tujuan untuk melakukan perlindungan kepada manusia meskipun dalam keadaan peran dengan menciptakan prinsip-prinsip seperti prinsip militer, perikemanusiaan, dan juga ksatria. Di Indonesia sendiri pengaplikasian dari hukum humaniter dapat terlihat dari didirikannya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang merupakan sebuah organisasi yang melindungi hak-hak setiap individu.

0 Response to "Hukum Humaniter Internasional"

Post a Comment