Dinamika Partai Politik Sebagai Kekuatan Politik di Indonesia

iklan1
Dinamika Partai Politik sebagai Kekuatan Politik di Indonesia
            Indonesia sebagai negara yang demokrasi memiliki partai politik seagai salah
satu kekuatan politik yang berpengaruh. Partai politik memiliki kekuatan dalam perpolitikan Indonesia dan berperan sebagai penyalur aspirasi masyarakat di ranah pemerintahan nantinya. Partai politik turut mengalami berbagai dinamika sebagai sebuah kekuatan politik. Dinamika tersebut dapat dikaji dengan menggunakan Teori Strukturasi yang dipaparkan oleh Anthony Giddens serta melihat perkembangan partai politik yang ada di Indonesia dengan tidak mengabaikan konsep-konsep partai politik serta teori-teori yang menjelaskan tentang terbentuknya partai politik hingga berhasil menjadi salah satu kekuatan politik bagi negara. Perkembangan yang ada dalam partai politik tersebut kemudian akan dianalisa dengan menggunakan teori strukturasi yang dijelaskan oleh Giddens. Analisa dilakukan dengan melihat perkembangan tersebut menganai berbagai sudut pandang dalam menilai suatu sistem dan aktor yang ada di dalamnya. Selanjutnya, penjelasan pada dinamika partai politik kemudian akan ditutup dengan melakukan komparasi atau perbandingan dengan partai politik yang ada di Indonesia dengan negara lain sebagai suatu bukti konkrit.
            Pada dasarnya, teori strukturasi tidak hanya terlahir dari pemikiran Anthony Giddens,  pemikir lain yang mengeluarkan konsep sama di antaranya adalah Pierre Boudieu, Nobert Elias, dan juga Margaret Archer. Namun pembahasan kali ini akan difokuskan pada pemikiran Giddens tentang strukturasi. Konsep strukturasi yang diusung oleh Giddens pada mulanya adalah bentuk kritik Giddens terhadap fungsionalisme-struktural yang terlalu terkotak-kotak dan menjadikan aktor kurang memiliki kekuasaan dalam sistem. Hal ini tidak terlepas dengan adanya istilah dualisme yang menunjukkan adanya ketegangan antara dua hal, dalam kasus ini adalah agen ataupun aktor dan sistem. Giddens melihat bahwa fungsionalisme-struktural jatuh ke dalam dualisme yang ada. Giddens tidak setuju dengan konsep fungsionalisme yang hanya melihat kejadian atau fenomena sosial dengan hanya menitikberatkan pada peran sosial yang dibawa oleh suatu aktor. Demikian halnya dengan konsep strukturalisme yang melihat suatu fenomena hanya pada kesalahan struktur semata tanpa menghubungkannya dengan aktor yang berkaitan. Hal ini dibantah oleh Giddens dengan dukungan pernyataan Parson yang menyatakan bahwa peran dan struktur saling berkaitan, aktor menciptakan sebuah struktur atas kebutuhannya yang kemudian menentukan peran apa yang dibawa oleh aktor itu sendiri. Giddens menganggap konsep fungsionalisme telah seolah mematikan aktor dengan mempekerjakannya pada kotak-kotak yang telah diciptakan sistem atau struktur. Fungsionalisme menurut Giddens telah salah mengartikan konsep struktur yang memiliki kebutuhan, padahal kenyataannya aktor lah yang memiliki kebutuhan hingga menciptakan sebuah struktur.
            Giddens kemudian menjelaskan bahwa konsep yang sesuai adalah strukturasi, yaitu dengan melihat kaitan antara aktor dan sistem yang dibentuk. Proses pembentukan tersebut yang kemudian dikenal dengan strukturasi. Struktur dibentuk oleh aktor untuk memenuhi kebutuhan aktor dengan memberikan aktor-aktor peran tertentu. Peran tersebut tidak terkotak-kotak seperti yang dijelaskan oleh konsep fungsionalisme-struktural, melainkan diperoleh dengan pemanfaatan peluang oleh aktor. Sehingga Giddens tidak menafikan adanya sentralisasi ruang dan waktu dalam perolehan peran tersebut. Giddens kemudian menegaskan bahwa hubungan antara aktor dan struktur tidak lagi dapat diartikan sebagai sebuah dualisme, namun merupakan dualitas, yaitu hubungan timbal-balik antara dua hal. Dualitas merupakan proses yang kemudian menghasilkan struktur sosial sebagai sebuah saran menentuan peran. Dualitas juga memiliki hubungan dengan waktu, dimana sebuah penentuan peran sangat berhubungan dengan pengelolaan ruang dan waktu oleh masing-masing aktor. Struktur bagi seorang Giddens adalah sebuah alat untuk memberdayakan aktor, bukan justru mengekang. Struktur lebih jauh lagi akan melahirkan perbedaan antara aktor dan agen. Aktor diartikan sebagai pelaku yang hanya dapat melakukan nilai yang dilahirkan oleh struktur, sedangkan agen adalah pelaku yang dapat melakukan tindakan tidak hanya terbatas pada struktur dan bahkan mampu untuk menciptakan struktur.
            Setelah memahami konsep strukturasi yang dipaparkan oleh Giddens, analisa akan dilakukan dengan menjelaskan dinamika partai politik yang ada di Indonesia. Partai politik dapat diartikan sebagai hasil aktor yang berperan dalam penghubung antara kepentingan masyarakat dalam pemerintahan untuk kemudian masuk ke dalam ranah agregasi politik. Partai politik memiliki peran penting ketika nanti masuk ke dalam pemerintahan, salah satunya adalah merealisasikan amanah dari rakyat yang telah memilihnya untuk melakukan suatu tindakan dalam pemerintahan (hal ini terjadi pada negara demokrasi seperti Indonesia). Partai politik juga dapat diartikan sebagai hasil dari adanya sistem politik yang lebih maju. Hal ini juga mengindikasikan adanya masyarakat yang partisipatif di ranah politik suatu negara. Partai politik juga berfungsi sebagai asosiasi politik yang memiliki berbagai alur proses penampungan kepentingan hingga kemudian melahirkan sebuah pemimpin.
Kemunculan partai politik dapat dianalisa melalui tiga teori, yaitu teori kelembagaan, teori historis, dan teori perkembangan. Teori kelembagaan melihat kemunculan partai politik memiliki kaitan yang erat dengan lembaga pemeritahan yang ada seperti keberadaan parlemen. Teori historis mengaitkan hubungan partai politik dengan krisis yang terjadi dalam masyarakat, di antaranya adalah krisis legitimasi, krisis integrasi, dan krisis partisipasi. Teori perkembangan terjadi ketika sebuah kondisi sosial masyarakat mengalami perubahan signifikan hingga memunculkan kelompok-kelompok sosial baru dengan kepentingan baru pula hingga mereka membentuk suatu partai politk. Huntington kemudian menjelaskan perkembangan partai politik ke dalam empat tahapan, yaitu fraksional, polarisasi, perluasan, dan pelembagaan. Fraksional adalah tahap dimana masyarakat mulai membentuk lembaga politik untuk sebuah kepentingan untuk saling bersaing dengan kepentingan lembaga lain. Polarisasi adalah tahap dimana antar lembaga saling meningkatkan kelembagaan kepentingannya untuk saling melahirkan partai politk. Perluasan tahap penggalangan dukungan dari masyarakat sendiri. Tahap pelembagaan menggambarkan tahap akhir yang ditandai dengan terbentuknya sistem partai.
            Pergolakan partai politik di Indonesia telah dimulai sejak awal kemerdekaan Indonesia, yang berperan sebagai wadah penyaluran kepentingan masyarakat. Namun PPKI pada awal kemerdekaan menjelaskan bahwa Indonesia akan membentuk partai tunggal dengan kekhawatiran perpecahan jika banyak partai terbentuk.  Partai tersebut kemudian dikenal dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Keputusan ini mengundang protes banyak masyarakat hingga dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November yang mengijinkan masyarakat untuk mendirikan partai politik. Maklumat tersebut melahirkan banyak partai politik seperti Masyumi, Partai Komunis Indonesia, Parkindo, dan sebagainya. Pada awal kemerdekaan, partai politik masih disalahgunakan sebagai sebuah wadah untuk melakukan separatisme bagi masyarakat yang merasa kurang mendapatkan tempat atas kepentingannya. Hal ini menunjukkan partai politik masih lemah dalam memerankan kekuasaannya. Dalam kasus ini, kita dapat melihat kegagalan melalui sistem ataupun agen yang ada. Fungsionalisme akan melihat kegagalan ini pada kesalahan aktor yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Strukturalisme melihat kegagalan pada struktur atau sistem yang salah. Dalam kasus ini Giddens muncul dengan milhat bahwa kegagalan tersebut dihasilkan dari interaksi keduanya yang salah. Menurut konsep Giddens, sistem kepartaian yang diciptakan oleh agen tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Agen juga memiliki hubungan atas kegagalan yang ada, dimana agen bertindak sebagai pembuat sistem tersebut. Kegagalan yang ada menunjukkan bahwa sistem yang diciptakan masih memberikan peluang bagi aktor untuk bertindak sedemikian rupa. Hal ini mungkin disebabkan juga oleh aktor yang pandai memanfaatkan ruang dan waktu sebagai upaya untuk melakukan separatisme.
            Era Orde Lama melahirkan model perpolitikan yang berbeda pula. Pada masa ini, partai politik terkotak pada kepentingan partai dan bukan membawa kepentingan rakyatnya. Masa ini melahirkan ketidakstabilan politik pada negara. Dapat dikatakan bahwa adanya kotak-kotak partai politik ini dikarenakan sistem yang diterapkan adalah demokrasi terpimpin, sehingga kekuatan partai politik menjadi melemah. Partai politik seolah hanya menjadi simbolis saja dalam negara. Analisa terhadap kasus ini dengan menggunakan fungsionalisme mungkin lebih cocok, yaitu dengan menyalahkan sistem demokrasi terpimpin yang gagal. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa konsep strukturasi menganalisa lebih luas dengan melihat bahwa sistem tersebut diciptakan oleh agen sendiri, sehingga keduanya patut untuk “disalahkan”. Konsep strukturasi akan menganggap bahwa kotak-kotak tersebut terlahir dari struktur yang diciptakan agen yang kemudian diberlakukan bagi para aktor, di sini adalah partai politik. Hal ini terjadi karena posisi agen yang lebih tinggi serta memiliki peluang lebih banyak bertindak untuk mempersempit gerak aktor.
            Pada masa Orde Baru mulai kembai diatur ulang dengan mempersempit partai politik dengan hanya ada tiga kekuatan politik, yaitu dua partai politik dan satu golongan karya. Hal ini diharapkan akan mempermudah proses penyaluran aspirasi masyarakat ke dalam sebuah kebijakan. Namun yang terjadi justru partai politik tersebut masih dikuasai oleh golongan elit dengan kepentingan kelompoknya. Partai politik pada masa ini mengalami kegagalan yang hampir sama dengan masa Orde Lama. Perubahan yang dilakukan mengalami kegagalan karena agen masing mengekang aktor yang berada dibawahnya. Masih ada dualisme di antara agen dan struktur yang diciptakan. Karena bagaimanapun struktur disusun jika agen tidak melaksanakan dengan baik maka akan sama gagalnya dengan struktur sebelumnya.
            Era selanjutnya adalah Reformasi, yang telah menunjukkan penataan sistem dan peran yang baik dari agen. Pada era ini partai politik mulai memiliki porsi yang selayaknya dalam negara. Partai politik memiliki peran untuk menyampaikan aspirasi rakyat melalui kekuatan politik yang dimilikinya. Sistem yang diciptakan oleh agen telah berhasil membawa tatanan yang lebih baik. Sistem tersebut telah memberikan peluang kepada partai politik untuk memanfaatkan ruang dan waktu sebaik mungkin hingga akhirnya partai politik menemukan perannya yang sesungguhnya. Peran tersebut hanya dapat didapatkan jika memang agen menciptakan sistem yang memberikan peluang untuk berkembang. Sebagaimana diartikan oleh Giddens bahwa struktur seharusnya berfungsi untuk mengembangkan, bukan mengekang. Dan struktur sistem politik di era reformasi telah berhasil menjadi struktur yang mengembangkan aktor, yaitu partai politik. Hingga saat ini, partai politik di Indonesia masih mewakili kepentingan masyarakat secara umum meskipun kepentingan kelompok tidak dapat dinafikan dalam sebuah politik.
            Jika dibandingkan dengan negara lain, yaitu Singapura yang dikuasai oleh Partai Gerakan Rakyat (PAP) yan cenderung otoriter, dinamika perpolitikannya tentu akan cukup berbeda. Keberadaan partai yang bersifat otoriter tentu akan melahirkan kebijakan dan juga prinsip yang memiliki orientasi sejalan dengan sifat partainya. Oleh karena itu, kebijakan di Singapura cenderung bersifat otoriter dengan menerapkan demokrasi terbatas. Hal ini dianggap oleh Singapura akan lebih efektif karena demokrasi liberal sering menimbulkan perpecahan di negara. Singapura melihat partai tunggal tersebut sebagai sebuah wadah yang cocok untuk menampung aspirasi nasional Singapura. Dari sini Giddens menganggap bahwa struktur yang diciptakan oleh agen akan menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok (dalam hal ini negara). Sistem kepartaian yang diterapkan oleh Singapura yang berbeda dengan Indonesia dianggap cocok dan berhasil melihat keadaan politik di Singapura yang relatif stabil. Hal ini menunjukkan bahwa struktur yang diciptakan agen telah berhasil memberikan peran kepada aktor lain. Namun penulis berasumsi bahwa sistem tersebut belum menjadi struktur sebagaimana dijelaskan oleh Giddens, karena masih bersifat mengekang.
            Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menganalisa kekuatan politik yang ada pada suatu negara diperlukan adanya penjelasan dan pemahaman tentang berbagai konsep kekuasaan yang membedakan antara agen dan struktur, salah satunya adalah konsep strukturasi. Konsep inimengenalkan hubungan yang melekat antara agen dan struktur, yaitu dualitas. Dualitas sendiri dapat diartikan sebagai suatu hubungan timbal balik antara keduanya yang bersifat tidak bertentangan. Strukturasi melihat adanya proses yang mengalir antara agen dan struktur. Proses tersebut adalah bahwa agen menciptakan struktur untuk kemudian diberlakukan untuk agen itu sendiri dan aktor lainnya. struktur tersebut kemudian memberikan peluang pada setiap aktor untuk meningkatkan perannya melalui pemanfaatan waktu dan juga ruang. Pemanfaatan tersebut dapat dilakukan hanya jika aktor sadar dan ingin untuk melakukannya. Maka kemudian Giddens menilai bahwa struktur sebenarnya memiliki sifat untuk mengembangkan, bukan mengekang peran aktor sebagaimana konsep fungsionalisme-struktural. Konsep ini menolak adanya pengkotakan struktur dan aktor.

0 Response to "Dinamika Partai Politik Sebagai Kekuatan Politik di Indonesia"

Post a Comment