iklan1
Hubungan antara Negosiasi, Komunikasi, dan Etika
Negosiasi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
melakukan diplomasi. Diplomasi, sebagai salah satu dari berbagai macam bentuk hubungan antar negara juga memiliki kaitan yang erat dengan komunikasi. Macam-macam kegiatan antar negara tidak dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya komunikasi sebagai hal paling mendasar. Di samping itu, dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut tentu harus ada sebuah aturan khusus yang mengatur sikap dan tata cara yang kemudian dituangkan dalam konsep etika. Ketiga hal tersebut, yaitu negosiasi, komunikasi, dan etika saling memiliki keterkaitan yang erat, terlebih jika dihubungkan dengan diplomasi. Hal-hal tersebut akan membantu mempermudah jalannya diplomasi untuk mencapai tujuan dan kepentingannya.
melakukan diplomasi. Diplomasi, sebagai salah satu dari berbagai macam bentuk hubungan antar negara juga memiliki kaitan yang erat dengan komunikasi. Macam-macam kegiatan antar negara tidak dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya komunikasi sebagai hal paling mendasar. Di samping itu, dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut tentu harus ada sebuah aturan khusus yang mengatur sikap dan tata cara yang kemudian dituangkan dalam konsep etika. Ketiga hal tersebut, yaitu negosiasi, komunikasi, dan etika saling memiliki keterkaitan yang erat, terlebih jika dihubungkan dengan diplomasi. Hal-hal tersebut akan membantu mempermudah jalannya diplomasi untuk mencapai tujuan dan kepentingannya.
Sebelum melakukan negosiasi dalam diplomasi, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah komunikasi. Menurut Lasswell (1948), komunikasi dapat diartikan sebagai kegiatan atau proses hubungan seorang komunikator untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada komunikan, yaitu orang yang menerima pesan tersebut, melalui media tertentu dan akan menghasilkan dampak tertentu. Dari definisi tersebut, Laswell kemudian menjabarkan lima unsur penting dalam komunikasi, yaitu komunikator, komunikan, pesan, media, dan juga dampak atau efek. Komunikator adalah pihak-pihak yang berperan sebagai penyampai pesan atau informasi kepada komunikan. Komunikator ataupun komunikan tersebut dapat direpresentasikan oleh individu ataupun kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Sedangkan pesan yang disampaikan dapat berupa verbal, yaitu dalam bentuk lisan dan tulisan, ataupun nonverbal dengan menggunakan isyarat gerakan dan simbol. Dalam menyampaikan pesan tersebut, antara komunikator dan komunikan membutuhkan perantara khusus sebagai pengantar pesan, yang disebut dengan media. Media yang digunakan pun tidak terbatas pada media tertentu, namun telah diperluas dengan berbagai macam teknologi yang ada, seperti internet. Di sisi lain, media juga berfungsi untuk menyebarluaskan dampak-dampak yang muncul setelah adanya pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Dampak sendiri diartikan oleh Lasswell (dalam Effendy, 2000) sebagai akibat yang muncul pada komunikan setelah adanya pesan atau informasi dari komunikator, sehingga proses komunikasi selanjutnya akan terjalin secara dua arah.
Hal yang juga erat kaitannya dengan diplomasi adalah negosiasi. Berridge (2001) mengartikan negosiasi sebagai kerjasama antar pihak yang bersangkutan dalam menyelesaikan dan mencegah permasalahan secara damai. Negosiasi yang dilakukan biasanya lebih bersifat win-win solution, dengan memetingkan pada keuntungan bersama pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam melakukan negosiasi, unsur penting yang tidak boleh dilupakan adalah tujuan dari adanya diplomasi tersebut. Karena posisi tujuan dalam negosiasi berfungsi sebagai penunjuk arah jalannya proses negosiasi tentang apa yang akan dicapai. Lewicki (2009) menambahkan bahwa sebuah tujuan haruslah dilengkapi dengan konsep-konsep yang matang dalam perumusannya. Perumusan tersebut juga akan lebih efektif jika disertai dengan strategi-strategi yang dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Negosiasi membutuhkan penerapan strategi dalam tujuan dengan baik, karena strategi merupakan rancangan keseluruhan mengenai hal yang akan dijalankan dalam proses negosiasi.
Keberhasilan diplomasi juga memiliki hubungan dengan cara-cara yang dilakukan selama proses negosiasi, sehingga para negosiator tidak bersikap semena-mena selama proses negosiasi berlangsung. Sikap negosiator diatur dalam etika, yang didefinisikan sebagai penentu suatu tindakan sebagai hal yang benar ataupun salah. Lewicki (2012) berpendapat bahwa etika yang ada juga berfungsi sebagai standar yang ditetapkan untuk membedakan kriteria dalam menilai dan mengevaluasi tindakan negosiator dalam bernegosiasi.Etika dalam berdiplomasi, sebagai mana dijelaskan oleh Hamilton dan Richard (1995), meliputi beberapa hal penting. Yang pertama, diplomat yang ditugaskan oleh negaranya adalah seorang yang jujur terhadap negaranya dan dituntut untuk pandai berbohong pada negara lain demi mencapai kepentingan negaranya dan diusahakan dengan tanpa menimbulkan konflik. Yang kedua, diplomat juga harus pandai dalam memanfaatkan segala situasi dan kondisi lawan untuk meroleh dukungan dan respon dari pihak yang bersangkutan. Yang ketiga, diplomat diperbolehkan untuk membesar-besarkan kebaikan negara dan menyembunyikan kejelekan negara untuk memperkuat dukungan dari negara lain. Selanjutnya, diplomat juga harus cerdik untuk mengamati dan mencari tahu berbagai kelemahan dari pihak lawan melalui apa yang disampaikan oleh lawan. Diplomat diperbolehkan untuk melakukan kecerdikan yang licik demi negaranya, namun hal tersebut harus dilakukan dengan tanpa melanggar kesepakatan yang sudah ditandatangani. Dari beberapa uraian tersebut menjelaskan bahwa etika bukanlah suatu batasan yang keberadaanya untuk mengekang gerak diplomat, namun merupakan aturan dan cara para diplomat dalam melakukan diplomasi.
Selain etika, hal penting yang harus diperhatikan adalah bahasa. Bahasa meliputi dua kategori, yaitu bahasa verbal dan nonverbal atau bahasa tubuh (gesture). Bahasa verbal, yaitu bahasa yang berupa lisan ataupun tulisan menjadi pokok utama dalam hubungan diplomasi karena merupakan penghubung antar para diplomat. Komunikasi dalam bernegosiasi juga dapat dipahami hanya jika bahasa kedua belah pihak atau lebih saling memahamkan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. S. L. Roy (1995) menambahkan pentingnya menguasai bahasa adalah syarat paling utama bagi seorang diplomat. Seorang diplomat setidaknya menguasai salah satu dari bahasa internasional yang telah ditetapkan oleh PBB, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Perancis, Bahasa Spanyol, Bahasa Arab, Rusia, dan Cina. Karena jika seorang diplomat tidak menguasai bahasa internasional yang di akui dunia, apa yang disampaikan dengan bahasanya tidak akan dipahami oleh lawan bicaranya, sehingga komunikasi akan berjalan searah tanpa hasil.
Bahasa tubuh atau gesture juga menjadi penting dalam melakukan negosiasi dengan pihak lain. Di lain sisi, bahasa tubuh dapat mengindikasikan psikologi seorang negosiator. Bahasa tubuh mengambil peran sebagai pembantu pihak lawan dalam meyakini apa yang sedang diucapkan oleh negosiator. Bahasa tubuh yang baik dan diatur sedemikian rupa indahnya akan mampu membuat pihak lawan untuk mempercayai apa yang dikatakan oleh negosiator (McNeill, 2008: 11). Kelemahan pada bahasa tubuh adalah ketika seorang negosiator tidak mengatur bahasa tubuhnya dengan baik, maka kebohongan-kebohonga yang diciptakan akan mudah dibaca melalui gerak-gerik tubuhnya. Sehingga, bahasa tubuh juga menjadi perhatian yang penting bagi para negosiator yang ingin melakukan diplomasi dengan negara lain. Seorang diplomat haruslah pandai mengatur gerak-gerik tubuhnya, baik dalam menyampaikan pendapatnya ataupun dalam menanggapi respon dari pihak lawan. Gerakan tubuh dalam merespon pihak lawan juga akan mempengaruhi pandangan lawan terhadap posisi seorang diplomat (McNeill, 2008: 11).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diplomasi memiliki kaitan yang erat dengan komunikasi, negosiasi, dan juga etika. Komunikasi yang meliputi komunikator, komunikan, pesan atau informasi, media, dan efek menjadi hal paling utama yang harus dipahami sebelum melakukan negosiasi. Negosiasi sebagai hubungan antar negara yang mengambil peran komunikator dan komunikan menjadi sebuah proses penting dalam diplomasi, yang pelaksanaannya tidak terlepas dengan etika dan bahasa yang digunakan. Etika adalah standar sosial yang nantinya menjadi kriteria dalam menilai sikap dan perilaku para negosiator. Etika bukanlah suatu kekangan, melainkan serangkaian cara yang telah diatur agak tidak menyimpang dari standar sosia. Sedangkan bahasa, meliputi bahasa verbal dan bahasa tubuh, menjadi alasan berhasil tidaknya sebuah negosiasi. Bahasa yang digunakan hendaknya dalah bahasa internasional, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dan ketidaksesuaian. Bahasa tubuh juga haruslah diatur dengan baik agar apa yang disampaikan dapat meyakinkan lawan bicaranya.
Penulis berasumsi bahwa keempat aspek, yaitu komunikasi, negosiasi, etika, dan bahasa merupakan hal penting yang menjadi penentu berhasil atau tidaknya sebuah diplomasi. Semuanya saling berkaitan dan harus diperhatikan secara adil. Selain itu, etika dan bahasa negara asal sebenarnya dapat pula dijadikan sebagai motivasi untuk mengembangkan dan mengenalkan negaranya. Indonesia misalnya, dengan budaya berpakaian batik, dengan tanpa melanggar etika yang ada diplomat Indonesia dapat mengenakan batik saat melakukan diplomasi dengan negara lain. Sehingga, dengan tidak langsung diplomat tersebut telah mengenalkan pakaian batik sebagai khas Indonesia ke negara-negara lain. Bahasa tubuh bangsa Indonesia yang terkenal ramah dan kalem juga akan membantu negara lain menganggap positif terhadap Indonesia.
0 Response to "Hubungan antara Negosiasi, Komunikasi, dan Etika"
Post a Comment