Globalisasi Dan Buruh

iklan1
Globalisasi dan Buruh
            Dalam dunia internasional yang semakin tidak dapat dipisahkan dari keberadaan
globalisasi, kesenjangan tatanan dalam struktur dunia pun menjadi topik yang tidak pernah terlepas dari globalisasi itu sendiri. Globalisasi telah mengambil peran penting dalam pengaruhnya terhadap perkembangan berbagai macam sektor yang berimbas pada keadaan sebuah negara tertentu, semakin majukah atau malah semakin tertinggal. Globalisasi lebih lanjut lagi telah mengubah pola perekonomian hingga industri yang ada. Globalisasi tidak dapat dipungkiri juga telah merubah cara-cara eksploitasi kaum tertentu terhadap kaum yang lebih lemah, atau lebih dikenal dengan istilah borjuis dan proletar atau core dan periphery. Keberadaan globalisasi menjadi sebuah aspek penting dalam pembahasan perubahan pola-pola interaksi antarmasyarakat dan antarnegara. Dalam hal Hoogvelt mencoba menjelaskan tentang perubahan pola eksploitasi kapitalis terhadap keberadaan buruh dan negara periphery.
            Sistem kapitalis dunia yang telah dianggap berhasil selama beberapa dekade melahirkan kasta antarnegara yang ditentukan berdasarkan akumulasi modal dalam skala global. Sistem ini melahirkan negara core sebagai negara pemiliki modal tinggi yang cenderung akan terus melakukan eksploitasi terhadap negara periphery dengan kemampuan finansial yang masih lemah. Hubungan antara negara core dan periphery semakin meluas hingga pada hubungan antara pemiliki modal tinggi di negara core atau kaum borjuis dengan buruh dari negara periphery sebagai kaum proletar. Hubungan ini tentu tidak dapat dipisahkan dari peran globalisasi yang turun meningkatkan adanya hubungan dagang antarnegara yang semakin terintegrasi. Integrasi tersebut turut melahirkan eksploitasi industri yang dilakukan dengan berbagai cara. Hoogvelt (1997: 44) membagi eksploitasi tersebut ke dalam dua fase dengan pertimbangan setiap fase memiliki cara eksploitasi yang berbeda-beda. Kedua fase tersebut adalah fase neo-kolonialisme pertama yang terjadi dalam rentang tahun 1950-1970 dan fase neo-kolonialise kedua yang terjadi mulai tahun 1970 sampai saat ini. Fase neo-kolonialisme kedua sering juga disebut sebagai era post-imperealisme (Hoogvelt, 1997: 44).
            Fase neo-kolonialisme pertama merupakan perubahan fase yang terjadi setelah fase kolonialisme yang ditandai dengan adanya eksploitasi besar-besaran oleh negara core terhadap negara periphery. Fase neo-kolonialisme pertama menunjukkan adanya perubahan pola eksploitasi industri, baik dalam segi modal dan juga perburuhan. Tradisi Marxisme mengenai ekspansi modal pribadi atau akumulasi tidak dapat dihilangkan pada fase ini. Fase neo-kolonialisme pertama dikenal juga dengan fase kemunculan sistem fordisme, yaitu sistem yang melakukan produksi secara massal agar harga dapat turun sehingga penawaran akan meningkat. Namun pada kenyataannya produksi massal tersebut tidak dapat mengatasi putaran resesi yang ada sehingga menjadikan putaran tersebut kaku. Hal ini kemudian berimbas pada upah buruh yang turut menurun akibat kegagalan sistem sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan intervensi dalam kebijakan yang diambil (Hoogvelt, 1997: 45). Untuk mengalihkan kerugian yang ada serta mendapatkan buruh dengan upah yang rendah, maka negara-negara core tersebut memutuskan untuk mengekspor sistem fordisme tersebut ke negara-negara periphery dengan upah buruh yang masih rendah. Relokasi industri ini kemudian akan mengahasilkan barang dengan faktor produksi dan buruh yang murah, sehingga keuntungan dapat diperoleh secara maksimal. Hoogvelt (1997: 47) menyebut peristiwa ini sebagai New International Division of Labour , dimana banyak perusahan multinasional miliki negara core masuk ke negara periphery  dan turut mengubah pola perburuhan yang ada. Buruh di negara periphery yang dieksploitasi tidak turut diuntungkan karena upah yang didapat juga merupakan upah sebatas pada standar hidup negaranya yang rendah. Produksi  yang dilakukan di negara periphery juga terbatas pada bagian tertentu, sehingga transfer tekhnologi yang disebut-sebut negara core sebagai sebuah kemajuan bagi negara periphery hanya bersifat kamuflase (Hoogvelt, 1997: 47).
            Fase neo-kolonialisme kedua memiliki pola industri yang berbeda pula. Pada fase ini, negara-negara periphery mulai menyadari pentingnya nasionalisme sehingga lebih tertutup pada pihak asing karena ketakutan akan imperealisme. Fase yang dimulai sejak tahun 1970 ini memberikan kesulitan baru bagi negara core untuk melakukan relokasi industri di negara peripherysebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya. Negara core akhirnya melihat adanya peluang untuk masuk ke negara periphery melalui pemberian hutang luar negeri. Hal tersebut tentu menjadi pertimbangan bagi negara periphery dengan perekonomian yang masih jauh dari tingkat sejahtera. Pemberian hutang luar negeri tersebut dijadikan pihak core sebagai pintu masuknya investasi asing di negara periphery. Fase ini dikenal dengan fase mulai berkembangnya Foreign Direct Investment(FDI) di negara-negara periphery. Namun pada dasarnya, keberadaan FDI juga akan berujung pada tumbuhnya eksploitasi seperti pada masa sebelumnya (Hoogvelt, 1997: 48). Sehingga yang membedakan hanya pola eksploitasi saja.
            Di sisi lain, globalisasi telah membawa perubahan terhadap keberadaan buruh. Buruh mulai melakuakan pergerakan yang bersifat bottom-up yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Hari Buruh yang menunjukkan bahwa buruh telah menjadi aspek penting bagi dunia internasional (Safril, 2015). Gerakan buruh juga semakin dipandang oleh dunia internasional dengan adanya berbagai kemajuan teknologi yang ada. Gerakan-gerakan feminisme secara tidak langsung juga telah membantu buruh dalam menyuarakan aspirasinya.  Hal ini dibuktikan dengan adanya feminisme sosial yang melihat bahwa buruh kebanyakan merupakan pekerjaan perempuan sehingga perlu adanya perubahan dalam sektor pekerjaan wanita tersebut (Hoogvelt, 1997: 55).
            Penulis berasumsi bahwa pendapat Ankie Hoogvelt merupakan pendapat yang dapat dikatakan melihat sistem kapitalis dan perubahan pola akibat globalisasi secara netral. Penulis berpendapat sama dengan Hoogvelt bahwasannya globalisasi akan menambah peluang bagi kaum borjuis untuk melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi juga telah memberikan kesempatan kepada kaum buruh untuk menyuarakan aspirasinya melalui berbagai macam media. Globalisasi juga telah mengubah sistem perburuhan yang ada. Namun penulis berpendapat pula bahwasannya globalisasi akan memperbanyak buruh di negaraperiphery. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Hoogvelt melihat pola perubahan eksploitasi buruh akibat globalisasi ditandai dengan dua fase, yaitu fase neo-kolonialisme pertama dengan eksploitasi melalui relokasi fordisme dan fase neo-kolonialisme kedua yang melakukan eksploitasi melalui FDI.  

0 Response to "Globalisasi Dan Buruh"

Post a Comment