Diplomasi Abad Pertengahan II

iklan1
Diplomasi Abad Pertengahan II
Diplomasi pada abad pertengahan mengalami perkembangan secara
dinamis mengikuti keadaan pada masa itu. Diplomasi pada abad ini memiliki berbagai macam ciri dan ditandai dengan munculnya beberapa perubahan. Sejarah mencatat perubahan tersebut antara lain adalah munculnya sistem absolutisme, Kristendom, hingga kemunculan Renaissance dan Machiavelli sebagai aktor penting dalam diplomasi masa itu. Keadaan tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dan berhubungan dengan adanya Kerajaan Romawi pada abad ke-4 yang terpecah menjadi dua, yaitu Romawi Barat dan Romawi Timur. Pembagian kerajaan Romawi tersebut dilakukan oleh raja Theodosius untuk memberi kekuasan yang adil bagi kedua putranya, yaitu Arcadius dan Honorius. Namun, tidak lama kemudian Kerajaan Romawi Barat runtuh pada tahun 476. Sedangkan Kerajaan Romawi Timur berkembang pesat di bawah kuasa Kaisar Constantine dan terus meluas menjadi Kekaisaran Bizantium (Batchelor, 2010: 26). Keadaan ini kemudian menjadi titik awal pembuka dari abad pertengahan atau yang kemudian dikenal dengan Dark Ages.
Kerajaan Bizantium mengalami perkembangan kekuasaan dengan melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Hal ini mengakibatkan banyaknya kerajaan yang berbentuk monarki dengan kekuasaan yang absolut. Kekuasaan absolut diartikan sebagai keadaan dimana raja atau kaisar menjadi pemegang kekuasaan penuh atas segala hal, termasuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Kaisar pada Kerajaan Bizantium dianggap sebagai makhluk yang memiliki hubungan paling dekat dengan Tuhan. Gagasan mengenai keadaan kaisar yang sedemikian rupa menjadikan seorang kaisar seolah menjadi dewa dengan kehidupan mewah dan dihargai serta ditaati masyarakatnya melebihi segala hal (Batchelor, 2010: 27). Segala ucapn kaisar dianggap pesan dari Tuhan. Raja berkuasa dengan aturan tidak ada hukum apapun yang mampu menentangnya. Penentangan atas raja disama-artikan dengan penentangan terhadap Tuhan.
Pada tahun 1453, Kerajaan Turki Ottoman berkembang pesat dan mampu menimbulkan kekhawatiran Kerajaan Romawi Timur yang sebelumnya menjadi kerajaan yang paling berkuasa. Kerajaan Turki Ottoman dengan membawa nama Islam membuat kerajaan Eropa yang mayoritas menganut agama Kristen ingin menyatukn diri dan membentuk suatu aliansi berdasarkan kesamaan agama mereka, yaitu Kristen. Aliansi tersebut melahirkan sistem yang disebut Kristendom. Kerajaan-kerajaan Eropa bersatu dalam sistem ini untuk memerangi Kerajaan Ottoman Turki dengan notabene basis agama yang berbeda (Knox, 2014). Sistem ini memiliki kaitan yang erat dengan keberadaan Charlemagne atau Charles the Great yang menjadi Kaisar sebagian besar wilayah di Eropa Barat pada abad pertengahan, diantaranya adalah Belgia, Perancis, Luksemburg, Belanda, dan juga Jerman Barat. Charlemagne merupakan salah satu pendukung kuat terciptanya Kristendom melalui kegiatannya, seperti memberikan banyak sumbangan terhadap kaum Kristen. Charlemagne kemudian dinobatkan menjadi kaisar Romawi pada tahun 800 (http://www.history.com/topics/charlemagne). Kristendom menjadikan paus dan kaisar memiliki posisi yang sama tinggi dalam mengurus kerajaan, berbeda dengan sistem absolutisme yang menjadikan kaisar sebagai makhluk terdekat Tuhan. Di sisi lain, gereja juga menjadi pemegang kuasa hukum tertinggi dengan tidak ada seorangpun yang berhak menentangnya. Segala jenis pengetahuan yang diciptakan oleh akal manusia harus searah dengan keputusan gereja. Penentangan terhadap gereja akan mengakibatkan hukuman mati (Knutsen, 1997).  Eksistensi Kristendom dakhiri dengan terjadinya Perang Salib, yang secara tidak langsung memberi kontribusi nyata terhadap aktivitas diplomasi di Eropa serta melahirkan masa baru yaitu Renaissance atau dikenal dengan abad pencerahan (Black, 2010: 32).
Abad pencerahan atau Renaissance  turut memberikan kontribusi bagi perkembangan diplomasi. Keberadaan sistem Kristendom yang ditandai dengan kekuasaan mutlak gereja tidak lagi diterapkan dalam abad ini. Politik pemerintahan dan agama dipisahkan dengan batasan-batasan yang jelas, sehingga gereja tidak lagi memiliki hak untuk menentukan hukuman dan batasan terhadap perkembangan pengetahuan dan aspek-aspek lain. Revolusi ini meningkatkan efektifitas pemerintahan yang ada di Eropa, ditandai dengan lahirnya diplomasi model baru yang mulai berkembang di Italia. Diplomasi ini muncul seiring dengan lahirnya kembai bentuk negara-kota. Pada masa ini, Italia untuk pertama kalinya mengirim kedutaan sebagai utusan permanen dari Duke of Milan ke Genoa pada pertengahan abad ke-15. Utusan tersebut dibekali tugas untuk mengumpulkan berbagai macam informasi serta sebagai pengaman kepentingan politik dan komersial negaranya. Masa ini juga memberi kontribus penting terhadap diplomasi dengan mulai diberlakukannya pengumpulan data atau arsip yang diawali oleh bangsa Venesia (Roy, 1995: 62).
Keberadaan Renaissance juga tidak terlepas dengan aktor penting di dalamnya, yaitu Niccolo Machiavelli. Machiavelli merupakan seorang filsuf dan ahli politikk yang memiliki peran diplomatik pada masa itu dan bertanggung jawab mewakili negaranya atas urusan dengan negara-negara lain, seperti Prancis dan Italia. Bukunya yang terkenal sampai saat ini adalah The Prince, yang awalnya ditujukan untuk keluarga Medici yang sedang menjalankan tugasnya di Florentine (Gallas, 1997). Dalam bukunya, The Prince, Machiaveli mengatakan bahwa sesungguhnya diplomasi adalah tindakan yang amoral, karena seringkali para utusan menggunakan muka dua demi mencapai kepentingannya  (Roy, 1995: 63). Bukunya juga mengungkapkan bahwa seorang penguasa memiliki batasan-batasan etika konvensional yang diciptakan oleh peran diplomatiknya. Penguasa juga diharuskan untuk mampu mempertahankan power negaranya dalam berbagai macam kondisi. Namun penguasa juga diwajibkan untuk mempunyai wibawa dan kekejaman dalam batas tertentu untuk meraih kepentingannya (Gallas, 1997).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diplomasi abad pertengahan memiliki kaitan yang erat dengan keadaan kerajaan pada masa itu. Mulai dari terpecahnya Kekaisaran Romawi menjadi Romawi Barat dan Romawi Timur hingga kemudia Romawi Barat runtuh dan Romawi Timur berkembang pesat menjadi Kekaisara Bizantium. Kekaisaran Bizantium kemudian menjalankan pemerintahannya dengan sistem monarki yang absoulut dengan menganggap raja sebagai makhluk yang paling dekat dengan Tuhan. Selanjutnya perkembangan Kerajaan Turki Ottoman di Eropa dengan basis Islam yang kemudian melahirkan Kristendom sebagai tanggapan atas rasa takut kerajaan-kerajaan Kristen yang ada di Eropa. Kristendom kemudia berakhir karena sistemnya terlalu mengekang pengetahuan. Kemudian muncul Renaissance yang membawa kebebasan terhadap perluasan pengetahuan dan peningkatan terhadap sistem yang ada, termasuk kontribusinya terhadap diplomasi modern dengan mulai adanya pengarsipan. Dalam masaRenaissance turut muncul aktor penting yaitu Machiavelli dengan bukunya The Prince  yang sedikit banyak menjelaskan tentang bagaimana peran diplomatik seharusnya dijalankan.

0 Response to "Diplomasi Abad Pertengahan II"

Post a Comment