iklan1
M.Ziaul Haq
Kepemimpinan wanita dalam
dunia politik menjadi hal yang hangat dibicarakan, mulai dari miningkatkan
jumlah minimum 30%
kursi di parlemen untuk perempuan, isu – isu kesetaraan gender yang mengatakan bahwa wanita hanya menjadi pelayan seks bagi para suami mereka, dan berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan feminisme. Fenomena – fenomena inilah yang kini menghasilkan perbincangan hangat sebenarnya bagaimana kedudukan wanita dalam islam dan seperti apa pandangan islam terhadap wanita yang terlibat dalam politik dan bahkan menjadi pemimpin dalam sebuah perpolitikan itu. Adanya pandangan bahwa wanita di pandang lebih rendah dalam islam menjadi sebuah perbincangan hangat pada kalangan penggiat feminism dan liberalism. Serta adanya pendapat kaum feminis bahwa jika parlemen diisi dengan keseimbangan (equity) jumlah laki-laki dan perempuan maka akan memberikan kesejahteraan.
kursi di parlemen untuk perempuan, isu – isu kesetaraan gender yang mengatakan bahwa wanita hanya menjadi pelayan seks bagi para suami mereka, dan berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan feminisme. Fenomena – fenomena inilah yang kini menghasilkan perbincangan hangat sebenarnya bagaimana kedudukan wanita dalam islam dan seperti apa pandangan islam terhadap wanita yang terlibat dalam politik dan bahkan menjadi pemimpin dalam sebuah perpolitikan itu. Adanya pandangan bahwa wanita di pandang lebih rendah dalam islam menjadi sebuah perbincangan hangat pada kalangan penggiat feminism dan liberalism. Serta adanya pendapat kaum feminis bahwa jika parlemen diisi dengan keseimbangan (equity) jumlah laki-laki dan perempuan maka akan memberikan kesejahteraan.
Dikalangan fuqoha atau ahli
fiqih menyatakan bahwa peran wanita dalam politik masih menjadi perdebatan dan
perbedaan pendapat. Namun pendapat banyak ulama terutama para fuqoha salaf
sepakat bahwa wanita dilarang menjadi pemimpin. Kesepakatan ini didasari oleh
firman Allah dalam surat An- Nisa ayat 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki)
Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri. ketika suaminya tidak
ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Hal senada juga dapat ditemui
dihadist yang diriwayatkan Imam Bukhari “Tidak akan beruntung suatu kaum
yang meyerahkan kepemimpinannya kepada seorang perempuan”. Inilah yang menjadi
dasar kesepakatan para ulama terhadap kepemimpinan perempuan.
Pernyataan dan kesepakatan
ulama ini menjadi pertanyaan dan pernyataan bahwa islam mendeskriditkan atau
mengenyampingkan dan menganggap wanita itu lebih rendah kedudukannya dalam
islam. Berdasarkan padangan inilah mulai bermunculan adanya berbagai faham yang
menyatakan diri sebagai kaum feminisme yang bercita – cita memajukan islam.
Namun ulama kontemporer
ternama Yusuf Al – Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda
terhadap kepemimpinan wanita dalam berpolitik. Qordhawi
memperbolehkan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran
terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki – laki adalah pemimpin bagi wanita
dalam lingkup keluarga atau rumah tangga.
Jika ditinjau tafsir surat An
– Nisa ayat 34 bahwa laki – laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai
orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia
melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki – laki itu lebih unggul dan lebih
baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum laki
– laki. Laki – laki menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah
kepemimpinan dirumah tangga, karena laki – laki telah menginfakkan hartanya,
berupa mahar, belanja dan tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus
mereka. Tafsir ibnu katsir ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam
kepemimpinan politik, yang dilarang adalah kepemimpinan wanita dalam puncak
tertinggi atau top leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa
bermusyawarah, dan juga wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang
mendasari Qardhawi dalam memperbolehkan wanita berpolitik.
Qordhawi juga menambahkan
bahwa wanita boleh berpolitik dikarenakan pria dan wanita dalam hal mu’amalah
memiliki kedudukan yang sama hal ini dikarenakan keduanya sebagai manusia
mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh untuk beribadah, menegakkan agama,
menjalankan kewajiban, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pria dan wanita
memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang
kuat atas larangan wanita untuk berpolitik. Namun yang menjadi larangan bagi
wanita adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin negara).
Quraish Shihab juga
menambahkan bahwa dalam Al – Qur’an banyak menceritakan persamaan kedudukan
wanita dan pria, yang membedakannya adalah ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada
yang membedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit dan suku. Kedudukan
wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling bekerjasama untuk mengisi
kekurangan satu dengan yang lainnya, sebagai mana di jelaskan dalam surat At –
Taubah ayat 71” Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”
Ada dua sebab
yang menyebabkan wanita boleh memimpin,yaitu :
1.Kebijaksanaan dan kemampuan manajemen yang dimiliki jauh lebih mumpuni dibanding kaum lelaki. Tidak sedikit perempuan yang menunjukkan kepemimpinan lebih baik dibanding pria. Misalnya adalah walikota Surabaya saat ini, Tri Rismaharini.
1.Kebijaksanaan dan kemampuan manajemen yang dimiliki jauh lebih mumpuni dibanding kaum lelaki. Tidak sedikit perempuan yang menunjukkan kepemimpinan lebih baik dibanding pria. Misalnya adalah walikota Surabaya saat ini, Tri Rismaharini.
2.Sistem
pemerintahan negara tersebut adalah musyawarah. Sebagai contoh, adalah Sultanah
Aceh Darussalam, Safiatuddin Tajul Alam. Dalam cerita sejarah, kepemimpinannya
mengembalikan stabilitas Kesultanan Aceh setelah kematian suaminya, Sultan
Iskandar Tsani.
Kesimpulan
Kepemimpinan wanita dalam perpolitikan menurut islam di perbolehkan,
menurut Qardhawi wanita diperbolehkan terjun berpolitik dan bahkan menjadi
pemimpin dalam sebuah negara. Qordhawi memandang kepemimpinan dalam sebuah
negara pada saat ini tidaklah sama dengan kepemimpinan khilafah yang dapat
mengambil keputusan secara langsung, sedangkan kepemimpinan negara pada saat
ini dalam mengambil keputusan harus dilakukan dengan bermusyawarah terlebih
dahulu dengan para menteri, ataupun dengan staff ahlinya.
Kebanyakan argumen yang dimiliki oleh ulama tradisionalis tidak tepat.
Sehingga penulis melihat bahwa kelemahan ini justru memberikan bukti bahwa
perempuan bisa saja memimpin. Pengutipan ayat al-Nisā:34 sebagai titik tolak
argumen ketidak bolehan kepemimpinan perempuan terlihat tidak tepat. dan ayat
at-Tawbah:71 menunjukkan kebolehan seorang perempuan untuk memimpin.
Namun, ada satu hal yang menurut penulis perlu disebutkan, yakni adalah
perannya sebagai pemimpin tidaklah mengganggu perannya sebagai ibu dan istri.
Sehingga beberapa ulama menyebutkan salah satu syarat bagi perempuan untuk
berpartisipasi dalam politik ialah, tidak mengganggu perannya yang lain yakni
ibu dan istri. Tentu saja ini patut diingatkan karena al-Qur`an lebih
menekankan pada peran perempuan sebagai ibu dan istri yang baik dibandingkan
peran perempuan dalam berpolitik.
0 Response to "Pandangan Islam Terhadap Wanita Dalam Politik"
Post a Comment