iklan1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah Yang Maha Agung.
Dengan izin-Nya, makalah ini dapat penulis selesaikan. Selawat dan salam tidak
lup
a pula penulis sanjungkan kepada baginda Rasulullah yang telah membawa kita ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
a pula penulis sanjungkan kepada baginda Rasulullah yang telah membawa kita ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Makalah ini membahas tentang Kerjasama dalam melakukan jarimah. Penulis membuat makalah ini
agar pembaca mengetahui tentang bagaimana
kerjasama dalam melakukan jarimah atau tindak pidana dalam pandangan islam.
Namun, dalam menyusun makalah ini tentu masih banyak memiliki kesalahan baik
dari segi penulisan maupun penyusunannya. Oleh karena itu, harap dimaklumi
apabila terdapat kejanggalan dalam analisis ini.
Terimakasih untuk dosen yang telah membimbing penulis
dan juga kepada teman-teman yang telah memberi dukungan sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita.
Banda Aceh,
April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..........................................................................................................
B.
Rumusan Masalah....................................................................................................
C.
Tujuan Penulisan
Makalah.......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian kerjasama dalam
berbuat jarimah..........................................................
2.2 Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Turut-Serta Jarimah....................................................
2.2.1
Keikut sertaan langsung............................................................................
2.2.2
Keikut sertaan tidak langsung...................................................................
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................
KERJASAMA DALAM BERBUAT JARIMAH
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia hidup saling membutuhkan antara satu
dengan yang lainnya. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama
tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu.
Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan
manusia sebagai makhluk sosial tersebut memiliki kepentingan-kepentingan yang
terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan
pertentangan-pertentangan.
Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh
sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan
bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan. Namun demikian
nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti
norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.
Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama.
Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama.
Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal
dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang
melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan
yang ada. Sebagaimana
diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia,
kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Ada yang dilakukan oleh
antar seorang manusia dengan seorang manusia lainnya, antar seorang dengan
beberapa orang lainnya, atau bahkan dari beberapa orang terhadap seorang
individu lainnya, sebagaimana topik pembahasan pada makalaha ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian kerjasama jarimah?
2.
Apa saja bentuk-bentuk pelaksanaan kerjasama jarimah?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian kerjasama jarimah
2.
Mengetahui bentuk-bentuk pelaksanaan jarimah
BAB II
PEMBAHASAN
Kerjasama
Dalam Berbuat Jarimah
1.
Pengertian Kerjasama Jarimah
Suatu perbuatan jarimah
atau tindak pidana, ada kalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya
pula oleh beberapa orang atau sekelompok orang yang masing-masing ikut andil
dalam melaksanakannya.
Turut serta melakukan jarimah ialah melakukan jarimah
secara bersama-sama. Baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut,
menyuruh orang lain, memberi bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk agar
perbuatan jarimah dapat dilakukan.
Dari definisi tersebut dapat diketahui sedikitnya ada dua pelaku jarimah, baik
dikehendaki bersama, secara kebetulan,sama-sama melakukan perbuatan tersebut
atau memberi fasilitas bagi terselanggaranya
suatu jarimah.
Berikut empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a. Pelaku turut melakukan
tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain
b.
Pelaku
mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c. Pelaku
menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah )
d. Pelaku memberi
bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa
turut berbuat.[1]
Dari bentuk-bentuk
kerjasama di atas, dapat dikemukakan 2 syarat umum tindakan jarimah yang harus
terdapat dalam perkara tindak pidana (jarimah):
Pertama, para pelaku
terdiri atas beberapa orang. Jika pelaku hanya sendirian, tidak ada istilah
keturut-sertaan secara langsung atau tidak langsung.
Kedua, para pelaku
dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang dijatuhi hukuman jika melanggarnya.
Jika tidak termasuk dalam pelangggaran tersebut, maka secara otomatis tidak
masuk dalam perkara pidana, secar otomatis pula tidak ada istilah
keturut-sertaan.
2
Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Turut-Serta Jarimah
Bentuk-bentuk pelaksanaan keikutsertaan
jarimah ini, para ahli fiqh menyebutkan dua hal, yaitu langsung (mubasyir)
dan tidak langsung (ghayr mubasyir).[2]
a. Keikutsertaan Langsung, mubasyir
Turut serta secara
langsung adalah apabila orang yang melakukan tindak pidana melebihi satu orang.
Keikutsertaan secara langsung ini diklasifikasikan menjadi dua bagian:
a.
Tawafuq (kebetulan)
Tawafuq
artinya si pelaku jarimah membuat secara kebetulan. Ia melakukannya tanpa
kesepakatan dengan orang lain dan juga tanpa dorongan orang lain melainkan atas
kehendak pribadinya atau refleksi atas suatu kejadian dihadapannya. Jadi,
setiap pelaku dalam jarimah yang turut serta dalam bentuk tawafuq ini tidak
saling mengenal antara satu dan yang lainnya dan mereka tidak melakukan
kesepakatan untuk merrencanakan secara kolektif.
b. Tamalu’ (kasus pidana yang sudah direncanakan
sebelumnya)
Mayoritas
fuqaha membedakan antara tanggung jawab pelaku-langsung pada kasus kebetulan
(tawafuq) dan kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya (tamalu’). Pada
kasus “kebetulan”, setiap pelaku-langsung hanya bertanggung jawab atas akibat
perbuatannya dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Contohnya,
ada dua orang memukul seseorang. Salah satu di antara dua orang ini memukul
seseorang. Salah satu di antar dua orang ini memotong tangannya, sedangkan yang
lain memotong lehernya. Orang pertama bertanggungjawab atas pemotongan,
sedangkan orang kedua bertanggungjawab atas pembunuhan. Pidana semacam ini
adalah kasus pidana yang direncanakan; mereka berdua sama-sama bertanggungjawab
atas pembunuhan itu.
Sedangkan
tawafuq adalah tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang yang melakukan
suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Jadi, kejahatan
itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara
tiba-tiba. Hal ini yang terjadi pada kasus kerusuhan spontanitas. Para pelaku
kerusuhan itu berkumpul tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu dan melakukannya
berdasarkan dorongan pribadi dan pikirannya secara spontanitas. Karena itu,
mereka hanya bertanggungjawab atas perbuatannya, tanpa harus bertanggungjawab
atas akibat perbuatan orang lain.
Dalam
kaitannya dengan ini, Imam Abu Hanifah tidak membedakan antara tawafuq dan
tamalu’. Menurutnya, hukum pada kasus itu sama, yaitu masing-masing adalah
pelaku atas perbuatannya sendiri. Jadi, dalam kasus tamalu’ pada contoh di
atas, yang satu dipersalahkan karena memukul kepala hingga mati, yang satu lagi
dipersalahkan karena berbuat rusuh. Sedang Imam madzhab yang lainnya membedakan
antara tawafuq dan tamalu’ sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya . Akan
tetapi sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengambil pendapat Imam Abu
Hanifah.
b. Keikutsertaan Tidak-Langsung, ghayr mubasyir
Para
pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan
orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh
orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai
kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan .
Adapun
unsur-unsur turut-berbuat-tidak langsung adalah sebagai berikut:
- Unsur pertama, perbuatan di mana kawan berbuat-tidak langsung memberi
bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak
diperlukan bahwa pembuat asli harus dihukum pula. Jadi pembuat tidak langsung
dapat dihukum meskipun pembuat asli (langsung) tidak dihukum.
- Unsur
kedua, dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, yang dimaksud oleh
kawan berbuat-tidak langsung untuk terjadinya jarimah tertentu.[3]
Sedangkan hukuman terhadap pelaku tidak langsung, pada dasarnya, kaidah
hukum Islam menetapkan hukuman-hukuman yang jumlahnya telah ditentukan, yakni
dalam tindak pidana hudud dan qishash, dijatuhkan kepada pelaku
langsung tindak pidana, bukan kepada pelaku tidak langsung. Berdasarkan prinsip
tersebut, siapa saja yang turut serta dalam tindak pidana hudud dan qishash tidak
dijatuhi hukuman yang telah ditentukan jumlahnya, bagaimanapun bentuk
keturut-sertaannya. Dalam hal ini, ia hanya dijatuhi ta’zir. Alasan
pengkhususan kaidah tersebut untuk tidak pidana hudud dan qishash adalah
karena umumnya hukuman-hukumanyang telah ditentukan jumlahnya itu sangat berat
dan keturut-sertaan tidak langsung si pelaku tidak dianggap syubhat yang
menolak yang menolak hukuman hudud atasnya. Juga karena pelaku tidak-langsung
pada umumnya lebih ringan kejahatannya dan lebih sedikit bahayanya daripada
pelaku langsung. Oleh karenanya, hukuman terhadapnya tidak sama.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a. Pelaku turut melakukan
tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain
b.
Pelaku
mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c.
Pelaku
menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah.
d. Pelaku memberi bantuan
atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut
berbuat.
Sedangkan bentuk-bentuk
pelaksanaanya terdapat dua macam; langsung (mubasyir) dan tidak langsung
(ghayr mubasyir).
Turut serta secara
langsung adalah apabila orang yang melakukan tindak pidana melebihi satu orang.
Keikutsertaan secara langsung ini diklasifikasikan menjadi dua bagian:
c. Tawafuq (kebetulan)
d. Tamalu’ (kasus pidana yang
sudah direncanakan sebelumnya)
Para
pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan
orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh
orang lain, atau
DAFTAR PUSTAKA
1.
Zainuddin
Ali, 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika
2.
Ahmad Hanafi, 2005. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
3. Topo Santoso, 200
0 Response to "Makalah Kerjasama Dalam Berbuat Jarimah"
Post a Comment