iklan1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah
satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhan saja (ibadah) melainkan juga m
engatur hubungan antar manusia dengan manusia (muamalah). Hal ini dibuktikan dalam kitab suci Islam yakni al-Qur’an yang di dalamnya memuat berbagai macam aspek ilmu baik ilmu dunia maupun akhirat dan aturan-aturan tertentu untuk tujuan kemaslahatan manusia. Selain itu, terdapat pula hadits yang berfungsi untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an dan memuat hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an.
engatur hubungan antar manusia dengan manusia (muamalah). Hal ini dibuktikan dalam kitab suci Islam yakni al-Qur’an yang di dalamnya memuat berbagai macam aspek ilmu baik ilmu dunia maupun akhirat dan aturan-aturan tertentu untuk tujuan kemaslahatan manusia. Selain itu, terdapat pula hadits yang berfungsi untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an dan memuat hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an.
Dalam
pengambilan hukum, ulama berusaha untuk memahami dan menafsirkan apa-apa yang
dimuat dalam al-Qur’an. Hal ini dikarenakan al-Qur’an bersifat global dan
berfungsi sebagai sumber hukum dalam islam. Pengambilan hukum tersebut dalam
islam disebut dengan istimbath al-ahkam. Hasil dari istimbath
al-ahkam tersebut dibungkus ke dalam sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu fiqh.
Salah satu bagian dari ilmu fiqh yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia serta urusan keduniawian adalah fiqh
muamalah. Sebagai makhluk social, manusia pasti memerlukan manusia lain, oleh
karena itu islam memperhatikan hal tersebut dan menganggapnya sebagai sesuatu
yang urgen dan vital. Salah satu contoh yaitu tidak semua orang memiliki barang
yang ia butuhkan, sedangkan orang lain memiliki barang tersebut, dengan adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak, maka akan terjadi suatu transaksi.
Kesepakatan tersebut timbul apabila kedua belah pihak telah terikat satu sama
lain dalam suatu ijab dan qabul. Inilah yang disebut dengan akad
dalam islam. Akad tersebut digunakan dalam melakukan suatu transaksi maupun
kerjasama dengan orang lain. Dari paparan di atas, penulis tertarik untuk
menyusun sebuah yang membicarakan tentang konsep akad dalam akad dari segi
fungsinya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan akad dalam islam?
2.
Apa saja macam-macam akad dalam islam?
3.
Apa perbedaan antara wa’ad dengan akad?
4.
Apa yang dimaksud dengan akad tabarru’ dan
akad tijarah serta derivasinya?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian akad dalam islam.
2.
Untuk mengklasifikasikan macam-macam akad
dalam islam.
3.
Untuk menjelaskan perbedaan wa’ad
dengan akad.
4.
Untuk menjelaskan pengertian akad tabarru’ dan
akad tijarah serta derivasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akad
Dalam Al-Qur’an, ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian,
yakni al-‘aqdu dan al-‘ahdu. Kata al-‘aqdu terdapat dalam
QS. al-Maidah (5): 1.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ
بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى
عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا
يُرِيدُ. (المائدة: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad. Hewan ternak
dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah).
Sesungguhnya Allah Menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia Kehendaki.”
Secara etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan,
perjanjian, dan pemufakatan (al-ittifaq).[1]
Dikatakan ikatan karena memiliki maksud menghimpun atau mengumpulkan dua ujung
tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung
dan menjadi seutas tali yang satu.[2]
Sedangkan menurut Wahbah Az-zuhaily, yaitu[3]
الربط بين
أطراف الشيء سواء أكان ربطًا حسييًا أم معنويًا من جانبٍ أو من جانبين
“Ikatan antara dua perkara, baik ikatan
secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua
segi.”
Sedangkan al-‘ahdu secara etimologis
berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.[4]
Kata al-‘ahdu terdapat dalam QS. Ali Imran (3): 76.
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى
فَإِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ. (آل عمران: ٧٦)
“Sebenarnya barangsiapa menepati
janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah Mencintai orang-orang yang bertakwa.”
Istilah al-‘aqdu dapat disamakan dengan istilah verbintenis
dalam KUH Perdata, karena istilah akad lebih umum dan mempunyai daya ikat
kepada para pihak yang melakukan perikatan. Sedangkan al-‘ahdu dapat
disamakan dengan istilah overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai
suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji ini
hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan.[5]
Pengertian
akad secara terminology, yang dalam hal ini dikemukakan oleh ulama fiqh,
ditinjau dari dua segi yaitu:[6]
1.
Pengertian Umum
Pengertian akad
dalam arti umum hampir sama dengan pengertian akad secara bahasa. Hal ini
dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:
كل ما عزم المرء على فعله سواءٌ صدر بإرادةٍ
منفردةٍ كالوقف والإبرء والطلاق واليمين أم إحتاج إلى إرادتين في إنشائه كالبيع
والإيجار والتوكيل والرهن.
“Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya
sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya
membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.”
2.
Pengertian Khusus
Pengertian akad
dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu:
إرتباط إيجابٍ بقبولٍ على وجهٍ مشروعٍ يثبت أثره
في محله.
“Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul
berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.”
Dalam mu’amalah (transaksi bisnis) istilah yang
paling umum digunakan adalah istilah al-‘aqdu. Karena dalam menjalankan
sebuah transaksi harus terjadi perikatan yang timbul dari kesepakatan dalam
sebuah perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut
Abdoerrauf, suatu perikatan (al-‘aqdu) terjadi melalui tiga tahap,
yaitu:[7]
1.
Al-‘Ahdu (perjanjian),
yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat
orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut.
2.
Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari
pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi
terhadap janji yag dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus
sesuai dengan janji pihak pertama.
3.
Apabila dua janji tersebut dilaksanakan
maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah al-aqdu. Maka yang mengikat
masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi al-‘ahdu melainkan
al-‘aqdu.
Misalnya,
Ahmad menyatakan janji bahwa ia akan menjual sebuah rumah, kemudian Mahmud menyatakan
janji bahwa ia akan membeli sebuah rumah, maka dalam hal ini mereka berdua
berada pada tahap al-‘ahdu. Apabila mereka telah bersepakat mengenai
harga rumah tersebut, maka terjadilah persetujuan. Kemudian Mahmud memberikan
uang muka sebagai tanda jadi untuk membeli rumah Ahmad, maka terjadi perikatan
(al-‘aqdu) di antara keduanya.
B.
Pembagian Akad dalam Hukum Islam
Para ulama
fiqh telah mengklasifikasikan jenis-jenis akad yang ditinjau dari berbagai
segi, antara lain:
1.
Dari segi keabsahannya menurut syara’, maka
akad dibagi menjadi dua:[8]
a.
Akad shahih
Akad yang telah memenuhi rukun dan
syarat yang telah ditetapkan oleh syariat. Hukum dari akad shahih ini
adalah berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi
pihak-pihak yang berakad. Akad shahih menurut ulama Hanafi dan Maliki
terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1)
Akad nafiz (sempurna untuk
dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan
syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannnya.
Misalnya,[9]
para pihak yang berakad memenuhi syarat kecakapan untuk melakukan akad jual
beli terhadap objek tertentu hukumnya sah, setelah terjadi kesepakatan.
2)
Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan
seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad itu.
Misalnya, Ahmad memberi uang
sebesar Rp 1.000.000 kepada Mahmud untuk membeli seekor kambing. Ternyata di
tempat penjual kambing, jumlah uang tersebut dapat membeli dua ekor kambing,
sehingga Mahmud membeli dua ekor kambing. Keabsahan akad jual beli dua ekor kambing
ini amat bergantung kepada persetujuan karena Mahmud diperintahkan hanya
membeli seekor kambing. Apabila Ahmad menyetujui akad yang telah dilakukan
Mahmud, maka jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui Ahmad, maka jual
beli tersebut tidak sah. Akan tetapi, ulama Syafi’i dan Hambali menganggap jual
beli mauquf ini sebagai jual beli
yang batil.
Dalam fiqh, akad diatas biasa
disebut dengan al-‘aqad al-fudhuli, yaitu akad yang keabsahannya berlaku
bila telah telah mendapat persetujuan dari pemilik aslinya (yang mewakili).
b.
Akad ghairu shahih
Akad yang terdapat kekurangan pada
rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak tidak
berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafi membagi akad ghairu
shahih itu menjadi dua macam, yaitu:
1)
Akad batil yaitu akad yang tidak
memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’.
Misalnya, objek jusl beli itu tidak
jelas atau terdapat unsur tipuan (gharar), seperti menjual ikan dalam
lautan atau salah satu pihak tidak cakap bertindak hukum.
2)
Akad fasid adalah akad yang pada
dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas.
Misalnya, menjual rumah yang tidak jelas tipe,
jenis, dan bentuknya, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan
pembeli. Jual beli ini dianggap sah apabila unsur-unsur yang menyebabkan ke-fasid-annya
itu dihilangkan yakni dengan menjelaskan tipe, jenis dan bentuk rumah yang
dijual tersebut.
Akan tetapi, jumhur ulama’ fiqh menyatakan bahwa akad yang batil
dan akad yang fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan
akad itu tidak mengakibatkan akibat hukum apapun.
2.
Ditinjau dari segi penamaannya, para ulama
fiqih membagi akad menjadi dua macam, yaitu:[10]
a.
Akad musammah yaitu akad yang
ditentukan nama-namanya oleh syara’ serta dijelaskan hokum-hukumnya, seperti
jual bei, sewa menyewa, perkawinan, dsb.
b.
Akad ghairu musammah yaitu akad yang
penamaannya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di
sepanjang zaman dan tempat, seperti istishna’, bai’ al-wafa’, dsb.
3.
Ditinjau dari segi disyariatkan atau tidak,
terbagi dua yaitu:[11]
a.
Akad musyara’ah yaitu akad-akad yang
dibenarkan syara’, umpamanya jual beli, jual harta yang ada harganya dan
termasuk juga hibah, dan rahn.
b.
Akad mamnu’ah yaitu akad-akad yang
dilarang syara’, seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan.
4.
Ditinjau dari sifat bendanya, akad dibagi dua, yaitu:[12]
a.
Akad ‘ainiyah yaitu akad yang objeknya
berupa benda berwujud. Karena objeknya berupa benda, berarti hokum asalnya
adalah mubah selama tidak ada dalil-dalil yang mengharamkannya. Dalam akad yang
bersifat ‘ainiyah, kesempurnaan akad tergantung pada penyerahan benda (‘ayn)
sebagai objek akad. Misalnya dalam transaksi jual beli, akad dikatakan sempurna
apabila benda yang dijadikan objek perdagangan teah diserahkan kepada para
pihak.
b.
Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu akad yang
kesempurnaannya tergantung pada objek perbuatan seseorang (fi’il) untuk
melaksanakan akad. Pada akad ini, kesempurnaannya hanya didasarkan pada bentuk
perbuatan akadnya saja dan tidak mengharuskan adanya penyerahan objek tertentu
yang berupa benda. Karena objeknya berupa perbuatan, maka ketentuan yang
berlaku adalah kaidah fiqh yang menyatakan bahwa hokum asal perbuatan manusia
terikat dengan hokum syara’. Misalnya, benda yang diwakafkan otomatis menjadi
benda wakaf.
5.
Ditinjau dari bentuk atau cara melakukan akad.
Dari sudut ini, dibagi dua pula, yaitu:[13]
a.
Akad asy-Syakli, yaitu akad-akad yang
harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misalnya, pernikahan yang harus
dilakukan dihadapan para saksi, akad yang menimbulkan hak bagi seseorang atas
tanah, yang oleh undang-undang mengharuskan hak itu dicatatkan di kantor agraria.
b.
Akad ar-Radha’I, yaitu akad-akad yang
tidak memerlukan tata cara. Misalnya, jual beli yang tidak perlu di tempat yang
ditentukan dan tidak perlu dihadapan pejabat.
6.
Ditinjau dari dapat tidaknya dibatalkan akad.
Dari segi ini akad dibagi empat macam:[14]
a.
Akad yang tidak dapat dibatalkan, yaitu aqduzziwaji.
Akad nikah tak dapat dicabut, meskipun terjadinya dengan persetujuan kedua beah
pihak, akad nikah hanya dapat diakhiri dengan jalan-jalan yang ditetapkan syari’at,
seperti talak, khulu’, atau
karena keputusan hakim.
b.
Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan
kedua belah pihak, seperti jual beli, shulh, dsb.
c.
Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu
persetujuan pihak pertama. Misal, rahn dan kafalah merupakan
keharusan bagi si rahin dan si kafil, tidak merupakan keharusan
oleh si murtahin (orang yang memegang gadai) atau si makful lahu (orang
yang memegang tanggungan). Si murtahin boeh melepaskan rahn kapan
saja dia kehendaki.
d.
Akad yang dapat dibatakan tanpa menunggu
persetujuan pihak kedua, yaitu seperti: wadi’ah, ‘ariyah, dan wakalah.
7.
Ditinjau dari segi tukar-menukar hak. Dari
segi ini akad dibagi dua:[15]
a.
Akad muawadhah yaitu akad-akad yang
berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli, sewa-menyewa, shulh,
terhadap harta dengan harta.
b.
Akad tabarru’at yaitu akad-akad yang
berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah dan ‘ariyah.
c.
Akad yang mengandung tabarru’ pada
permulaan tetapi menjadi muawadhah pada akhirnya, seperti qardh dan
kafalah. Qardh dan kafalah ini permulaannya tabarru’, tetapi
pada akhirnya menjadi muawadhah ketika si kafil meminta kembali
uangnya kepada si madin.
8.
Ditinjau dari segi waktu berlakunya, terbagi
dua yaitu:[16]
a.
Akad fauriyah yaitu akad-akad yang
pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama. Misalnya, jual beli walaupun
dengan harga yang ditangguhkan. Demikian pula shulh, qardh, dan hibah.
Semua akad ini dipandang telah selesai apabila masing-masing pihak telah
menyempurnakan apa yang dikehendaki oleh akad.
b.
Akad mustamirrah dinamakan juga akad zamaniyah
yaitu akadd yang pelaksanannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam
pelaksanaannya. Contohnya: ijrah, ‘ariyah, wakalah, dan syirkah. Pelaksanaan
akad-akad ini adalah dengan selesai digunakannya manfaat yang disewa, atau yang
dipinjam atau dilaksanakan tugas-tugas perkongsian.
9.
Ditinjau dari ketergantungan dengan yang lain.
Akad dari segi ini dibagi dua, yaitu:[17]
a.
Akad ‘asliyah yaitu akad yang berdiri
sendiri, tidak memerlukan adanya sesuatu yang lain, misalnya jual beli, ijarah,
wadi’ah, ‘ariyah.
b.
Akad tabi’iyah yaitu akad yang tidak
dapat berdiri sendiri karena memerlukan sesuatu yang lain, seperti: rahn dan
kafalah. Rahn tidak dilakukan apabila tidak ada utang.
10.
Ditinjau dari segi maksud dan tujuan yang akan
dicapai. Akad dapat dibedakan menjadi beberapa macam:[18]
a.
Akad at-Tamlikiyah merupakan akad yang
bertujuan untuk kepemilikan. Objek kepemilikan dapat diwujudkan dalam bentuk
benda maupun manfaat. Misalnya jual beli, ijarah.
b.
Akad al-Isytirak merupakan akad yang
bertujuan melakukan kerjasama menjalankan suatu usaha berdasarkan prinsip bagi
hasil. Termasuk dalam kategori ini adalah semua akad musyarakah dan mudharabah,
muzara’ah, musyaqah.
c.
Akad al-Ithlaq yaitu suatau akad yang
bertujuan untuk menyerahkan tanggung jawab kewenangan (tauliyah) kepada
orang lain. Misalnya, wakalah.
d.
Akad at-Tausiq yaitu akad yang
dimaksudkan untuk menanggung atau menjamin sesuatu yang menjadi kewajiban pihak
lain. Misalnya, kafalah, hawalah, dan rahn.
e.
Akad al-Hifdh yaitu akad yang
dimaksudkan untuk memelihara harta benda yang diamanahkan seseorang kepada
pihak lain. Misalnya wadi’ah.
11.
Ditinjau dari kompensasi akad yang akan
diperoleh, dibagi dua, yaitu:[19]
a.
Akad tabarru’ yaitu akad yang dimaksud untuk
menolong dan murni semata-mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah,
sama sekali tidak ada unsur mencari “return” ataupun motif. Akad yang
termasuk kategori ini adalah: hibah, waqaf, wasiat, dll.
b.
Akad Tijarah yaitu akad yang
dimaksudkan untik mencari dan mendapatkan keuntungan berdasarkan rukun dan
syarat yang harus dipenuhi semuanya. Akad yang termasuk dalam kategori ini
adalah: murabahah, salam, musyarakah, dll.
C.
Perbedaan Wa’ad dengan Akad
Fiqih muamalat Islam membedakan antara wa’ad
dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak
kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad
hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk
melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul
kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and
condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well
defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka
sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
Di lain pihak, akad mengikat kedua
belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan
spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua
pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.[20]
pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.[20]
D.
Perbedaan akad tabarru’ dan akad tijarah
serta derivasinya
Pada subbab sebelumnya telah dijelaskan sekilas mengenai akad tabarru’
dan tijarah, berikut ini akan dipaparkan lebih rinci mengenai dua akad
tersebut beserta contoh-contohnya.
1.
Akad tabarru’
Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut
not-for profit (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan
transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’
dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’
berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam
akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak
mensyaratkan imbalan apa pun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’
adalah dari Allah SWT., bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat
kebaikan tersebut boleh meminta kepada counterpart-nya untuk sekedar
menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’
tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’
itu. [21]
Tetapi pada kenyataannya, penggunaan akad tabarru’ sering
sangat vital dalam transaksi komersil, karena akad tabarru’ ini dapat
digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah.
Akad tabarru’
memiliki tiga bentuk, yaitu:[22]
a.
Meminjamkan uang: qard, rahn, dan hiwalah.
b.
Meminjamkan jasa kita: wakalah, wadiah, dan
kafalah.
c.
Memberikan sesuatu: hibah, hadiah, waqf,
shadaqah, dll.
2.
Akad tijarah
Akad tijarah/mu’awadah adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini
dilakukan dengan tujuan mecari keuntungan, karena itu bersifat komersil. [23]
Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah
dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
Dalam NCC, kedua belah pihak saling
mempertukarkan asset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik
barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti baik
jumlahnya, mutunya, harganya, dan waktu penyerahannya. Jadi secara sunnatullah
menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah: jual-beli (al-bai’, salam dan istishna’) dan sewa-menyewa
(ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik)
Dalam NUC, pihak-pihak yang
bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets mauun financial
assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama
untuk mendapatkan keuntungan. Disini keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.
Karena itu, kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return),
baik dari segi jumlah maupun waktunya. Yang termasuk dalam kontak ini adalah
kontrak-kontrak investasi, seperti: musyarakah (inan, wujuh, abdan,
muwafadhah, dan mudharabah), muzara’ah, musaqah, dan mukhabarah.
3.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Pengertian
Secara etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan,
perjanjian, dan pemufakatan (al-ittifaq). Pengertian akad secara
terminologi, yang dalam hal ini dikemukakan oleh ulama fiqh, ditinjau dari dua
segi yaitu:
1.
Pengertian Umum
Pengertian ini
dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:
كل ما عزم المرء على فعله سواءٌ صدر بإرادةٍ
منفردةٍ كالوقف والإبرء والطلاق واليمين أم إحتاج إلى إرادتين في إنشائه كالبيع
والإيجار والتوكيل والرهن.
2.
Pengertian Khusus
Pengertian akad
dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu:
إرتباط إيجابٍ
بقبولٍ على وجهٍ مشروعٍ يثبت أثره في محله.
B.
Pembagian Akad dalam Hukum Islam
1.
Dari segi keabsahannya menurut syara’, maka
akad dibagi menjadi dua:
a.
Akad shahih
b.
Akad ghairu shahih
2.
Ditinjau dari segi penamaannya, para ulama
fiqih membagi akad menjadi dua macam, yaitu:
a.
Akad musammah
b.
Akad ghairu musammah
3.
Ditinjau dari segi disyariatkan atau tidak,
terbagi dua yaitu:
a.
Akad musyara’ah
b.
Akad mamnu’ah
4.
Ditinjau dari sifat bendanya, akad dibagi dua, yaitu:
a.
Akad ‘ainiyah
b.
Akad ‘ghairu ainiyah
5.
Ditinjau dari bentuk atau cara melakukan akad.
Dari sudut ini, dibagi dua pula, yaitu:
a.
Akad asy-Syakli
b.
Akad ar-Radha’i
6.
Ditinjau dari dapat tidaknya dibatalkan akad.
Dari segi ini akad dibagi empat macam:
a.
Akad
yang tidak dapat dibatalkan
b.
Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan
kedua belah pihak
c.
Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu
persetujuan pihak pertama
d.
Akad yang dapat dibatakan tanpa menunggu
persetujuan pihak kedua
7.
Ditinjau dari segi tukar-menukar hak. Dari
segi ini akad dibagi dua:
a.
Akad muawadhah
b.
Akad tabarru’at
c.
Akad yang mengandung tabarru’ pada
permulaan tetapi menjadi muawadhah pada akhirnya
8.
Ditinjau dari segi waktu berlakunya, terbagi
dua yaitu:
a.
Akad fauriyah
b.
Akad mustamirrah
9.
Ditinjau dari ketergantungan dengan yang lain.
Akad dari segi ini dibagi dua, yaitu:
a.
Akad ‘asliyah
b.
Akad tabi’iyah
10.
Ditinjau dari segi maksud dan tujuan yang akan
dicapai. Akad dapat dibedakan menjadi beberapa macam:
a.
Akad at-Tamlikiyah
b.
Akad al-Isytirak
c.
Akad al-Ithlaq
d.
Akad
at-Tausiq
e.
Akad al-Hifdh
11.
Ditinjau dari kompensasi akad yang akan
diperoleh, dibagi dua, yaitu:
a.
Akad tabarru’
b.
Akad tijarah
C.
Perbedaan wa’ad dengan akad
1.
Wa’ad :
a.
janji (promise) antara satu pihak
kepada pihak lainnya
b.
mengikat satu pihak yakni pihak yang memberi
janji berkewajiban
untuk melaksanakan kewajibannya
untuk melaksanakan kewajibannya
c.
terms and condition-nya belum
ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined)
d.
Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi
janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral
2.
Akad :
a.
kontrak antara dua belah pihak
b.
mengikat kedua belah pihak yang saling
bersepakat, yakni masing masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban
mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu
c.
terms and condition-nya sudah
ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined)
d.
Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat
dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima
sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad
D.
Perbedaan akad tabarru’ dan akad tijarah
serta derivasinya
1.
Akad tabarru’: tujuannya kebaikan
a.
Meminjamkan uang: qard, rahn, dan hiwalah.
b.
Meminjamkan jasa kita: wakalah, wadiah, dan
kafalah.
c.
Memberikan sesuatu: hibah, waqf, shadaqah, dll.
2.
Akad tijarah: tujuannya komersil
a.
Natural Certainty Contract: jual-beli (al-bai’, salam dan istishna’) dan
sewa-menyewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik)
b.
Natural Uncertainty Contract: musyarakah (inan,
wujuh, abdan, muwafadhah, dan mudharabah), muzara’ah, musaqah, dan mukhabarah.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Faturrahman.
2001. “Hukum Perjanjian Syariah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh
Mariam Darus Badrulzaman, et al. Bandung: Citra Aditya Bakti
Mas’adi, Ghufron
A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Zuhaili (Al), Wahbah.
1989. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh,
Juz IV. Damsyik: Dar Al-Fikr
Syafe’I, Rachmat.
2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia
Abdoerrauf.
1970. Al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study. Djakarta: Bulan
Bintang
Dewi, Gemala. 2006.
Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Burhanuddin S.
2009. Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta:
BPFE
Shiddieqy (Al),
Teuku Muhammad Hasbi. 2001. Pengantar Fiqh Muamalah, cet. 3, Edisi 2. Semarang:
Pustaka Rizki Putra
Karim, Adimarwan A. 2006. Bank Islam: analisis
fiqih dan keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
[1] Faturrahman Djamil, “Hukum
Perjanjian Syariah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus
Badrulzaman, et al., cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), 247
[2] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh
Muamalah Kontekstual, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 75
[7] Abdoerrauf, Al-Qur’an dan Ilmu
Hukum: A Comparative Study), (Djakarta: Bulan Bintang, 1970), 122-123
[11] Teuku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. 3, Edisi 2, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001), 109
[20] Adimarwan A. Karim, Bank Islam:
analisis fiqih dan keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 65
0 Response to "Makalah Kaedah Fiqh Ekonomi"
Post a Comment