iklan1
Pendahuluan
Baitul Mal Provinsi meminta penulis
menyampaikan makalah degan judul seperti tertera di atas. Untuk itu ada
beberapa penjelasan ya
ng ingin disampaikan. Pertama, istilah Pemerintah dalam judul di atas digunakan untuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Dengan demikian kebijakan yang akan dibicarakan akan mencakup ketentuan yang ada dalam peraturan tingkat nasional sebagai kebijakan pemerintah pusat dan ketentuan yang ada dalam peraturan daerah dalam hal ini Qanun Aceh dan Peraturan Gubernur Aceh
sebagai kebijakan Pemerintah Aceh. Sedang uraian mengenai pemberdayaan akan meliputi kewajiban zakat dan pendistribusian zakat baik secara konsumtif ataupun secara produktif serta pengelolaannya secara umum.
ng ingin disampaikan. Pertama, istilah Pemerintah dalam judul di atas digunakan untuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Dengan demikian kebijakan yang akan dibicarakan akan mencakup ketentuan yang ada dalam peraturan tingkat nasional sebagai kebijakan pemerintah pusat dan ketentuan yang ada dalam peraturan daerah dalam hal ini Qanun Aceh dan Peraturan Gubernur Aceh
sebagai kebijakan Pemerintah Aceh. Sedang uraian mengenai pemberdayaan akan meliputi kewajiban zakat dan pendistribusian zakat baik secara konsumtif ataupun secara produktif serta pengelolaannya secara umum.
Mengenai dasar hukum kewenangan
Pemerintah Aceh untuk mengelola zakat, ditemukan dalam UU Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai berikut:
Pasal 191
- Zakat, harta wakaf, dan harta
agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan baitul Mal kabupaten/kota.
- Ketetnuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan ketetnuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
qanun.
Pasal 192
Zakat yang
dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang
dari wajib pajak.
Sedang dalam Pasal 180 ayat (1)
disebutkan bahwa zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
untuk Provinsi Aceh dan juga untuk kabupaten/kota se Aceh. Untuk menjabarkan
ketentuan ini Pemerintah Aceh telah menerbitkan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun
2007 tentang Baitul Mal, yang akan diuraikan di bawah nanti.
Lebih dari itu, agar menjadi lebih
komprehensif dan dapat memberikan wawasan yang lebih luas, maka tulisan ini
dilengkapi juga dengan tuntunan Islam mengenai kewajiban zakat, pengelolaan zakat
serta hikmah dan tujuan penunaiannya. Uraian tentang tuntunan Islam ini akan
diletakkan di bagian awal dan setelah itu diikuti dengan uraian mengenai
kebijakan pemerintah dalam bidang yang telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian sistematika tulisan
ini akan terdiri atas pendahuluan, kewajban dan harta kena zakat, mustahiq
zakat dan pengelolaan zakat yang ke dalamnya termasuk keberadaan badan
pengelolanya, menurut syari`at dan fiqih. Setelah ini diikuti dengan ketentuan
dalam peratuan perundang-undangan baik pada tingkat nasional ataupun lokal,
termasuk tertib administrasi, serta pendistribusiannya baik secara konsumtif
ataupun produktif. Setelah ini akan diakhiri dengan penutup, yang berisi
kesimpuan dan saran.
Kewajiban
Zakat dalam Al-qur’an dan Hadis
Perintah (kewajiban) membayar zakat
disebutkan secara jelas di dalam Al-qur’an dan sunnah Rasulullah. Perintah
zakat dalam Al-qur’an, yang disebutkan beriringan dengan kewajiban mendirikan
shalat ditemukan sebanyak 33 kali. Sedang perintah membayar zakat yang tidak
diiringkan dengan shalat, atau disampaikan dengan kata yang lain, seperti
perintah untuk membayar infaq atau shadaqah,
ditemukan lebih dari 40 kali. Begitu juga perintah mendirikan shalat yang tidak
beriringan dengan zakat ditemukan lebih dari 40 kali. Dengan demikian tidaklah
berlebih-lebihan sekiranya dikatakan bahwa di dalam Al-qur’an, perintah
membayar zakat disebutkan sama banyak dengan perintah mendirikan shalat
(sekitar 70 kali).
Ayat-ayat tentang kewajiban zakat
seperti disebutkan di atas, boleh dikatakan semuanya bersifat umum, mencakup
semua jenis harta (simpanan, tabungan) dan semua jenis penghasilan (pertanian,
peternakan, perdagangan, jasa, industri, kontraktor, dsb). Misalnya At-Tawbah
103 bermakna lebih kurang ([Wahai para penguasa/pemimpin] ambil dari harta
mereka [kaum muslimin] shadaqah [zakat] untuk membersihkan dan mensucikan
mereka …); Adz-Dzariyat 19 dan Al-Ma`arij 25 bermakna lebih kurang (Dalam
harta mereka ada hak orang yang meminta dan tidak berpunya). Perintah berinfaq, yang
sebagiannya dipahami mencakup pembayaran zakat, diperintahkan terhadap semua
jenis penghasilan, misalnya Al-Baqarah 254 (Wahai orang yang beriman
berinfaqlah (nafkahkanlah sebagai zakat) sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepadamu, sebelum datang Hari (Kiamat) manakala tidak ada jual beli, tidak ada
persahabatan, dan tidak ada perantaraan …) dan Al-Baqarah 267 (Wahai
orang beriman nafkahkanlah (sebagai sedekah dan zakat) sebagian yang baik-baik
dari pernghasilanmu, dan sebagian dari hasil-hasil yang Kami keluarkan dari
bumi untukmu …). Perintah yang lebih umum lagi ditemukan dalam banyak ayat
seperti Al-Baqarah 43, 83, dan 110, serta An-Nisa’ 77, yang maknanya lebih
kurang; (Tegakkan shalat dan tunaikan zakat [oleh kamu sekalian]). Bentuk
lain yang hampir sama kita temukan juga dalam banyak ayat antara lain At-Tawbah
71, (Mereka mendirikan shalat dan menuanikan zakat).
Ayat lain yang menjelaskan zakat
adalah mengenai orang yang berhak menerimanya, yaitu At-Tawbah 60 yang maknanya
lebih kurang: Sedekah (zakat) hanyalah bagi para fakir, para miskin, para
`amil, para mu’allaf, dan bagi mereka yang diperhamba, bagi mereka yang mandi
hutang, bagi mereka yang berjuang di jalan Allah, dan orang yang terlantar
dalam perjalanan. Demikian diwajibkan Allah, dan Allah Maha Tahu, Maha
Bijaksana.
Adapun penjelasan dan pembatasan
tentang jenis harta dan penghasilan yang terkena zakat, begitu juga nisab
(batas minimal harta kena zakat) dan kadar (jumlah harta yang wajib dibayarkan
sebagai zakat) berasal dari sabda Rasulullah dan praktek yang terjadi pada masa
Rasulullah (Sunnah Rasulullah) dan Sahabatnya. Tetapi penjelasan dan rincian
ini tidaklah dalam bentuk yang jelas dan lengkap, sehingga harus ditafsirkan,
disusun dan ditata terlebih dahulu. Dengan demikian peluang dan bahkan
keharusan untuk ijtihad menjadi relatif besar dan luas. Lebih dari itu
hadis-hadis ini juga memuat keterangan tentang hikmah dan pahala dari penunaian
zakat dan berbagai hal lain di seputar zakat, yan sekiranya dikelompokkan dapat
dipilah menjadi tujuh hal utama sebagai berikut.
Kelompok pertama hadis-hadis yang
menjelaskan kewajiban zakat, pahala yang akan diperoleh serta hikmah dan
manfaat dari pembayaran zakat. Kelompok kedua hadis yang menjelaskan jenis
harta kena zakat, kelompok ketiga menjelaskan nisab (batas minimal harta kena
zakat), kelompok keempat menjelaskan kadar zakat (jumlah harta yang dibayarkan
sebagai zakat). Kelima menjelaskan kelompok masyarakat (orang) yang berhak
menerima zakat, kelompok keenam tentang tata cara pembayaran dan pembagian
(pengelolaan) zakat dan kelompok ketujuh tentang zakat fitrah. Dalam kitab Fath-ul
Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, ditemukan 118 hadis di bawah judul Kitab-uz
Zakat, (Jilid IV, hlm 3 s/d 151, nomor 1395 s/d 1512). Walaupun jdulnya adalah
”Kitab tentang Zakat”, tidaklah seluruh hadis disini menjelaskan zakat.
Sebagian daripadanya menjelaskan sedekah dalam arti umum. Lebih setengah dari
hadis-hadis ini menjelaskan anjuran untuk berzakat dan bersedekah, serta pahala
dan manfaatnya, begitu juga celaan untuk orang yang enggan melakukannya.
Mengenai jenis harta serta nisab dan kadar zakat misalnya, Imam al-Bukhari
hanya memasukkan (mengakui) beberapa hadis tentang zakat petanian, zakat ternak
dan zakat perak (simpanan). Hadis tentang zakat perdagangan dan rikaz tidak
ditemukan di dalam himpunan hadis Imam Al-Bukhari ini.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
pembatasan tentang jenis dan persyaratan harta dan penghasilan zakat yang
ditemukan di dalam hadis-hadis Rasulullah itu tidaklah bersifat mutlak,
sehingga cenderung diperluas mengikuti perbedaan tempat, waktu dan keadaan
(mata pencaharian penduduk), sesuai dengan kaidah-kaidah ushul fiqih dan
pertimbangan kemaslahatan yang dirasakan oleh para imam mujtahid tersebut.
Sebagai conto, sekiranya kita membuka buku Fiqh-us Sunnah karangan Said
Sabiq (Bab/Kitab Zakat), akan terlihat tidak semua bidang atau masalah zakat
ada dalilnya yang langsung dari hadis-hadis Rasulullah. Tentang zakat pertanian
misalnya, Said Sabiq secara jelas menyatakan bahwa pada masa Rasululah hasil
pertanian yang dizakati hanyalah gandum, jelai, kurma dan anggur. Adapun hasil
pertanian lainnya, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan tidak dizakati pada
masa Rasulullah (Said Sabiq, jilid 1, hlm 407 dst.). Imam Syafi`i dalam Kitab
al-Um tentang zakat perdagangan mencantumkan sebuah riwayat bahwa Khalifah
Umar mengambil zakat atas barang yang akan diperdagangkan. Setelah itu beliau
juga mengutip riwayat bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan
petugasnya untuk meungut zakat atas barang yang akan diperdagangkan apabila
telah mencapai nisab (Al-Um, jilid dua, hlm. 63). Yang menarik dari riwayat
ini, beliau tidak mencatumkan hadis bahwa pada masa Rasulullah barang
perdagangan sudah dikenakan zakat. Begitu juga di tempat yang lain beliau
mencantumkan riwayat bahwa Khalifah Usman bin `Affan ketika membayarkan
”tunjangan” (al-`atha’,al- a`thiyah) yang beliau ambil dari Baitul Mal
dan diserahkan kepada orang yang berhak, bertanya apakah dia mempunyai harta
yang wajib zakat. Kalau dijawab ada maka Usman memotong kewajiban tersebut dari
”tunjangan” yang dia bayarkan tersebut. Tetapi kalau dijawab tidak ada maka
Usman akan memberikan ”tunjangan” tersebut secara penuh. Lebih dari itu Imam
Syafi`i menyatakan bahwa orang pertama yang mengambil zakat atas ”tunjangan”
adalah Mu`awiyah bin Abu Sufyan, Khalifah pertama Dawlah Bani Umayyah. Yang
menarik dalam riwayat dari Umar bin Khatthab, Mu`awiyah dan Umar bin abdul Aziz
ini tidak ada ketentuan bahwa zakat tersebut baru diambil setelah sampai haul.
Tetapi Imam Syafi`i menyatakan karena ”tunjangan” tersebut merupakan ”fa’idah”
maka baru wajib dizakati kalau sudah dimiliki selama satu tahun (sampai haul).
Lebih tegas lagi Imam syafi`i menyatakan bahwa semua harta yang mencapai nisab
baru wajib dizakati apabila telah sampai haul kecuali hasil pertanian, harta
rikaz dan ma`adin (Al-Um, jilid dua, hlm. 24).
Di atas sudah disinggung bahwa
perintah membayar zakat di dalam Al-qur’an bersifat sangat umum, namun di dalam
hadis dibatasi, sehingga menjadi relatif sangat sempit. Untuk pertanian
misalnya ada hadis yang menyatakan bahwa zakat hanya wajib atas hasil pertanian
kurma, anggur, gandum dan jelai. Mungkin karena isinya yang sangat sempit, para
ulama memahami hadis ini tidak secara harfiah, tetapi berusaha mencari `illat
yang terkandung didalamnya. Sebagian mereka menyatakan `illat tersebut adalah
makanan pokok, sebagian yang lain menyatakan tahan disimpan, ada yang
menyatakan karena merupakan biji-bijian, ada yang mernyatakan karena ditanam
dan ada juga yang menyatakan karena menjadi penghasilan (bernilai ekonomis).
Dengan demikian berdasarkan `illat yang dibangun dengan logika dan pertimbangan
masing-masing, semua ulama dan mazhab (mungkin pengecualiannya hanyalah
sebagain pengikut mazhab zhahiri) memperluas makna hadis di atas. Ada yang
memperluasnya secara relatif terbatas, (misalnya ulama Syafi`iyah) hanya pada
biji-bijian yang dijadikan makanan pokok, yang tahan disimpan dan ditanam oleh
sipetani (jadi hasil pohon sagu yang juga dijadikan makanan pokok tidak wajib
dizakati karena pohon sagu di Aceh tidak ditanam oleh petani). Tetapi sebagian
ulama yang lain (misalnya ulama Hanafiah) memperluasnya menjadi semua jenis
pertanian yang memberikan hasil atau dijadikan mata pencaharian, seperti kelapa,
sawit, kopi, pisang dan sebagainya. Dari jalan pikiran para ulama ini penulis
cenderung mengikuti para ulama yang menyatakan semua penghasilan (pertanian
atau bukan pertanian termasuk sektor jasa di alamnya) sekiranya telah mencapai
nisab wajib dizakati.
Dalam kaitan dengan jenis harta kena
zakat, hadis-hadis menentukan kadar zakat secara berbeda untuk jenis harta yang
berbeda-beda. Terhadap hasil pertanian ada dua kadar zakat. Kalau tanaman
tersebut diairi dengan air hujan atau air sungai maka zakatnya 10 % dari hasil
panen. Tetapi kalau tanaman tersebut diairi dengan disiram maka zakatnya turun
menjadi 5 % saja. Untuk hewan ternak, setiap 40 ekor kambing zakatnya satu ekor
kambing setahun; setiap 30 ekor sapi (kerbau) zakatnya satu ekor anak sapi berumur
dua tahun, sedang untuk sapi (kerbau) yang berjumah 40 ekor zakatnya tetap satu
ekor tetapi yang berumur 3 tahun lebih. Untuk emas zakatnya adalah 2,5 %.
Begitu juga hasil perdagangan zakatnya sama dengan emas yaitu 2,5 %. Zakat yang
paling besar adalah zakat harta rikaz, yaitu 20 %. Dari berbagai ketentuan
tentang kadar zakat ini, para ulama berusaha mencari `illat yang terkandung di
dalamnya, yang kesimpulannya lebih kurang sebagai berikut. Pekerjaan yang tidak
memerlukan modal, tidak memerlukan keahlian untuk mengerjakannya atau resiko
ruginya relatif kecil maka zakatnya relatif besar. Sebaliknya pekerjaan yang
memerlukan modal besar atau memerlukan keahlian yang relatif tinggi, atau
resiko gagal atau ruginya relatif besar, maka zakatnya menjadi relatif kecil.
Ke dalam kelompok pertama masuk hasil pertanian tadah hujan, dan harta rikaz.
Ke dalam yang kedua masuk zakat hewan ternak, zakat perdagangan dan uang
simpanan, serta zakat pertanian yang disiram atau dikerjakan secara intensif.
Berdasarkan jalan pikiran di atas maka kadar zakat untuk penghasilan dari
sektor jasa ditetapkan 2,5 % sama dengan zakat perdagangan atau emas simpanan
(uang atau barang tabungan). Penghasilan dari sektor jasa dianggap termasuk
kelompok pekerjaan yang memerlukan keahlian bahkan sebagiannya memerlukan
keahlian yang relatif sangat khusus. Dengan jalan pikiran ini juga dapat
dinyatakna bahwa zakat untuk usaha pertanian yang memerlukan modal besar dan
perawatan sangat intensif, seperti perkebunan besar (industri pertanian) maka zakatnya
akan turun juga menjadi 2,5 %.
Hadis-hadis juga menyebutkan bahwa
pada semua harta yang wajib dizakati itu ada persyaratan nisab (sebagai
pengecualian hanyalah harta rikaz, karena menurut sebagian ulama, harta rikaz
wajib dizakati betapapun jumlahnya). Nisab adalah batas minimal jumlah harta
(simpanan) atau jumlah penghasilan sebagai ukuran adanya kewajiban zakat. Jadi
kalau seseorang memperoleh harta di bawah batas nisab maka dia tidak akan
terkena zakat. Pada pertanian nisab tersebut adalah lima wasaq, pada kambing
dan domba 40 ekor, pada unta lima ekor, pada lembu dan kerbau 30 ekor, sedang
pada emas 20 dinar dan pada perak 200 dirham.
Walaupun jumlah nisab sudah
ditentukan untuk berbagai jenis harta, masih ada persoalan tentang cara
menghitungnya. Pada pertanian hadis menyatakan agar zakat dihitung pada waktu
panen dan ini dipahami bahwa nisab dihitung untuk setiap panen, seperti gandum,
padi, jagung, kentang atau kacang-kacangan (tanaman semusim). Tetapi untuk
tanaman keras yang umurnya lebih panjang dari satu masa panen, maka nisab
dihitung untuk masa satu tahun. Jadi kurma, anggur, langsat atau rambutan yang
berbuah sekali setahun maka nisab dihitung sekali setahun pada setiap musim
panen. Sedang tanaman yang masa panennya lebih dari sekali dalam setahun
seperti kopi dan kemiri, atau berbuah secara relatif terus menerus seperti
kelapa atau sawit, maka nisabnya dihitung dari hasil panen selama satu tahun.
Untuk hewan ternak, Hadis Rasulullah
menyatakan bahwa nisab dihitung untuk setahun, artinya dalam satu tahun hanya
kena zakat satu kali saja. Kalau pada tahun berikutnya jumlah ternak masih
berada di atas jumlah nisab maka zakatnya kembali dibayarkan. Begitu juga emas
atau perak, wajib dizakati kalau jumlahnya berada di atas nisab dan sudah disimpan
selama setahun. Berdasar ketentuan tentang nisab dalam berbagai jenis harta
ini, maka jumhur ulama menetapkan bahwa nisab penghasilan sektor jasa adalah
jumlah penghasilan selama satu tahun. Artinya kalau penghasilan seseorang
selama setahun telah mencapai jumlah nisab (20 dinar emas) barulah zakatnya
wajib dikeluarkan.
Dari ketentuan tentang kadar dan
nisab zakat yang ada di dalam hadis, dapat ditarik kesimpulan berikutnya, bahwa
harta yang dikenai zakat adalah seluruh hasil yang diperoleh dari usaha
tersebut. Biaya yang diperlukan untuk memperoleh hasil itu, begitu juga biaya
hidup selama melakukan pekerjaan tersebut, tidak akan dijadikan sebagai
pengurang atas harta yang akan dikenai zakat. Menggunakan aturan tentang zakat
pertanian tadi sebagai contoh, dapat disebutkan, ketika usaha pertanian menjadi
intensif dan bahkan padat modal maka penentuan zakat tidak dilakukan dengan
cara hasil panen dikurangi biaya produksi. Tetapi menurut hadis, kadar zakatnya
yang diturunkan dari 10 % menjadi 5 % sedangkan harta (penghasilan) kena
zakatnya tetap seluruh hasil panen. Tidak ada hadis sahih yang menyebutkan
bahwa biaya operasional atau biaya hidup petani sejak dari saat menanam sampai
panen dikurangi dari hasil panen dan baru setelah itu dihitung nisabnya. Berdasarkan
`illat dan jalan pikiran ini, dapat dinyatakan bahwa zakat harus dibayarkan
atas seluruh penghasilan (hasil bersih) dari sektor jasa, tidak dikurangi
dengan kebutuhan hidup terlebih dahulu.
Perlu disebutkan, sebagian ulama di
Indonesia menyatakan bahwa biaya hidup dan biaya kerja harus dikeluarkan
sebelum nisab dihitung. Dengan kata lain sesudah biaya hidup secara wajar
(dalam batas minimal) dan biaya kerja dikeluarkan, hasil atau panen atau gaji
tersebut tetap mencapai nisab, barulah zakatnya dikeluarkan. Tetapi kalau
sesudah dikeluarkan biaya hidup minimal dan biaya kerja sisa penghasilan tidak
lagi mencapai nisab maka zakat tidak wajib dikeluarkan. Kelihatannya pendapat
ini diambil dari mazhab Hanafi dan digabungkan dengan mazhab Syafi`i. Demikian
penulis katakan, karena di dalam mazhab Hanafi, tidak ada ketenuan nisab pada
zakat pertanian. Dengan kata lain, apabila hasil peranian suah lebih dari
kebutuhan sehari-hari maka wajib dikeluarkan zakatnya berapapun jumlahnya
(walaupun berada di bawah nisab). Karena dalam mazhab hanafi tidak ada
ketentuan nisab maka wajar sekiranya mereka menggunakan ukuan kebutuhan hidup
dan biaya kerja sebagai pengganti ukuran nisab tersebut.
Selanjutnya berdasarkan hadis
tentang nisab dan kadar zakat, serta harta yang dikecualikan dari kewajiban
zakat (misalnya Nabi menyatakan tidak dikenakan zakat atas hewan tunggangan,
tidak dikenakan zakat atas harta perhiasan), para ulama menyimpulkan bahwa
harta kekayaan yang digunakan sebagai peralatan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, seperti rumah untuk tempat tinggal dan perabotannya tidak dikenai
zakat. Begitu juga hewan tunggangan, kenderaan atau peralatan lain sebagai alat
dan perlengkapan kerja, juga tiak dikenai zakat. Hadis juga secara jelas
menyatakan bahwa emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan oleh orang
perempuan (dalam batas yang wajar sebagai perhiasan) tidak dikenai zakat.
Begitu juga berdasarkan hadis yang
menyatakan bahwa orang yang mempunyai (menyimpan, menabung) emas sebanyak 20
dinar wajib mengeluarkan zakatnya, maka para ulama menyimpulkan bahwa orang
yang menyimpan uang pun apabila nilainya sama (setara) dengan 20 dinar emas
atau 200 dirham perak wajib mengeluarkan zakatnya setiap tahun sebanyak 2,5 %.
Meneruskan pemahaman ini, uang kelebihan dari penghasilan sekiranya disimpan
sampai setahun maka wajib dizakati (kembali) karena telah berubah status dri
uang penghasilan menjadi uang simpanan .
Karena kemajuan zaman, maka emas
(uang, barang) tabungan pada masa sekarang menjadi lebih beragam dari masa
lalu, sebagiannya dalam bentuk uang (tabungan dan deposito), sebagiannya dalam
bentuk emas atau perak (batangan atau perhiasan) tetapi ada juga dalam bentuk
lainnya seperti tanah yang tidak diusahakan (tidak ditanami, tidak
menghasilkan). Semua harta kekayaan yang menjadi simpanan ini wajib dibayar
zakatnya sebanyak 2,5 % setahun, sama seperti zakat emas. Kesimpulan ini akan
terasa lebi kuat sekiranya dikaitkan dengna sebuah hadis Rasulullah, yang
meminta para wali anak yatim untuk mengembangkan harta anak yatim tersebut agar
harta itu tidak habis dimakan zakat. Maksudnya kalau harta dijadikan modal
usaha maka hasilnya yang dikenai zakat sedang modalnya tidak. Tetapi kalau
harta itu dibiarkan tersimpan sebgai tabungan sehingga tidak memberikan hasil
maka harta itu sendiri yang harus dizakati karena harta yang tidak diusahakan
dianggap ebagai tabungan.
Mengenai orang (kelompok, senif,
bulung) yang berhak menerima zakat pun di dalam Al-qur’an hanya disebutkan
secara umum; beberapa ayat menyatakan bahwa zakat diambil dari orang kaya dan
dibagi-bagikan kepada orang fakir (miskin), namun ada satu ayat yang secara
jelas menyebutkan orang-orang yang berhak menerima zakat (shadaqah) ada delapan
kelompok, yaitu fakir, miskin, `amil, mu’allaf, riqab, gharim, sabilillah dan
ibnu sabil (At-Tawbah 60). Tetapi penjelasan tentang makna dan cakupan
masing-masing kategori tersebut tidak dijalskan secara rinci oleh Rasulullah.
Selanjutnya, berbeda dengan jenis
harta yang kena zakat, serta nisab dan haul yang sebagian rinciannya ditemukan
di dalam hadis-hadis, maka mengenai tata cara pengelolaan zakat, cara
membagikannya, pengertian dan batasan dari kelompok-kelompok yang berhak
menerima tersebut, perbandingan perolehan, dan seterusnya relatif lebih sedikit
lagi hadis yang menerangkannya, sehingga persoalan pengelolaan dan
pendistribusian zakat tidak dapat dijelaskan sekiranya tidak dilakukan ijtihad
untuk mensistematisasi dan merincikannya.
Kewajiban
Zakat atas Penghasilan dari Sektor Jasa
Dalam kaitan dengan zakat penghasilan
dari sektor jasa, dapat kita sebutkan bahwa pada masa Rasulullah jenis atau
bentuk mata pencaharian relatif sangat terbatas, (secara umum hanyalah dari
bertani, berdagang, berternak dan mungkin di beberapa tempat ada sektor
perikanan); jadi berbeda sekali dengan keadaan sekarang dimana jenis mata
pencaharian dan pekerjaan menjadi sangat beragam, terutama sekali karena
kehadiran sektor jasa (orang yang bekerja karena mengandalkan keahlian atau
ketrampilan tertentu yang pada umumnya diperoleh setelah melalui tingkat
pendidikan tertentu); sebagian dari mereka bekerja secara bebas, dibayar oleh
pihak lain berdasarkan perjanjian lepas atas jasa yang mereka berikan seperti
jasa konsultasi dokter, pengacara, kontraktor dan sebagainya; sedang sebagian lagi
memperoleh penghasilan dari kedudukannya sebagai pegawai atau karyawan, baik
karena mengikat kontrak kerja dengan pemerintah ataupun dengan perusahaan atau
pihak swasta; mereka menerima bayaran atas jasa yang mereka berikan yang
disebut dengan berbagai nama seperti upah, honor, gaji, dan sebagainya.
Kegiatan ekonomi (termasuk di
dalamnya kegiatan yang sekarang kita sebut sebagai jasa seperti tukang tenun
dan tukang jahit, pandai besi dan pandai emas, tabib dan perawat) pada masa
Rasulullah dan Sahabat–bahkan beberapa abad sesudahnya, pada umumnya
dilaksanakan oleh para budak yang notabene dianggap sebagai “barang” yang
menjadi milik tuannya, sehingga tidak ada yang digaji. Dalam hal pekerjaan
tersebut dilaksanakan oleh orang yang merdeka yang bukan pemilik
barang/pekerjaan (misalnya perdagangan antar wilayah, seperti perdagangan dari
Mekkah/Madinah ke Syria atau Yaman), maka biasanya kerjasama diantara mereka
ditempuh dengan pola bagi hasil, bukan dengan pola diupah atau digaji.
Namun begitu ditemukan riwayat/hadis
bahwa ada sedikit orang yang bekerja sebagai buruh harian (borongan, misalnya
membajak tanah, menyiram tanaman atau memetik buah) pada masa Nabi. Kuat dugaan
upah yang mereka terima relatif kecil sehingga wajar sekiranya tidak dikaitkan
dengan kewajiban membayar zakat, karena cenderung tidak mencapai nisab. Begitu
juga ada riwayat di masa pemerintahan Khalifah Umar, beliau membuat sebuah
kebijakan menggaji para tentera dan petugas sebagai ganti dari diberi tanah
pertanian (feodal) untuk diusahakan seperti yang dilakukan pada masa Khalifah
Abubakar dan masa Rasulullah. Tetapi riwayat tentang gaji yang dibayarkan
Khalifah Umar ini terlalu sedikit yang sampai kepada kita, sehingga tidak kita
ketahui secara tepat berapa besarnya, bagaimana cara pembayarannya. Begitu juga
tidak ada riwayat apakah dikenakan zakat atau tidak.
Tetapi sekiranya kita gunakan
riwayat dari Imam Syafi`i yang di atas sudah kita kutip, zakat atas penghasilan
atau “tunjangan” (al-`ataha’) yang dibayar oleh negara (diambil dari harta
Baitul Mal) tidak dikenakan zakat pada masa Khulafa`ur Rasyidin. “Tunjangan”
atau penghasilan tersebut baru dikenai zakat pada masa Mu`awiyah bin Abi
Sufyan.
Persoalan lain yang lyak diuraikan,
dalam buku fiqih harta kena zakat dibedakan kepada dua jenis. Harta yang
diperoleh dari penghasilan disebut harta zahir ; zakat atas harta
jenis ini dihitung dan ditentukan oleh `amil (Baitul Mal). Sedang harta sisa,
yang sudah merupakan hata simpanan (tabungan) disebut harta batin;
zakat atas harta jenis ini dhitung dan ditentukan oleh pemilik, bukan oleh
`amil. Dengan kata lain, harta dibedakan menjadi harta zahir dan harta batin
hanyalah dalam hal penentuan besar zakatnya. Sedang mengenai pengelola zakatnya
(kepada siapa zakat harus dibayarkan), kedua jenis harta di atas (penghasilan
dan simpanan/tabungan) pada dasarnya wajib diserahkan kepada amil zakat
yang sah (Baitul Mal). Pembayaran langsung oleh muzakki kepada
mustahiq, tidak diizinkan kecuali ketika amil zakat yang sah
tidak ada atau tidak memenuhi
Beralih kepada masalah
pendistribusian zakat, dapat disebutkan bahwa diantara tujuan dan hikmah
kewajiban zakat adalah upaya mengeluarkan atau membebaskan orang dari
kemiskinan, sehingga mereka dapat hidup secara layak. Bahkan lebih dari itu
pemberian zakat diharapkan dapat menjadikan mereka sebagai orang kaya, sehingga
mengubah kedudukan mereka dari penerima zakat (mustahiq) menjadi
pembayar zakat (muzakki). Dalil tentang hal ini tidak perlu dituliskan
karena cukup banyak dan penulis rasa sudah cukup jelas kita ketahui.
Mengenai berapa besar zakat yang
dibagikan pada masa Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin, catatan (hadis dan
atsar) yang ada menyatakan bahwa uang Baitul Mal termasuk zakat di dalamnya,
yang dibagi-bagikan pada masa Rasulullah relatif besar sekali, sehingga ada
orang yang menerima sampai puluhan ekor unta (bahkan ada yang seratusan lebih,
satu ekor unta di Mekkah sekarang sekitar SR 60.000,-). Uang yang mereka terima
ini karena relatif besar jumlanya, tentu dapat dijadikan sebagai modal
sekiranya mereka ingin berusaha. Ada beberapa hadis yang menceritakan hal ini,
yang sebagiannya dapat dirujuk dalam kitab AL MUHALLA karangan Ibnu Hazm dan
kitab-kitab SUNAN yang memuat hadis tentang baytul mal atau tentang fay’.
Namun hadis-hadis ini sering diletakkan secara berpencar, sehingga untuk
mengumpulkannya perlu ketekunan khusus. Sebagai perbandingan atau contoh,
ketika Yahudi Bani Nazhir diusir secara damai dari Madinah Rasulullah
membagi-bagikan tanah kebun dan rumah mereka kepada orang miskin yang ada di
Madinah sehingga sesudah itu boleh dikatakan tidak ada lagi penduduk miskin di
kalangan muslim Madinah (dari kalangan Muhajirin dan Anshar), karena semua
mereka sudah mempunyai rumah dan tanah perkebunan (orang miskin sesudah ini
adalah mereka yang datang dari luar kota, yaitu mereka yang baru berhijrah).
Persoalan berikutnya, sesudah
Rasulullah wafat, pada awal pemerintahan Khalifah Abubakar, sebagian umat Islam
yang jauh dari Madinah enggan merngirimkan (membayarkan) zakatnya ke Madinah.
Ada yang betul-betul tidak mau membayar zakat dan ada yang masih membayar
tetapi kepada petugas lokal, bukan kepada amil yag dikirim Khalifah Abubakar.
Abubakar memerangi semua orang ini sampai mau kembali membayarkan zakat kepda
amil yang dikirim khalifah. Perang pertama yang dilancarkan Abubakar adalah
untuk memerangi orang-orang Islam (kelompok, suku) yang tidak mau membayarkan
zakat kepada amil yang ditugaskan Khalifah (terkenal dengan sebutan Perang
Riddah). Kenyataan ini barangkali dapat digunakan sebagai bukti tambahan bahwa
zakat pada dasarnya harus dibayarkan kepada petugas (`amil, lembaga) resmi yang
ditunjuk oleh pemerintah atau negara, tidak boleh dibagi-bagikan langsung oleh
muzakki kepada mustahik.
Masalah berikutnya, yang pantas
disebutkan karena masih berkaitan, pada masa Umar terjadi perluasan wilayah
yang spektakuler, berhasil membebaskan seluruh daerah Syam, Mesir, Irak serta
Iran (Persia). Tanah pertanian di daerah Syam dan Mesir dirampas oleh negara
dan dibagikan kepada orang-orang yang berperang sebagai rampasan perang (ghanimah,
fay’), mengikuti praktek yang terjadi pada masa Rasulullah. Sedang tanah
pertanian di Irak karena sangat luas, Umar tidak mau membaginya mengikuti
aturan ghanimah seperti yang sudah dilakukan pada tanah Syam dan Mesir
yang tidak terlalu luas itu. Umar menjadikan tanah pertanian di Irak ini
sebagai tanah negara (Baitul Mal), dan menyerahkan penggarapannya kepada
pemilik lama dengan cara bagi hasil (dimawahkan). Hasil yang menjadi
bagian (milik) negara dari bagi hasil ini dibagi-bagikan kepada para tentera
(sebagai gaji) dan juga kepada orang-orang miskin, seperti pembagian zakat.
Umar sebagi khalifah beralasan,
sekiranya tanah ini dibagi-habiskan kepada orang yang berperang atau orang
miskin muslim yang ada pada saat itu, maka mereka akan menjadi kaya mendadak
bahkan sangat kaya (karena tanah ini sangat luas, maka setiap orang akan
mendapat pembagian tanah pertanian atau kebun sampai belasan bahkan puluhan
hektar, dan pada gilirannya akan menjadikan mereka sebagai orang kaya baru
dengan jumlah kekayaan yang besar sekali). Sedang orang miskin yang muncul pada
generasi kedua dan seterusnya akan tetap miskin dan tergantung pada zakat orang
kaya baru tadi, karena tidak ada lagi tanah yang akan dibagikan kepada mereka.
Umar merasa sekiranya tanah yang sangat luas ini dibagikan kepada orang yang
berperang dan kaum muslimin yang miskin yang ada di sana, seperti pembagian
tanah Bani Nadhir pada masa Rasulullah ataupun pembagian tanah pertanian di
wilayah Syam dan Mesir, maka pembagian ini tidak sesuai dengan tujuan Islam.
Pembagian tanah yang amat luas ini akan melahirkan orang kaya bahkan sangat
kaya sampai beberapa generasi, karena mereka ini nanti akan mewariskan
kekayaannya kepada keturunannya. Sedang negara tidak akan mempunyai pemasukan
yang besar dan karena itu tidak akan mampu membiayai tentera yang sangat
diperlukan untuk menjaga ketertiban di wilayah yang amat sangat luas tersebut.
Dan begitu juga negara tidak mempunyai cukup kekayaan untuk membantu orang
miskin, karena jumlah zakat yang diperoleh relatif kecil dan sedikit
dibandingkan dengan hasil dari tanah pertanian Irak yang amat luas tersebut.
Karena itu Umar menyampaikan gagasan agar tanah ini tetap menjadi milik umat
Islam secara bersama, dikelola oleh negara (pemerintah) dan hanya hasilnya yang
dibagikan kepada para tentera dan pegawai lainnya, serta orang miskin generasi
demi generasi.
Pada awalnya gagasan ini ditentang
oleh beberapa Sahabat, terutama Abdurrahman bin `Auf dan Bilal bin Rabah,
tetapi diterima oleh beberapa Sahabat lain semisal Abu Dzar al-Ghifari dan Ali
bin Abi Thalib. Demikian berat penentangan sebagian Sahabat ini sampai-sampai
Umar pernah berdo`a, ”Ya Allah lindungi kami dari mulut dan tudingan Bilal.”
Mungkin karena Umar adalah Khalifah, maka dia agak leluasa menjalankan gagasan
tersebut dan para Sahabat yang beropposisi tidak mempersoalkannya secara
berkepanjangan. Pada masa belakangan pendapat/praktek Khalifah Umar ini
diterima oleh para ulama mazhab diakui kebenarannya dan kejeniusannya. Namun
tetap ada sebagian kecil ulama yang menolak dan menganggapnya bertentangan
dengan praktek Rasulullah.
Tanah pertanian Irak yang berasal
dari perluasan wilayah yang tidak dibagikan ini di dalam sejarah dikenal dengan
nama Al Ardhu-s Sawad (Tanah hitam yang subur).
Baitul Mal
sebagai Pengelola Zakat di Aceh
Dalam Qanun Aceh Nomor 10, dalam
Pasal 1 ditemukan ketentuan sebagai berikut:
Angka 11, Baitul Mal adalah
Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan
mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat
serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan / atau hartanya
serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan
Syari`at Islam.
Angka 13, Unit Pengumpul Zakat
yang selanjutnya disebut UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh Baitul
Mal Aceh dan Kabupaten/Kota dengan tugas mengumpulkan zakat para muzakki pada
instansi pemerintah dan lingkungan swasta.
Angka 14, Zakat adalah bagian
dari harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan (koorporasi)
sesuai dengan ketentuan Syariat Islam untuk disalurkan kepada yang berhak
menerimanya di bawah pengelolaan Baitul Mal.
Angka 23, Pengelolaan harta Agama
adalah serangkaian kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pemeliharaan,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap penetapan, pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan oleh Baitul Mal.
Dari ketentuan di atas dapat
diketahui bahwa tugas Baitul Mal pada dasarnya mencakup tiga hal yaitu (1(
mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf dan harta agama lainnya (2) menjadi
wali dan wali pengawas bagi anak yatim piatu dan juga bagi harta mereka (anak
yatim), dan (3) pengelola harta warisan yang tidak ada atau tidak diketahui
keberadaan ahli warisnya. Sedang pengelolaan dinyatakan sebagai serangkaian
kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pemeliharaan, serta
pelaksanaan dan pengawasan. Rangkaian kegiatan ini diperlukan pada pengumpulan
zakat dan pendistribusiannya. Untuk melakukan pekerjaan tersebut Baitul Mal
Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat pada
setiap instansi pemerintah dan swasta yang akan bertugas mengumpulkan zakat di
instansi tersebut. Zakat ini setelah mereka kumpulkan harus disetor ke Baitul
Mal Aceh atau Kabupaten/Kota sesuai dengan hirarkinya. Jadi UPZ hanya bertugas
mengumpul zakat dan tidak berwenang membaginya.
Mengenai tingkatan Baitul Mal, Qanun
Aceh Nomor 10 di atas mengaturnya sebagai berikut:
Pasal 10
- Baitul Mal Aceh sebagaimana
dimaksud pada Pasal 4 berwenang mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan:
- Zakat Mal pada tingkat Provinsi
meliputi: BUMN, BUMD Aceh dan perusahaan swasta besar;
- Zakat Pendapatan dan
Jasa/Honorarium dari:
- Pejabat/PNS/TNI-POLRI, Karyawan
Pemerintah Pusat yang berada di Ibukota provinsi;
- Pejabat/PNS/karyawan lingkup
Pemerintah Aceh;
- Pimpinan dan anggota DPRA;
- Karyawan BUMN/BUMD dan
perusahaan swasta besar pada tingkat Provinsi; dan
- Ketua, anggota dan karyawan
lembaga dan badan daerah tingkat provinsi
- Harta agama dan harta wakaf
yang berlingkup provinsi.
- Membentuk Unit Pengumpul Zakat
(UPZ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang ditetapkan
dengan keputusan Baitul Mal Aceh.
- Meminta laporan secara priodik
setiap 6 (enam) bulan dari Baitul Mal Kabupaten/Kota.
- Melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap kegiatan Baitul Mal Kabupaten/Kota.
Pasal 11
- Menyampaikan laporan dan
pertanggung-jawaban secara priodik setiap 6 (enam) bulan kepada Gubernur.
- Menginformasikan
pertanggung-jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat.
Pasal 12
- Baitul Mal Kabupaten/Kota
sebagiamana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang mengumpulkan, mengelola dan
menyalurkan:
- Zakat mal pada kabupaten/kota
meliputi BUMD dan Badan Usaha yang berklasifikasi menengah;
- Zakat pendapatan dan
jasa/honorarium dari:
- Pejabat/PNS/TNI POLRI, karyawan
pemerintah Pusat/Pemerintah Aceh pada tingkat kabupaten/kota;
- Pejabat/PNS/karyawan lingkup
Pemerintah Kabupaten/Kota;
- Pimpinan dan anggota DPRK;
- Karyawan BUMN/BUMD dan
perusahaan swasta yang berada pada tingkat kabupaten/kota;
- Zakat sewa rumah/pertokoan yang
terletak di kabupaten/kota;
- Harta agama dan harta wakaf
yang berlingkup kabupaten/kota.
- Membentuk Unit Pengumpul Zakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang ditetapkan dengan
keputusan Baitul Mal Kabupaten/Kota.
- Meminta laporan secara priodik
setiap 6 (enam) bulan dari Baitul Mal Kemukiman dan Gampong atau nama
lain.
- Melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap kegiatan Baitul Mal Kemukiman dan Gampong atau nama
lain.
Pasal 13
- Menyampaikan laporan dan
pertanggung-jawaban secara priodik setiap 6 (enam) bulan kepada
Bupati/Walikota.
- Menginformasikan
pertanggung-jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat.
Pasal 16
- Baitul Mal Gampong atau nama
lain berwenang mengelola, mengumpulkan dan menyalurkan:
- Zakat fitrah di lingkup gampong
yang bersangkutan;
- Zakat hasil perdagangan/usaha
kecil, hasil pertanian, hasil peternakan, hasil perikanan, dan hasil
perkebunan dari masyarakat setempat;
- Zakat emas dan perak; dan
- Harta agama dan harta wakaf
dalam lingkup gampong atau nama lain.
- Menyelenggarakan tugas-tugas
perwalian.
Pasal 17
- Menyampaikan laporan dan pertanggung-jawaban
secara priodik setiap 6 (enam) bulan kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
- Menginformasikan
pertanggung-jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat.
Ketentuan di atas relatif sudah
cukup jelas, karena itu komentar hanya diberikan atas dua hal. Pertama, zakat
yang dikelola oleh masing-masing Baitul Mal–sesuai tingkatannya, relatif sudah
dijelaskan secara rinci, sehingga tidak akan tumpang tindih lagi. Namun begitu
karena adanya penggunaan istilah yang kurang tepat maka mungkin saja muncul
keraguan. Diantara zakat yangmenjadi kewenangan Baitul Mal Gampong adalah zakat
hasil perdagangan/usaha kecil. Istilah ini mungkin akan menimbulkan keraguan
dengan zakat badan usaha menengah yang menjadi kewenangan Baitul Mal
Kabupaten/Kota. Dalam Qanun Aceh sebelumnya digunakan istilah yang lebih lugas
yaitu, zakat hasil perdagangan yang bersifat individual (bukan badan hukum)
dikelola oleh Baitul Mal Gampong, sedang zakat hasil perdagangan atau usaha
yang berbentuk perusahaan (badan hukum) seluruhnya dikelola oleh Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
Kedua, zakat atas sewa rumah dan
pertokoan yang terletak di kabupaten/kota menjadi kewenangan Baitul Mal
Kabupaten/Kota. Menurut penulis redaksi ketentuan ini relatif masih belum jelas
benar. Apa yang dimaksud dengan “rumah dan pertokoan yang terletak di
kabupaten/kota?” Apakah yang dimaksud adalah rumah dan pertokoan yang terletak
di ibukota kabupaten, sedang zakat atas sewa rumah dan pertokoan yang tidak
terletak di ibukota kabupaten menjadi kewenangan Baitul Mal Gampong? Lalu
bagaimana rumah yang terletak di “kota” misalnya Kota Subulussalam, apakan
zakat seluruh rumah dan pertokoan di kota ini dipungut oleh baitul Mal Kota?
Penulis merasa aturan ini agak sulit dilaksankan. Akan lebih mudah sekiranya
zakat sewa rumah dan pertokoan ini seluruhnya diserahkan menjadi kewenangan
Baitul Mal Gampong.
Adapun keweangan Baitul Mal di luar
zakat tidak penulis komentari, karena berada di luar lingkup tulisan ini.
Harta Kena
Zakat dalam Qanun Aceh
Beralih kepada jenis harta dan
penghasilan yang wajib dizakati dalam Qanun Aceh (Qanun Nomor 10 tahun 2007),
dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan ada tiga jenis zakat yaitu: zakat fitrah,
zakat harta dan zakat penghasilan. Sedang jenis harta yang wajib dizakati disebutkan
dalam ayat (2) yang terdiri dari:
- emas perak, logam mulia lainnya
dan uang;
- perdagangan dan perusahaan;
- perindustrian;
- pertanian, perkebunan dan
perikanan;
- peternakan;
- Pertambangan;
- pendapatan dan jasa;
- rikaz.
Adapun harta lain yang tidak termasuk
dalam salah satu jenis harta di atas, kewajiban zakatnya akan ditetapkan dengna
fatwa MPU Aceh.
Mengenai kadar, nishab dan haul
zakat mal diatur dalam Pasal 19 ayat (1), sebagai berikut:
- emas, perak, logam mulia dan
uang yang telah mencapai nishab 94 gram emas yang disimpan selama setahun,
wajib zakatnya 2,5 % pertahun;
- harta perdagangan, perusahaan
dan perindustrian yang telah mencapai nishab 94 gram emas pertahun, wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % dari jumlah keuntungannya;
- Hasil pertanian dan perkebunan
yang telah mencapai nishab 5 wasaq (seukutan 6 gunca padi = 1200 kg padi0
wajb dikeluarkan zakatnya sebesar 5 % untuk setiap panen yang diolah
secara intensif dan 10% untuk setiap panen yang diolah secara tradisional;
- Hewan ternak kambing atau
sejenisnya yang telah mencapai nishab 40 ekor, wajib dikeluarkan zakatnya
sebanyak satu ekor pertahun;
- Hewan ternak sapi, kerbau atau
sejenisnya yang telah mencapai nisab 30 ekor wajib dikeluarkan zakatnya
sebanyak satu ekor pertahun;
- Barang tambang yaqng hasilnya
mencapai nisab 94 gram emas, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 5
untuk setiap produksi/temuan.
- Pendapatan dan jasa yang telah
mencapai nishab senilai 94 gram emas setahun, wajib dikeluarkan zakatnya
sebesar2,5 % dan
- Rikaz yang telah mencapai
jishab senilai 94 gram emas, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 20% untuk
setiap temuan.
Mengenai pembayaran, dalam ayat (3)
disebutkan bahwa pembayaran zakat pendapatan dari sektor jasa dapat dicicil
setiap bulan, atau setiap saat diterima.
Seperti terlihat di atas, Qanun Aceh
menetapkan nisab emas, perak, logam mulia dan uang adalah setara dengan harga
94 gram emas. Ketentuan ini sedikit berbeda dengan ketentuan yang ada dalam
hadis dan buku-buku fiqih. Dalam hadis nisab perak ditetapkan secara
tersendiri, yaitu 200 dirham. Menurut riwayat harga 200 dirham perak pada masa
Rasulullah sama dengan harga 20 dinar emas. Tetapi pada masa sekarang harga
perak jauh lebih rendah dari harga emas, sehingga dua takaran di atas tidak
lagi sejajar. Mungkin karena pertimbangan perak tidak lagi digunakan untuk
menentukan nilai uang seperti emas, dan juga karena perak tidak banyak
digunakan (disimpan) di tengah masyarakat Aceh, maka nisab zakat perak dalam
qanun ini disamakan saja dengan nisab zakat emas. Sedang mengenai zakat
perusahaan, yang wajib mereka bayar adalah sebesar 2,5 % dari keuntungan
setahun, apabila modal perusahaan tersebut setara dengan harga 94 gram emas
murni atau lebih. Jadi nisabnya dihitung berdasarkan modal yang ditanam atau
diputar, sedang harta yang wajib dizakati hanyalah laba, tidak termasuk
modalnya.
Mengenai penghasilan dari sektor
gaji (jasa), para ulama kontemporer cenderung berpendapat bahwa penghasilan
setahun yang setara dengan 20 dinar emas (sebanyak 94 gram emas murni) atau lebih,
wajib dikelu-arkan zakatnya sejumlah 2,5 persen. Zakat ini wajib dibayarkan
pada akhir tahun, setelah semua penghasilan diterima. Namun untuk lebih
memudahkan, terutama sekali karena jumlah yang diterima tidak sama setiap
minggu/bulannya, dan kalau dibayar diakhir tahun akan sangat memberatkan bisa
mencapai 30 % dari gaji satu bulan, maka dianjurkan untuk membayarkannya
langsung pada setiap kali menerima penghasilan (bagian dari penghasilan).
Pembayaran pada setiap menerima gaji/upah ini dilakukan “dimuka” setelah ada
perkiraan bahwa penghasilan setahun akan mencapai nisab.
Adapun mengenai sisa harta yang
tidak habis dikonsumsi, biasanya akan kita tabung, baik langsung dalam bentuk
uang (deposito di bank atau emas) atau kita konversikan ke bentuk lain seperti
tanah, rumah, dsb. Zakat atas tabungan atau simpanan ini wajib dikeluarkan
sebanyak 2,5 % setiap tahun apabila nilai simpanan tersebut setara dengan harga
94 gram emas murni. Zakat simpanan berbeda dengan zakat penghasilan, karena
zakat simpanan adalah zakat atas uang atau harta kekayaan yang disimpan (karena
tidak habis dikonsumsi). Sedang zakat penghasilan adalah zakat yang kita
bayarkan atas penghasilan/pendapatan karena melakukan sesuatu pekerjaan atau
keuntungan yang kita peroleh dari sesuatu kegiatan usaha.
Pendayagunaan
Zakat
Dalam Qanun Aceh Nomor 10 di atas,
tentang pendayagunaan dan pendistribusian zakat diatur sebagai berikut:
Pasal 29
- Zakat didayagunakan untuk
mustahik baik bersifat produktif maupun konsumtif berasarkan ketentuan
syari`at.
- Mustahik zakat usaha produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- adanya suatu jenis usaha
produktif yang layak;
- bersedia menerima petugas
pendamping yang berfungsi sebagai pembimbing/ penyuluh; dan
- bersedia menyampaikan laporan
usaha secara periodik setiap 6 (enam) bulan.
- Tatacara pendayagunaan zakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Baitul Mal
Aceh.
Dari ketentuan di atas terlihat
bahwa Qanun Aceh memberi izin penyaluran zakat kepada para mustahiknya secara
konsumtif dan produktif. Kebolehan penyaluran dengan salah satu dari dua cara
tersebut oleh qanun tidak diatur secara rinci, tetapi dikembalikan kepada
aturan syari`at. Dengan demikian Baitul Mal perlu menyusun pedoman dan metode
penyaluran zakat, terutama sekali zakat yang akan disalurkan secara produktif.
Di dalam kitab fiqih mazhab, gagasan
tentang pembagian zakat secara produktif memang tidak ditemukan, sama seperti
tidak ditemukannya uraian tentang amil yang permanen, karena uraian tentang
pembagian zakat di kalangan mazhab cenderung dianggap sebagai kegiatan sporadis
dan temporer. Pengamalan zakat pada masa itu lebih ditujukan sebagai kegiatan
untuk menunaikan kewajiban (imtitsal) daripada kegiatan berkesinambungan
untuk menjadikan orang-orang keluar dari kemiskinan bahkan mengubah mereka
menjadi kaya.
Sekiranya keadaan di atas dibawakan
ke keadaan kita sekarang, maka sebetulnya tidak ada alasan kuat untuk menolak
pendistribusian zakat secara produktif selama dapat dibuktikan bahwa cara itu
lebih baik dari pembagian yang bersifat konsumtif. Dapat dikatakan, praktek
memberikan uang zakat (Baitul Mal) dalam jumlah besar kepada mustahiq sehingga
dapat digunakan sebagai modal, sudah ditemukan sejak masa Rasulullah sendiri. Sedang
landasan atau dalil untuk menjadikan uang (barang) milik baitul mal yang
seharusnya dibagikan menjadi milik pribadi, tetapi tetap ditahan sebagai milik
umum (umat) dan hanya hasilnya yang dibagikan kepada para mustahiq telah
dilakukan di masa Umar dan diterima pada masa sesudahnya hampir secara
aklamasi.
Perubahan pendistribusian zakat dari
pola konsumtif ke pola pruduktif menurut penulis sama saja dengan upaya
mengubah pola pikir yang menetapkan adanya kewajiban zakat pada penghasilan
dari sektor jasa yang sebelumnya tidak diterima oleh sebagian ulama, namun
diterima dan bahkan dikembangkan oleh mayoritas ulama. Namun dalam kasus kita
dia Aceh, ada perbedaan yang perlu diingat, kewajiban zakat atas penghasilan
dari sektor jasa sudah diwajibkan oleh Qanun Aceh secara jelas dan tegas,
sedang izin pembagian zakat secara produktif oleh Baitul Mal belum diatur
secara jelas. Qanun hanya menyatakan bahwa zakat yang terkumpul oleh Baitul Mal
(penghasilan dan tabungan) harus dibagikan kepada senif yang delapan, yang
sudah disebutkan di dalam Al-qur’an.
Karena itu tugas amil pada masa
sekarang (Baitul Mal) menurut penulis adalah membuktikan secara nyata bahwa
pembagian zakat secara produktif adalah lebih baik dari pembagian zakat secara
konsumtif; dan uang zakat yang ditahan (yang dijadikan modal dan dibagikan
secara bergulir kepada para mustahiq) dapat dijaga dengan baik, sehingga
selamat dari penyelewengan dan tetap menjadi milik umat (milik orang miskin)
yang akan dipergilirkan diantara mereka sampai semua mereka menjadi kaya atau
keluar dari kemiskinan. Uang zakat yang dipergulirkan ini (yang dikelola secara
produktif) harus dapat dijaga tetap menjadi uang (harta) milik para mustahiq
zakat (fakir dan miskin), tidak akan diselewengkan menjadi milik orang kaya atau
orang yang tidak berhak menerima zakat.
Kalau Baitul Mal tidak sanggup
menjaga harta zakat dengan baik, tidak dapat menjamin bahwa yang berhak
menerima zakat secara produktif tersebut adalah orang fakir atau miskin, maka
pendistribusian zakat secara produktif jelas tidak dapat diterima, sama seperti
tidak dapat diterimanya pembagian zakat secara konsumtif yang salah sasaran.
Demikian makalah ini penulis
sampaikan, wallahu a`lam bish shawab, semoga Allah memberikan hidayah
dan keberanian kepada kita untuk mencari kebenaran, untuk menerimanya dan
memperbaikinya kembali sekiranya ditemukan kebenaran yang lebih baik dan lebih
baik lagi. Kepada Allah kita berserah diri dan kepada Nya pula kita mohon
hidayah dan perlindungan. Amin.
(Makalah
ditulis atas permintaan Baitul Mal Provinsi untuk acara Rapat Kerja dan
Bimbingan Teknis Baitul Mal Kabupaten / Kota se Aceh, Banda Aceh 28 s/d 30 Juli
2009 M bertepatan 6 s/d 8 Sya`ban 1430 H.)
Daftar
kepustakaan:
Badan Amil Zakat Nasional, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, BAZNAS,
Jakarta, 2001.
Baitul Mal Aceh, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun2007 dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007,
Baitul Mal Aceh, Banda Aceh, 2008.
Biro Hukum dan Humas Setda Prov. NAD,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan
Aceh, Biro Hukum dan Humas Setda Prov. NAD, Banda Aceh, 2006.
Said Sabiq., As, Fiqh-us Sunnah,
Dar-ul Fath, Kairo, cet. 2, 1999 (empat jilid).
Syafi`i., Muhammad bin Idris Asy, Al-Um,
Dar-ul Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. 1, 1993 (sembilan jilid).
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam
Kontemporer, Cakrawala, Yogyakarta, cet, 1, 2006.
Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat
untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua,
memiliki kekuatan
ingatan; ketiga, memiliki kekuatan
hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut
menjadi sebuah tulisan.
FALSAFAH SEBAGAI PENJELASAN HIDUP ( BUYA HAMKA )
Biografi Buya Hamka
Buya Hamka lahir tahun 1908, di
desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli
1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi
HAMKA.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau
yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami,
atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Syekh Abdul
Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor
Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun
1906.
HAMKA (1908-1981), adalah akronim
kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah
seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam
Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau,
Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau
dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di
Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA mendapat pendidikan
rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA
mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang
Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga
pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama
terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M.
Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai
guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di
Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di
Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari
tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor
Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari
tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh
Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno
menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik
Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah,
sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya
yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur
Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti
dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana
Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund
Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga
rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta
seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan
Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi
seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan
Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah
mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di
Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di
Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah
Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di
Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah
di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan
Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres
Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih
sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama
Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama
Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena
nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik HAMKA bermula
pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam.
Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke
Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan.
Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional,
Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato
utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh
pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA
telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa
dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya
ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli
Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji
Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal
keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan
penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar
seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.
Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun
1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA
juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan
Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya
ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah
terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang
mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura
termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan
Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa
anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan
Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas
Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno
daripada pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke
rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga
kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai
seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di
seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Kebijakan
Pemerintah Di Bidang Pemberdayaan Zakat
Pendahuluan
Baitul Mal Provinsi meminta penulis
menyampaikan makalah degan judul seperti tertera di atas. Untuk itu ada
beberapa penjelasan yang ingin disampaikan. Pertama, istilah Pemerintah dalam
judul di atas digunakan untuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Dengan
demikian kebijakan yang akan dibicarakan akan mencakup ketentuan yang ada dalam
peraturan tingkat nasional sebagai kebijakan pemerintah pusat dan ketentuan
yang ada dalam peraturan daerah dalam hal ini Qanun Aceh dan Peraturan Gubernur
Aceh sebagai kebijakan Pemerintah Aceh. Sedang uraian mengenai pemberdayaan
akan meliputi kewajiban zakat dan pendistribusian zakat baik secara konsumtif
ataupun secara produktif serta pengelolaannya secara umum.
Mengenai dasar hukum kewenangan
Pemerintah Aceh untuk mengelola zakat, ditemukan dalam UU Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai berikut:
Pasal 191
- Zakat, harta wakaf, dan harta
agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan baitul Mal kabupaten/kota.
- Ketetnuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan ketetnuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
qanun.
Pasal 192
Zakat yang
dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang
dari wajib pajak.
Sedang dalam Pasal 180 ayat (1)
disebutkan bahwa zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
untuk Provinsi Aceh dan juga untuk kabupaten/kota se Aceh. Untuk menjabarkan
ketentuan ini Pemerintah Aceh telah menerbitkan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun
2007 tentang Baitul Mal, yang akan diuraikan di bawah nanti.
Lebih dari itu, agar menjadi lebih
komprehensif dan dapat memberikan wawasan yang lebih luas, maka tulisan ini
dilengkapi juga dengan tuntunan Islam mengenai kewajiban zakat, pengelolaan zakat
serta hikmah dan tujuan penunaiannya. Uraian tentang tuntunan Islam ini akan
diletakkan di bagian awal dan setelah itu diikuti dengan uraian mengenai
kebijakan pemerintah dalam bidang yang telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian sistematika tulisan
ini akan terdiri atas pendahuluan, kewajban dan harta kena zakat, mustahiq
zakat dan pengelolaan zakat yang ke dalamnya termasuk keberadaan badan
pengelolanya, menurut syari`at dan fiqih. Setelah ini diikuti dengan ketentuan
dalam peratuan perundang-undangan baik pada tingkat nasional ataupun lokal,
termasuk tertib administrasi, serta pendistribusiannya baik secara konsumtif
ataupun produktif. Setelah ini akan diakhiri dengan penutup, yang berisi
kesimpuan dan saran.
Kewajiban
Zakat dalam Al-qur’an dan Hadis
Perintah (kewajiban) membayar zakat
disebutkan secara jelas di dalam Al-qur’an dan sunnah Rasulullah. Perintah
zakat dalam Al-qur’an, yang disebutkan beriringan dengan kewajiban mendirikan
shalat ditemukan sebanyak 33 kali. Sedang perintah membayar zakat yang tidak
diiringkan dengan shalat, atau disampaikan dengan kata yang lain, seperti
perintah untuk membayar infaq atau shadaqah,
ditemukan lebih dari 40 kali. Begitu juga perintah mendirikan shalat yang tidak
beriringan dengan zakat ditemukan lebih dari 40 kali. Dengan demikian tidaklah
berlebih-lebihan sekiranya dikatakan bahwa di dalam Al-qur’an, perintah
membayar zakat disebutkan sama banyak dengan perintah mendirikan shalat
(sekitar 70 kali).
Ayat-ayat tentang kewajiban zakat
seperti disebutkan di atas, boleh dikatakan semuanya bersifat umum, mencakup
semua jenis harta (simpanan, tabungan) dan semua jenis penghasilan (pertanian,
peternakan, perdagangan, jasa, industri, kontraktor, dsb). Misalnya At-Tawbah
103 bermakna lebih kurang ([Wahai para penguasa/pemimpin] ambil dari harta
mereka [kaum muslimin] shadaqah [zakat] untuk membersihkan dan mensucikan
mereka …); Adz-Dzariyat 19 dan Al-Ma`arij 25 bermakna lebih kurang (Dalam
harta mereka ada hak orang yang meminta dan tidak berpunya). Perintah berinfaq, yang
sebagiannya dipahami mencakup pembayaran zakat, diperintahkan terhadap semua
jenis penghasilan, misalnya Al-Baqarah 254 (Wahai orang yang beriman
berinfaqlah (nafkahkanlah sebagai zakat) sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepadamu, sebelum datang Hari (Kiamat) manakala tidak ada jual beli, tidak ada
persahabatan, dan tidak ada perantaraan …) dan Al-Baqarah 267 (Wahai
orang beriman nafkahkanlah (sebagai sedekah dan zakat) sebagian yang baik-baik
dari pernghasilanmu, dan sebagian dari hasil-hasil yang Kami keluarkan dari
bumi untukmu …). Perintah yang lebih umum lagi ditemukan dalam banyak ayat
seperti Al-Baqarah 43, 83, dan 110, serta An-Nisa’ 77, yang maknanya lebih
kurang; (Tegakkan shalat dan tunaikan zakat [oleh kamu sekalian]). Bentuk
lain yang hampir sama kita temukan juga dalam banyak ayat antara lain At-Tawbah
71, (Mereka mendirikan shalat dan menuanikan zakat).
Ayat lain yang menjelaskan zakat
adalah mengenai orang yang berhak menerimanya, yaitu At-Tawbah 60 yang maknanya
lebih kurang: Sedekah (zakat) hanyalah bagi para fakir, para miskin, para
`amil, para mu’allaf, dan bagi mereka yang diperhamba, bagi mereka yang mandi
hutang, bagi mereka yang berjuang di jalan Allah, dan orang yang terlantar
dalam perjalanan. Demikian diwajibkan Allah, dan Allah Maha Tahu, Maha
Bijaksana.
Adapun penjelasan dan pembatasan
tentang jenis harta dan penghasilan yang terkena zakat, begitu juga nisab
(batas minimal harta kena zakat) dan kadar (jumlah harta yang wajib dibayarkan
sebagai zakat) berasal dari sabda Rasulullah dan praktek yang terjadi pada masa
Rasulullah (Sunnah Rasulullah) dan Sahabatnya. Tetapi penjelasan dan rincian
ini tidaklah dalam bentuk yang jelas dan lengkap, sehingga harus ditafsirkan,
disusun dan ditata terlebih dahulu. Dengan demikian peluang dan bahkan
keharusan untuk ijtihad menjadi relatif besar dan luas. Lebih dari itu
hadis-hadis ini juga memuat keterangan tentang hikmah dan pahala dari penunaian
zakat dan berbagai hal lain di seputar zakat, yan sekiranya dikelompokkan dapat
dipilah menjadi tujuh hal utama sebagai berikut.
Kelompok pertama hadis-hadis yang
menjelaskan kewajiban zakat, pahala yang akan diperoleh serta hikmah dan
manfaat dari pembayaran zakat. Kelompok kedua hadis yang menjelaskan jenis
harta kena zakat, kelompok ketiga menjelaskan nisab (batas minimal harta kena
zakat), kelompok keempat menjelaskan kadar zakat (jumlah harta yang dibayarkan
sebagai zakat). Kelima menjelaskan kelompok masyarakat (orang) yang berhak
menerima zakat, kelompok keenam tentang tata cara pembayaran dan pembagian
(pengelolaan) zakat dan kelompok ketujuh tentang zakat fitrah. Dalam kitab Fath-ul
Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, ditemukan 118 hadis di bawah judul Kitab-uz
Zakat, (Jilid IV, hlm 3 s/d 151, nomor 1395 s/d 1512). Walaupun jdulnya adalah
”Kitab tentang Zakat”, tidaklah seluruh hadis disini menjelaskan zakat.
Sebagian daripadanya menjelaskan sedekah dalam arti umum. Lebih setengah dari
hadis-hadis ini menjelaskan anjuran untuk berzakat dan bersedekah, serta pahala
dan manfaatnya, begitu juga celaan untuk orang yang enggan melakukannya.
Mengenai jenis harta serta nisab dan kadar zakat misalnya, Imam al-Bukhari
hanya memasukkan (mengakui) beberapa hadis tentang zakat petanian, zakat ternak
dan zakat perak (simpanan). Hadis tentang zakat perdagangan dan rikaz tidak
ditemukan di dalam himpunan hadis Imam Al-Bukhari ini.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
pembatasan tentang jenis dan persyaratan harta dan penghasilan zakat yang
ditemukan di dalam hadis-hadis Rasulullah itu tidaklah bersifat mutlak,
sehingga cenderung diperluas mengikuti perbedaan tempat, waktu dan keadaan
(mata pencaharian penduduk), sesuai dengan kaidah-kaidah ushul fiqih dan
pertimbangan kemaslahatan yang dirasakan oleh para imam mujtahid tersebut.
Sebagai conto, sekiranya kita membuka buku Fiqh-us Sunnah karangan Said
Sabiq (Bab/Kitab Zakat), akan terlihat tidak semua bidang atau masalah zakat
ada dalilnya yang langsung dari hadis-hadis Rasulullah. Tentang zakat pertanian
misalnya, Said Sabiq secara jelas menyatakan bahwa pada masa Rasululah hasil
pertanian yang dizakati hanyalah gandum, jelai, kurma dan anggur. Adapun hasil
pertanian lainnya, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan tidak dizakati pada
masa Rasulullah (Said Sabiq, jilid 1, hlm 407 dst.). Imam Syafi`i dalam Kitab
al-Um tentang zakat perdagangan mencantumkan sebuah riwayat bahwa Khalifah
Umar mengambil zakat atas barang yang akan diperdagangkan. Setelah itu beliau
juga mengutip riwayat bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan
petugasnya untuk meungut zakat atas barang yang akan diperdagangkan apabila
telah mencapai nisab (Al-Um, jilid dua, hlm. 63). Yang menarik dari riwayat
ini, beliau tidak mencatumkan hadis bahwa pada masa Rasulullah barang
perdagangan sudah dikenakan zakat. Begitu juga di tempat yang lain beliau
mencantumkan riwayat bahwa Khalifah Usman bin `Affan ketika membayarkan
”tunjangan” (al-`atha’,al- a`thiyah) yang beliau ambil dari Baitul Mal
dan diserahkan kepada orang yang berhak, bertanya apakah dia mempunyai harta
yang wajib zakat. Kalau dijawab ada maka Usman memotong kewajiban tersebut dari
”tunjangan” yang dia bayarkan tersebut. Tetapi kalau dijawab tidak ada maka
Usman akan memberikan ”tunjangan” tersebut secara penuh. Lebih dari itu Imam
Syafi`i menyatakan bahwa orang pertama yang mengambil zakat atas ”tunjangan”
adalah Mu`awiyah bin Abu Sufyan, Khalifah pertama Dawlah Bani Umayyah. Yang
menarik dalam riwayat dari Umar bin Khatthab, Mu`awiyah dan Umar bin abdul Aziz
ini tidak ada ketentuan bahwa zakat tersebut baru diambil setelah sampai haul.
Tetapi Imam Syafi`i menyatakan karena ”tunjangan” tersebut merupakan ”fa’idah”
maka baru wajib dizakati kalau sudah dimiliki selama satu tahun (sampai haul).
Lebih tegas lagi Imam syafi`i menyatakan bahwa semua harta yang mencapai nisab
baru wajib dizakati apabila telah sampai haul kecuali hasil pertanian, harta
rikaz dan ma`adin (Al-Um, jilid dua, hlm. 24).
Di atas sudah disinggung bahwa
perintah membayar zakat di dalam Al-qur’an bersifat sangat umum, namun di dalam
hadis dibatasi, sehingga menjadi relatif sangat sempit. Untuk pertanian
misalnya ada hadis yang menyatakan bahwa zakat hanya wajib atas hasil pertanian
kurma, anggur, gandum dan jelai. Mungkin karena isinya yang sangat sempit, para
ulama memahami hadis ini tidak secara harfiah, tetapi berusaha mencari `illat
yang terkandung didalamnya. Sebagian mereka menyatakan `illat tersebut adalah
makanan pokok, sebagian yang lain menyatakan tahan disimpan, ada yang
menyatakan karena merupakan biji-bijian, ada yang mernyatakan karena ditanam
dan ada juga yang menyatakan karena menjadi penghasilan (bernilai ekonomis).
Dengan demikian berdasarkan `illat yang dibangun dengan logika dan pertimbangan
masing-masing, semua ulama dan mazhab (mungkin pengecualiannya hanyalah
sebagain pengikut mazhab zhahiri) memperluas makna hadis di atas. Ada yang
memperluasnya secara relatif terbatas, (misalnya ulama Syafi`iyah) hanya pada
biji-bijian yang dijadikan makanan pokok, yang tahan disimpan dan ditanam oleh
sipetani (jadi hasil pohon sagu yang juga dijadikan makanan pokok tidak wajib
dizakati karena pohon sagu di Aceh tidak ditanam oleh petani). Tetapi sebagian
ulama yang lain (misalnya ulama Hanafiah) memperluasnya menjadi semua jenis
pertanian yang memberikan hasil atau dijadikan mata pencaharian, seperti kelapa,
sawit, kopi, pisang dan sebagainya. Dari jalan pikiran para ulama ini penulis
cenderung mengikuti para ulama yang menyatakan semua penghasilan (pertanian
atau bukan pertanian termasuk sektor jasa di alamnya) sekiranya telah mencapai
nisab wajib dizakati.
Dalam kaitan dengan jenis harta kena
zakat, hadis-hadis menentukan kadar zakat secara berbeda untuk jenis harta yang
berbeda-beda. Terhadap hasil pertanian ada dua kadar zakat. Kalau tanaman
tersebut diairi dengan air hujan atau air sungai maka zakatnya 10 % dari hasil
panen. Tetapi kalau tanaman tersebut diairi dengan disiram maka zakatnya turun
menjadi 5 % saja. Untuk hewan ternak, setiap 40 ekor kambing zakatnya satu ekor
kambing setahun; setiap 30 ekor sapi (kerbau) zakatnya satu ekor anak sapi berumur
dua tahun, sedang untuk sapi (kerbau) yang berjumah 40 ekor zakatnya tetap satu
ekor tetapi yang berumur 3 tahun lebih. Untuk emas zakatnya adalah 2,5 %.
Begitu juga hasil perdagangan zakatnya sama dengan emas yaitu 2,5 %. Zakat yang
paling besar adalah zakat harta rikaz, yaitu 20 %. Dari berbagai ketentuan
tentang kadar zakat ini, para ulama berusaha mencari `illat yang terkandung di
dalamnya, yang kesimpulannya lebih kurang sebagai berikut. Pekerjaan yang tidak
memerlukan modal, tidak memerlukan keahlian untuk mengerjakannya atau resiko
ruginya relatif kecil maka zakatnya relatif besar. Sebaliknya pekerjaan yang
memerlukan modal besar atau memerlukan keahlian yang relatif tinggi, atau
resiko gagal atau ruginya relatif besar, maka zakatnya menjadi relatif kecil.
Ke dalam kelompok pertama masuk hasil pertanian tadah hujan, dan harta rikaz.
Ke dalam yang kedua masuk zakat hewan ternak, zakat perdagangan dan uang
simpanan, serta zakat pertanian yang disiram atau dikerjakan secara intensif.
Berdasarkan jalan pikiran di atas maka kadar zakat untuk penghasilan dari
sektor jasa ditetapkan 2,5 % sama dengan zakat perdagangan atau emas simpanan
(uang atau barang tabungan). Penghasilan dari sektor jasa dianggap termasuk
kelompok pekerjaan yang memerlukan keahlian bahkan sebagiannya memerlukan
keahlian yang relatif sangat khusus. Dengan jalan pikiran ini juga dapat
dinyatakna bahwa zakat untuk usaha pertanian yang memerlukan modal besar dan
perawatan sangat intensif, seperti perkebunan besar (industri pertanian) maka zakatnya
akan turun juga menjadi 2,5 %.
Hadis-hadis juga menyebutkan bahwa
pada semua harta yang wajib dizakati itu ada persyaratan nisab (sebagai
pengecualian hanyalah harta rikaz, karena menurut sebagian ulama, harta rikaz
wajib dizakati betapapun jumlahnya). Nisab adalah batas minimal jumlah harta
(simpanan) atau jumlah penghasilan sebagai ukuran adanya kewajiban zakat. Jadi
kalau seseorang memperoleh harta di bawah batas nisab maka dia tidak akan
terkena zakat. Pada pertanian nisab tersebut adalah lima wasaq, pada kambing
dan domba 40 ekor, pada unta lima ekor, pada lembu dan kerbau 30 ekor, sedang
pada emas 20 dinar dan pada perak 200 dirham.
Walaupun jumlah nisab sudah
ditentukan untuk berbagai jenis harta, masih ada persoalan tentang cara
menghitungnya. Pada pertanian hadis menyatakan agar zakat dihitung pada waktu
panen dan ini dipahami bahwa nisab dihitung untuk setiap panen, seperti gandum,
padi, jagung, kentang atau kacang-kacangan (tanaman semusim). Tetapi untuk
tanaman keras yang umurnya lebih panjang dari satu masa panen, maka nisab
dihitung untuk masa satu tahun. Jadi kurma, anggur, langsat atau rambutan yang
berbuah sekali setahun maka nisab dihitung sekali setahun pada setiap musim
panen. Sedang tanaman yang masa panennya lebih dari sekali dalam setahun
seperti kopi dan kemiri, atau berbuah secara relatif terus menerus seperti
kelapa atau sawit, maka nisabnya dihitung dari hasil panen selama satu tahun.
Untuk hewan ternak, Hadis Rasulullah
menyatakan bahwa nisab dihitung untuk setahun, artinya dalam satu tahun hanya
kena zakat satu kali saja. Kalau pada tahun berikutnya jumlah ternak masih
berada di atas jumlah nisab maka zakatnya kembali dibayarkan. Begitu juga emas
atau perak, wajib dizakati kalau jumlahnya berada di atas nisab dan sudah disimpan
selama setahun. Berdasar ketentuan tentang nisab dalam berbagai jenis harta
ini, maka jumhur ulama menetapkan bahwa nisab penghasilan sektor jasa adalah
jumlah penghasilan selama satu tahun. Artinya kalau penghasilan seseorang
selama setahun telah mencapai jumlah nisab (20 dinar emas) barulah zakatnya
wajib dikeluarkan.
Dari ketentuan tentang kadar dan
nisab zakat yang ada di dalam hadis, dapat ditarik kesimpulan berikutnya, bahwa
harta yang dikenai zakat adalah seluruh hasil yang diperoleh dari usaha
tersebut. Biaya yang diperlukan untuk memperoleh hasil itu, begitu juga biaya
hidup selama melakukan pekerjaan tersebut, tidak akan dijadikan sebagai
pengurang atas harta yang akan dikenai zakat. Menggunakan aturan tentang zakat
pertanian tadi sebagai contoh, dapat disebutkan, ketika usaha pertanian menjadi
intensif dan bahkan padat modal maka penentuan zakat tidak dilakukan dengan
cara hasil panen dikurangi biaya produksi. Tetapi menurut hadis, kadar zakatnya
yang diturunkan dari 10 % menjadi 5 % sedangkan harta (penghasilan) kena
zakatnya tetap seluruh hasil panen. Tidak ada hadis sahih yang menyebutkan
bahwa biaya operasional atau biaya hidup petani sejak dari saat menanam sampai
panen dikurangi dari hasil panen dan baru setelah itu dihitung nisabnya. Berdasarkan
`illat dan jalan pikiran ini, dapat dinyatakan bahwa zakat harus dibayarkan
atas seluruh penghasilan (hasil bersih) dari sektor jasa, tidak dikurangi
dengan kebutuhan hidup terlebih dahulu.
Perlu disebutkan, sebagian ulama di
Indonesia menyatakan bahwa biaya hidup dan biaya kerja harus dikeluarkan
sebelum nisab dihitung. Dengan kata lain sesudah biaya hidup secara wajar
(dalam batas minimal) dan biaya kerja dikeluarkan, hasil atau panen atau gaji
tersebut tetap mencapai nisab, barulah zakatnya dikeluarkan. Tetapi kalau
sesudah dikeluarkan biaya hidup minimal dan biaya kerja sisa penghasilan tidak
lagi mencapai nisab maka zakat tidak wajib dikeluarkan. Kelihatannya pendapat
ini diambil dari mazhab Hanafi dan digabungkan dengan mazhab Syafi`i. Demikian
penulis katakan, karena di dalam mazhab Hanafi, tidak ada ketenuan nisab pada
zakat pertanian. Dengan kata lain, apabila hasil peranian suah lebih dari
kebutuhan sehari-hari maka wajib dikeluarkan zakatnya berapapun jumlahnya
(walaupun berada di bawah nisab). Karena dalam mazhab hanafi tidak ada
ketentuan nisab maka wajar sekiranya mereka menggunakan ukuan kebutuhan hidup
dan biaya kerja sebagai pengganti ukuran nisab tersebut.
Selanjutnya berdasarkan hadis
tentang nisab dan kadar zakat, serta harta yang dikecualikan dari kewajiban
zakat (misalnya Nabi menyatakan tidak dikenakan zakat atas hewan tunggangan,
tidak dikenakan zakat atas harta perhiasan), para ulama menyimpulkan bahwa
harta kekayaan yang digunakan sebagai peralatan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, seperti rumah untuk tempat tinggal dan perabotannya tidak dikenai
zakat. Begitu juga hewan tunggangan, kenderaan atau peralatan lain sebagai alat
dan perlengkapan kerja, juga tiak dikenai zakat. Hadis juga secara jelas
menyatakan bahwa emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan oleh orang
perempuan (dalam batas yang wajar sebagai perhiasan) tidak dikenai zakat.
Begitu juga berdasarkan hadis yang
menyatakan bahwa orang yang mempunyai (menyimpan, menabung) emas sebanyak 20
dinar wajib mengeluarkan zakatnya, maka para ulama menyimpulkan bahwa orang
yang menyimpan uang pun apabila nilainya sama (setara) dengan 20 dinar emas
atau 200 dirham perak wajib mengeluarkan zakatnya setiap tahun sebanyak 2,5 %.
Meneruskan pemahaman ini, uang kelebihan dari penghasilan sekiranya disimpan
sampai setahun maka wajib dizakati (kembali) karena telah berubah status dri
uang penghasilan menjadi uang simpanan .
Karena kemajuan zaman, maka emas
(uang, barang) tabungan pada masa sekarang menjadi lebih beragam dari masa
lalu, sebagiannya dalam bentuk uang (tabungan dan deposito), sebagiannya dalam
bentuk emas atau perak (batangan atau perhiasan) tetapi ada juga dalam bentuk
lainnya seperti tanah yang tidak diusahakan (tidak ditanami, tidak
menghasilkan). Semua harta kekayaan yang menjadi simpanan ini wajib dibayar
zakatnya sebanyak 2,5 % setahun, sama seperti zakat emas. Kesimpulan ini akan
terasa lebi kuat sekiranya dikaitkan dengna sebuah hadis Rasulullah, yang
meminta para wali anak yatim untuk mengembangkan harta anak yatim tersebut agar
harta itu tidak habis dimakan zakat. Maksudnya kalau harta dijadikan modal
usaha maka hasilnya yang dikenai zakat sedang modalnya tidak. Tetapi kalau
harta itu dibiarkan tersimpan sebgai tabungan sehingga tidak memberikan hasil
maka harta itu sendiri yang harus dizakati karena harta yang tidak diusahakan
dianggap ebagai tabungan.
Mengenai orang (kelompok, senif,
bulung) yang berhak menerima zakat pun di dalam Al-qur’an hanya disebutkan
secara umum; beberapa ayat menyatakan bahwa zakat diambil dari orang kaya dan
dibagi-bagikan kepada orang fakir (miskin), namun ada satu ayat yang secara
jelas menyebutkan orang-orang yang berhak menerima zakat (shadaqah) ada delapan
kelompok, yaitu fakir, miskin, `amil, mu’allaf, riqab, gharim, sabilillah dan
ibnu sabil (At-Tawbah 60). Tetapi penjelasan tentang makna dan cakupan
masing-masing kategori tersebut tidak dijalskan secara rinci oleh Rasulullah.
Selanjutnya, berbeda dengan jenis
harta yang kena zakat, serta nisab dan haul yang sebagian rinciannya ditemukan
di dalam hadis-hadis, maka mengenai tata cara pengelolaan zakat, cara
membagikannya, pengertian dan batasan dari kelompok-kelompok yang berhak
menerima tersebut, perbandingan perolehan, dan seterusnya relatif lebih sedikit
lagi hadis yang menerangkannya, sehingga persoalan pengelolaan dan
pendistribusian zakat tidak dapat dijelaskan sekiranya tidak dilakukan ijtihad
untuk mensistematisasi dan merincikannya.
Kewajiban
Zakat atas Penghasilan dari Sektor Jasa
Dalam kaitan dengan zakat penghasilan
dari sektor jasa, dapat kita sebutkan bahwa pada masa Rasulullah jenis atau
bentuk mata pencaharian relatif sangat terbatas, (secara umum hanyalah dari
bertani, berdagang, berternak dan mungkin di beberapa tempat ada sektor
perikanan); jadi berbeda sekali dengan keadaan sekarang dimana jenis mata
pencaharian dan pekerjaan menjadi sangat beragam, terutama sekali karena
kehadiran sektor jasa (orang yang bekerja karena mengandalkan keahlian atau
ketrampilan tertentu yang pada umumnya diperoleh setelah melalui tingkat
pendidikan tertentu); sebagian dari mereka bekerja secara bebas, dibayar oleh
pihak lain berdasarkan perjanjian lepas atas jasa yang mereka berikan seperti
jasa konsultasi dokter, pengacara, kontraktor dan sebagainya; sedang sebagian lagi
memperoleh penghasilan dari kedudukannya sebagai pegawai atau karyawan, baik
karena mengikat kontrak kerja dengan pemerintah ataupun dengan perusahaan atau
pihak swasta; mereka menerima bayaran atas jasa yang mereka berikan yang
disebut dengan berbagai nama seperti upah, honor, gaji, dan sebagainya.
Kegiatan ekonomi (termasuk di
dalamnya kegiatan yang sekarang kita sebut sebagai jasa seperti tukang tenun
dan tukang jahit, pandai besi dan pandai emas, tabib dan perawat) pada masa
Rasulullah dan Sahabat–bahkan beberapa abad sesudahnya, pada umumnya
dilaksanakan oleh para budak yang notabene dianggap sebagai “barang” yang
menjadi milik tuannya, sehingga tidak ada yang digaji. Dalam hal pekerjaan
tersebut dilaksanakan oleh orang yang merdeka yang bukan pemilik
barang/pekerjaan (misalnya perdagangan antar wilayah, seperti perdagangan dari
Mekkah/Madinah ke Syria atau Yaman), maka biasanya kerjasama diantara mereka
ditempuh dengan pola bagi hasil, bukan dengan pola diupah atau digaji.
Namun begitu ditemukan riwayat/hadis
bahwa ada sedikit orang yang bekerja sebagai buruh harian (borongan, misalnya
membajak tanah, menyiram tanaman atau memetik buah) pada masa Nabi. Kuat dugaan
upah yang mereka terima relatif kecil sehingga wajar sekiranya tidak dikaitkan
dengan kewajiban membayar zakat, karena cenderung tidak mencapai nisab. Begitu
juga ada riwayat di masa pemerintahan Khalifah Umar, beliau membuat sebuah
kebijakan menggaji para tentera dan petugas sebagai ganti dari diberi tanah
pertanian (feodal) untuk diusahakan seperti yang dilakukan pada masa Khalifah
Abubakar dan masa Rasulullah. Tetapi riwayat tentang gaji yang dibayarkan
Khalifah Umar ini terlalu sedikit yang sampai kepada kita, sehingga tidak kita
ketahui secara tepat berapa besarnya, bagaimana cara pembayarannya. Begitu juga
tidak ada riwayat apakah dikenakan zakat atau tidak.
Tetapi sekiranya kita gunakan
riwayat dari Imam Syafi`i yang di atas sudah kita kutip, zakat atas penghasilan
atau “tunjangan” (al-`ataha’) yang dibayar oleh negara (diambil dari harta
Baitul Mal) tidak dikenakan zakat pada masa Khulafa`ur Rasyidin. “Tunjangan”
atau penghasilan tersebut baru dikenai zakat pada masa Mu`awiyah bin Abi
Sufyan.
Persoalan lain yang lyak diuraikan,
dalam buku fiqih harta kena zakat dibedakan kepada dua jenis. Harta yang
diperoleh dari penghasilan disebut harta zahir ; zakat atas harta
jenis ini dihitung dan ditentukan oleh `amil (Baitul Mal). Sedang harta sisa,
yang sudah merupakan hata simpanan (tabungan) disebut harta batin;
zakat atas harta jenis ini dhitung dan ditentukan oleh pemilik, bukan oleh
`amil. Dengan kata lain, harta dibedakan menjadi harta zahir dan harta batin
hanyalah dalam hal penentuan besar zakatnya. Sedang mengenai pengelola zakatnya
(kepada siapa zakat harus dibayarkan), kedua jenis harta di atas (penghasilan
dan simpanan/tabungan) pada dasarnya wajib diserahkan kepada amil zakat
yang sah (Baitul Mal). Pembayaran langsung oleh muzakki kepada
mustahiq, tidak diizinkan kecuali ketika amil zakat yang sah
tidak ada atau tidak memenuhi
Beralih kepada masalah
pendistribusian zakat, dapat disebutkan bahwa diantara tujuan dan hikmah
kewajiban zakat adalah upaya mengeluarkan atau membebaskan orang dari
kemiskinan, sehingga mereka dapat hidup secara layak. Bahkan lebih dari itu
pemberian zakat diharapkan dapat menjadikan mereka sebagai orang kaya, sehingga
mengubah kedudukan mereka dari penerima zakat (mustahiq) menjadi
pembayar zakat (muzakki). Dalil tentang hal ini tidak perlu dituliskan
karena cukup banyak dan penulis rasa sudah cukup jelas kita ketahui.
Mengenai berapa besar zakat yang
dibagikan pada masa Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin, catatan (hadis dan
atsar) yang ada menyatakan bahwa uang Baitul Mal termasuk zakat di dalamnya,
yang dibagi-bagikan pada masa Rasulullah relatif besar sekali, sehingga ada
orang yang menerima sampai puluhan ekor unta (bahkan ada yang seratusan lebih,
satu ekor unta di Mekkah sekarang sekitar SR 60.000,-). Uang yang mereka terima
ini karena relatif besar jumlanya, tentu dapat dijadikan sebagai modal
sekiranya mereka ingin berusaha. Ada beberapa hadis yang menceritakan hal ini,
yang sebagiannya dapat dirujuk dalam kitab AL MUHALLA karangan Ibnu Hazm dan
kitab-kitab SUNAN yang memuat hadis tentang baytul mal atau tentang fay’.
Namun hadis-hadis ini sering diletakkan secara berpencar, sehingga untuk
mengumpulkannya perlu ketekunan khusus. Sebagai perbandingan atau contoh,
ketika Yahudi Bani Nazhir diusir secara damai dari Madinah Rasulullah
membagi-bagikan tanah kebun dan rumah mereka kepada orang miskin yang ada di
Madinah sehingga sesudah itu boleh dikatakan tidak ada lagi penduduk miskin di
kalangan muslim Madinah (dari kalangan Muhajirin dan Anshar), karena semua
mereka sudah mempunyai rumah dan tanah perkebunan (orang miskin sesudah ini
adalah mereka yang datang dari luar kota, yaitu mereka yang baru berhijrah).
Persoalan berikutnya, sesudah
Rasulullah wafat, pada awal pemerintahan Khalifah Abubakar, sebagian umat Islam
yang jauh dari Madinah enggan merngirimkan (membayarkan) zakatnya ke Madinah.
Ada yang betul-betul tidak mau membayar zakat dan ada yang masih membayar
tetapi kepada petugas lokal, bukan kepada amil yag dikirim Khalifah Abubakar.
Abubakar memerangi semua orang ini sampai mau kembali membayarkan zakat kepda
amil yang dikirim khalifah. Perang pertama yang dilancarkan Abubakar adalah
untuk memerangi orang-orang Islam (kelompok, suku) yang tidak mau membayarkan
zakat kepada amil yang ditugaskan Khalifah (terkenal dengan sebutan Perang
Riddah). Kenyataan ini barangkali dapat digunakan sebagai bukti tambahan bahwa
zakat pada dasarnya harus dibayarkan kepada petugas (`amil, lembaga) resmi yang
ditunjuk oleh pemerintah atau negara, tidak boleh dibagi-bagikan langsung oleh
muzakki kepada mustahik.
Masalah berikutnya, yang pantas
disebutkan karena masih berkaitan, pada masa Umar terjadi perluasan wilayah
yang spektakuler, berhasil membebaskan seluruh daerah Syam, Mesir, Irak serta
Iran (Persia). Tanah pertanian di daerah Syam dan Mesir dirampas oleh negara
dan dibagikan kepada orang-orang yang berperang sebagai rampasan perang (ghanimah,
fay’), mengikuti praktek yang terjadi pada masa Rasulullah. Sedang tanah
pertanian di Irak karena sangat luas, Umar tidak mau membaginya mengikuti
aturan ghanimah seperti yang sudah dilakukan pada tanah Syam dan Mesir
yang tidak terlalu luas itu. Umar menjadikan tanah pertanian di Irak ini
sebagai tanah negara (Baitul Mal), dan menyerahkan penggarapannya kepada
pemilik lama dengan cara bagi hasil (dimawahkan). Hasil yang menjadi
bagian (milik) negara dari bagi hasil ini dibagi-bagikan kepada para tentera
(sebagai gaji) dan juga kepada orang-orang miskin, seperti pembagian zakat.
Umar sebagi khalifah beralasan,
sekiranya tanah ini dibagi-habiskan kepada orang yang berperang atau orang
miskin muslim yang ada pada saat itu, maka mereka akan menjadi kaya mendadak
bahkan sangat kaya (karena tanah ini sangat luas, maka setiap orang akan
mendapat pembagian tanah pertanian atau kebun sampai belasan bahkan puluhan
hektar, dan pada gilirannya akan menjadikan mereka sebagai orang kaya baru
dengan jumlah kekayaan yang besar sekali). Sedang orang miskin yang muncul pada
generasi kedua dan seterusnya akan tetap miskin dan tergantung pada zakat orang
kaya baru tadi, karena tidak ada lagi tanah yang akan dibagikan kepada mereka.
Umar merasa sekiranya tanah yang sangat luas ini dibagikan kepada orang yang
berperang dan kaum muslimin yang miskin yang ada di sana, seperti pembagian
tanah Bani Nadhir pada masa Rasulullah ataupun pembagian tanah pertanian di
wilayah Syam dan Mesir, maka pembagian ini tidak sesuai dengan tujuan Islam.
Pembagian tanah yang amat luas ini akan melahirkan orang kaya bahkan sangat
kaya sampai beberapa generasi, karena mereka ini nanti akan mewariskan
kekayaannya kepada keturunannya. Sedang negara tidak akan mempunyai pemasukan
yang besar dan karena itu tidak akan mampu membiayai tentera yang sangat
diperlukan untuk menjaga ketertiban di wilayah yang amat sangat luas tersebut.
Dan begitu juga negara tidak mempunyai cukup kekayaan untuk membantu orang
miskin, karena jumlah zakat yang diperoleh relatif kecil dan sedikit
dibandingkan dengan hasil dari tanah pertanian Irak yang amat luas tersebut.
Karena itu Umar menyampaikan gagasan agar tanah ini tetap menjadi milik umat
Islam secara bersama, dikelola oleh negara (pemerintah) dan hanya hasilnya yang
dibagikan kepada para tentera dan pegawai lainnya, serta orang miskin generasi
demi generasi.
Pada awalnya gagasan ini ditentang
oleh beberapa Sahabat, terutama Abdurrahman bin `Auf dan Bilal bin Rabah,
tetapi diterima oleh beberapa Sahabat lain semisal Abu Dzar al-Ghifari dan Ali
bin Abi Thalib. Demikian berat penentangan sebagian Sahabat ini sampai-sampai
Umar pernah berdo`a, ”Ya Allah lindungi kami dari mulut dan tudingan Bilal.”
Mungkin karena Umar adalah Khalifah, maka dia agak leluasa menjalankan gagasan
tersebut dan para Sahabat yang beropposisi tidak mempersoalkannya secara
berkepanjangan. Pada masa belakangan pendapat/praktek Khalifah Umar ini
diterima oleh para ulama mazhab diakui kebenarannya dan kejeniusannya. Namun
tetap ada sebagian kecil ulama yang menolak dan menganggapnya bertentangan
dengan praktek Rasulullah.
Tanah pertanian Irak yang berasal
dari perluasan wilayah yang tidak dibagikan ini di dalam sejarah dikenal dengan
nama Al Ardhu-s Sawad (Tanah hitam yang subur).
Baitul Mal
sebagai Pengelola Zakat di Aceh
Dalam Qanun Aceh Nomor 10, dalam
Pasal 1 ditemukan ketentuan sebagai berikut:
Angka 11, Baitul Mal adalah
Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan
mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat
serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan / atau hartanya
serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan
Syari`at Islam.
Angka 13, Unit Pengumpul Zakat
yang selanjutnya disebut UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh Baitul
Mal Aceh dan Kabupaten/Kota dengan tugas mengumpulkan zakat para muzakki pada
instansi pemerintah dan lingkungan swasta.
Angka 14, Zakat adalah bagian
dari harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan (koorporasi)
sesuai dengan ketentuan Syariat Islam untuk disalurkan kepada yang berhak
menerimanya di bawah pengelolaan Baitul Mal.
Angka 23, Pengelolaan harta Agama
adalah serangkaian kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pemeliharaan,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap penetapan, pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan oleh Baitul Mal.
Dari ketentuan di atas dapat
diketahui bahwa tugas Baitul Mal pada dasarnya mencakup tiga hal yaitu (1(
mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf dan harta agama lainnya (2) menjadi
wali dan wali pengawas bagi anak yatim piatu dan juga bagi harta mereka (anak
yatim), dan (3) pengelola harta warisan yang tidak ada atau tidak diketahui
keberadaan ahli warisnya. Sedang pengelolaan dinyatakan sebagai serangkaian
kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pemeliharaan, serta
pelaksanaan dan pengawasan. Rangkaian kegiatan ini diperlukan pada pengumpulan
zakat dan pendistribusiannya. Untuk melakukan pekerjaan tersebut Baitul Mal
Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat pada
setiap instansi pemerintah dan swasta yang akan bertugas mengumpulkan zakat di
instansi tersebut. Zakat ini setelah mereka kumpulkan harus disetor ke Baitul
Mal Aceh atau Kabupaten/Kota sesuai dengan hirarkinya. Jadi UPZ hanya bertugas
mengumpul zakat dan tidak berwenang membaginya.
Mengenai tingkatan Baitul Mal, Qanun
Aceh Nomor 10 di atas mengaturnya sebagai berikut:
Pasal 10
- Baitul Mal Aceh sebagaimana
dimaksud pada Pasal 4 berwenang mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan:
- Zakat Mal pada tingkat Provinsi
meliputi: BUMN, BUMD Aceh dan perusahaan swasta besar;
- Zakat Pendapatan dan
Jasa/Honorarium dari:
- Pejabat/PNS/TNI-POLRI, Karyawan
Pemerintah Pusat yang berada di Ibukota provinsi;
- Pejabat/PNS/karyawan lingkup
Pemerintah Aceh;
- Pimpinan dan anggota DPRA;
- Karyawan BUMN/BUMD dan
perusahaan swasta besar pada tingkat Provinsi; dan
- Ketua, anggota dan karyawan
lembaga dan badan daerah tingkat provinsi
- Harta agama dan harta wakaf
yang berlingkup provinsi.
- Membentuk Unit Pengumpul Zakat
(UPZ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang ditetapkan
dengan keputusan Baitul Mal Aceh.
- Meminta laporan secara priodik
setiap 6 (enam) bulan dari Baitul Mal Kabupaten/Kota.
- Melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap kegiatan Baitul Mal Kabupaten/Kota.
Pasal 11
- Menyampaikan laporan dan
pertanggung-jawaban secara priodik setiap 6 (enam) bulan kepada Gubernur.
- Menginformasikan
pertanggung-jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat.
Pasal 12
- Baitul Mal Kabupaten/Kota
sebagiamana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang mengumpulkan, mengelola dan
menyalurkan:
- Zakat mal pada kabupaten/kota
meliputi BUMD dan Badan Usaha yang berklasifikasi menengah;
- Zakat pendapatan dan
jasa/honorarium dari:
- Pejabat/PNS/TNI POLRI, karyawan
pemerintah Pusat/Pemerintah Aceh pada tingkat kabupaten/kota;
- Pejabat/PNS/karyawan lingkup
Pemerintah Kabupaten/Kota;
- Pimpinan dan anggota DPRK;
- Karyawan BUMN/BUMD dan
perusahaan swasta yang berada pada tingkat kabupaten/kota;
- Zakat sewa rumah/pertokoan yang
terletak di kabupaten/kota;
- Harta agama dan harta wakaf
yang berlingkup kabupaten/kota.
- Membentuk Unit Pengumpul Zakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang ditetapkan dengan
keputusan Baitul Mal Kabupaten/Kota.
- Meminta laporan secara priodik
setiap 6 (enam) bulan dari Baitul Mal Kemukiman dan Gampong atau nama
lain.
- Melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap kegiatan Baitul Mal Kemukiman dan Gampong atau nama
lain.
Pasal 13
- Menyampaikan laporan dan
pertanggung-jawaban secara priodik setiap 6 (enam) bulan kepada
Bupati/Walikota.
- Menginformasikan
pertanggung-jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat.
Pasal 16
- Baitul Mal Gampong atau nama
lain berwenang mengelola, mengumpulkan dan menyalurkan:
- Zakat fitrah di lingkup gampong
yang bersangkutan;
- Zakat hasil perdagangan/usaha
kecil, hasil pertanian, hasil peternakan, hasil perikanan, dan hasil
perkebunan dari masyarakat setempat;
- Zakat emas dan perak; dan
- Harta agama dan harta wakaf
dalam lingkup gampong atau nama lain.
- Menyelenggarakan tugas-tugas
perwalian.
Pasal 17
- Menyampaikan laporan dan pertanggung-jawaban
secara priodik setiap 6 (enam) bulan kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
- Menginformasikan
pertanggung-jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat.
Ketentuan di atas relatif sudah
cukup jelas, karena itu komentar hanya diberikan atas dua hal. Pertama, zakat
yang dikelola oleh masing-masing Baitul Mal–sesuai tingkatannya, relatif sudah
dijelaskan secara rinci, sehingga tidak akan tumpang tindih lagi. Namun begitu
karena adanya penggunaan istilah yang kurang tepat maka mungkin saja muncul
keraguan. Diantara zakat yangmenjadi kewenangan Baitul Mal Gampong adalah zakat
hasil perdagangan/usaha kecil. Istilah ini mungkin akan menimbulkan keraguan
dengan zakat badan usaha menengah yang menjadi kewenangan Baitul Mal
Kabupaten/Kota. Dalam Qanun Aceh sebelumnya digunakan istilah yang lebih lugas
yaitu, zakat hasil perdagangan yang bersifat individual (bukan badan hukum)
dikelola oleh Baitul Mal Gampong, sedang zakat hasil perdagangan atau usaha
yang berbentuk perusahaan (badan hukum) seluruhnya dikelola oleh Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
Kedua, zakat atas sewa rumah dan
pertokoan yang terletak di kabupaten/kota menjadi kewenangan Baitul Mal
Kabupaten/Kota. Menurut penulis redaksi ketentuan ini relatif masih belum jelas
benar. Apa yang dimaksud dengan “rumah dan pertokoan yang terletak di
kabupaten/kota?” Apakah yang dimaksud adalah rumah dan pertokoan yang terletak
di ibukota kabupaten, sedang zakat atas sewa rumah dan pertokoan yang tidak
terletak di ibukota kabupaten menjadi kewenangan Baitul Mal Gampong? Lalu
bagaimana rumah yang terletak di “kota” misalnya Kota Subulussalam, apakan
zakat seluruh rumah dan pertokoan di kota ini dipungut oleh baitul Mal Kota?
Penulis merasa aturan ini agak sulit dilaksankan. Akan lebih mudah sekiranya
zakat sewa rumah dan pertokoan ini seluruhnya diserahkan menjadi kewenangan
Baitul Mal Gampong.
Adapun keweangan Baitul Mal di luar
zakat tidak penulis komentari, karena berada di luar lingkup tulisan ini.
Harta Kena
Zakat dalam Qanun Aceh
Beralih kepada jenis harta dan
penghasilan yang wajib dizakati dalam Qanun Aceh (Qanun Nomor 10 tahun 2007),
dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan ada tiga jenis zakat yaitu: zakat fitrah,
zakat harta dan zakat penghasilan. Sedang jenis harta yang wajib dizakati disebutkan
dalam ayat (2) yang terdiri dari:
- emas perak, logam mulia lainnya
dan uang;
- perdagangan dan perusahaan;
- perindustrian;
- pertanian, perkebunan dan
perikanan;
- peternakan;
- Pertambangan;
- pendapatan dan jasa;
- rikaz.
Adapun harta lain yang tidak termasuk
dalam salah satu jenis harta di atas, kewajiban zakatnya akan ditetapkan dengna
fatwa MPU Aceh.
Mengenai kadar, nishab dan haul
zakat mal diatur dalam Pasal 19 ayat (1), sebagai berikut:
- emas, perak, logam mulia dan
uang yang telah mencapai nishab 94 gram emas yang disimpan selama setahun,
wajib zakatnya 2,5 % pertahun;
- harta perdagangan, perusahaan
dan perindustrian yang telah mencapai nishab 94 gram emas pertahun, wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % dari jumlah keuntungannya;
- Hasil pertanian dan perkebunan
yang telah mencapai nishab 5 wasaq (seukutan 6 gunca padi = 1200 kg padi0
wajb dikeluarkan zakatnya sebesar 5 % untuk setiap panen yang diolah
secara intensif dan 10% untuk setiap panen yang diolah secara tradisional;
- Hewan ternak kambing atau
sejenisnya yang telah mencapai nishab 40 ekor, wajib dikeluarkan zakatnya
sebanyak satu ekor pertahun;
- Hewan ternak sapi, kerbau atau
sejenisnya yang telah mencapai nisab 30 ekor wajib dikeluarkan zakatnya
sebanyak satu ekor pertahun;
- Barang tambang yaqng hasilnya
mencapai nisab 94 gram emas, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 5
untuk setiap produksi/temuan.
- Pendapatan dan jasa yang telah
mencapai nishab senilai 94 gram emas setahun, wajib dikeluarkan zakatnya
sebesar2,5 % dan
- Rikaz yang telah mencapai
jishab senilai 94 gram emas, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 20% untuk
setiap temuan.
Mengenai pembayaran, dalam ayat (3)
disebutkan bahwa pembayaran zakat pendapatan dari sektor jasa dapat dicicil
setiap bulan, atau setiap saat diterima.
Seperti terlihat di atas, Qanun Aceh
menetapkan nisab emas, perak, logam mulia dan uang adalah setara dengan harga
94 gram emas. Ketentuan ini sedikit berbeda dengan ketentuan yang ada dalam
hadis dan buku-buku fiqih. Dalam hadis nisab perak ditetapkan secara
tersendiri, yaitu 200 dirham. Menurut riwayat harga 200 dirham perak pada masa
Rasulullah sama dengan harga 20 dinar emas. Tetapi pada masa sekarang harga
perak jauh lebih rendah dari harga emas, sehingga dua takaran di atas tidak
lagi sejajar. Mungkin karena pertimbangan perak tidak lagi digunakan untuk
menentukan nilai uang seperti emas, dan juga karena perak tidak banyak
digunakan (disimpan) di tengah masyarakat Aceh, maka nisab zakat perak dalam
qanun ini disamakan saja dengan nisab zakat emas. Sedang mengenai zakat
perusahaan, yang wajib mereka bayar adalah sebesar 2,5 % dari keuntungan
setahun, apabila modal perusahaan tersebut setara dengan harga 94 gram emas
murni atau lebih. Jadi nisabnya dihitung berdasarkan modal yang ditanam atau
diputar, sedang harta yang wajib dizakati hanyalah laba, tidak termasuk
modalnya.
Mengenai penghasilan dari sektor
gaji (jasa), para ulama kontemporer cenderung berpendapat bahwa penghasilan
setahun yang setara dengan 20 dinar emas (sebanyak 94 gram emas murni) atau lebih,
wajib dikelu-arkan zakatnya sejumlah 2,5 persen. Zakat ini wajib dibayarkan
pada akhir tahun, setelah semua penghasilan diterima. Namun untuk lebih
memudahkan, terutama sekali karena jumlah yang diterima tidak sama setiap
minggu/bulannya, dan kalau dibayar diakhir tahun akan sangat memberatkan bisa
mencapai 30 % dari gaji satu bulan, maka dianjurkan untuk membayarkannya
langsung pada setiap kali menerima penghasilan (bagian dari penghasilan).
Pembayaran pada setiap menerima gaji/upah ini dilakukan “dimuka” setelah ada
perkiraan bahwa penghasilan setahun akan mencapai nisab.
Adapun mengenai sisa harta yang
tidak habis dikonsumsi, biasanya akan kita tabung, baik langsung dalam bentuk
uang (deposito di bank atau emas) atau kita konversikan ke bentuk lain seperti
tanah, rumah, dsb. Zakat atas tabungan atau simpanan ini wajib dikeluarkan
sebanyak 2,5 % setiap tahun apabila nilai simpanan tersebut setara dengan harga
94 gram emas murni. Zakat simpanan berbeda dengan zakat penghasilan, karena
zakat simpanan adalah zakat atas uang atau harta kekayaan yang disimpan (karena
tidak habis dikonsumsi). Sedang zakat penghasilan adalah zakat yang kita
bayarkan atas penghasilan/pendapatan karena melakukan sesuatu pekerjaan atau
keuntungan yang kita peroleh dari sesuatu kegiatan usaha.
Pendayagunaan
Zakat
Dalam Qanun Aceh Nomor 10 di atas,
tentang pendayagunaan dan pendistribusian zakat diatur sebagai berikut:
Pasal 29
- Zakat didayagunakan untuk
mustahik baik bersifat produktif maupun konsumtif berasarkan ketentuan
syari`at.
- Mustahik zakat usaha produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- adanya suatu jenis usaha
produktif yang layak;
- bersedia menerima petugas
pendamping yang berfungsi sebagai pembimbing/ penyuluh; dan
- bersedia menyampaikan laporan
usaha secara periodik setiap 6 (enam) bulan.
- Tatacara pendayagunaan zakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Baitul Mal
Aceh.
Dari ketentuan di atas terlihat
bahwa Qanun Aceh memberi izin penyaluran zakat kepada para mustahiknya secara
konsumtif dan produktif. Kebolehan penyaluran dengan salah satu dari dua cara
tersebut oleh qanun tidak diatur secara rinci, tetapi dikembalikan kepada
aturan syari`at. Dengan demikian Baitul Mal perlu menyusun pedoman dan metode
penyaluran zakat, terutama sekali zakat yang akan disalurkan secara produktif.
Di dalam kitab fiqih mazhab, gagasan
tentang pembagian zakat secara produktif memang tidak ditemukan, sama seperti
tidak ditemukannya uraian tentang amil yang permanen, karena uraian tentang
pembagian zakat di kalangan mazhab cenderung dianggap sebagai kegiatan sporadis
dan temporer. Pengamalan zakat pada masa itu lebih ditujukan sebagai kegiatan
untuk menunaikan kewajiban (imtitsal) daripada kegiatan berkesinambungan
untuk menjadikan orang-orang keluar dari kemiskinan bahkan mengubah mereka
menjadi kaya.
Sekiranya keadaan di atas dibawakan
ke keadaan kita sekarang, maka sebetulnya tidak ada alasan kuat untuk menolak
pendistribusian zakat secara produktif selama dapat dibuktikan bahwa cara itu
lebih baik dari pembagian yang bersifat konsumtif. Dapat dikatakan, praktek
memberikan uang zakat (Baitul Mal) dalam jumlah besar kepada mustahiq sehingga
dapat digunakan sebagai modal, sudah ditemukan sejak masa Rasulullah sendiri. Sedang
landasan atau dalil untuk menjadikan uang (barang) milik baitul mal yang
seharusnya dibagikan menjadi milik pribadi, tetapi tetap ditahan sebagai milik
umum (umat) dan hanya hasilnya yang dibagikan kepada para mustahiq telah
dilakukan di masa Umar dan diterima pada masa sesudahnya hampir secara
aklamasi.
Perubahan pendistribusian zakat dari
pola konsumtif ke pola pruduktif menurut penulis sama saja dengan upaya
mengubah pola pikir yang menetapkan adanya kewajiban zakat pada penghasilan
dari sektor jasa yang sebelumnya tidak diterima oleh sebagian ulama, namun
diterima dan bahkan dikembangkan oleh mayoritas ulama. Namun dalam kasus kita
dia Aceh, ada perbedaan yang perlu diingat, kewajiban zakat atas penghasilan
dari sektor jasa sudah diwajibkan oleh Qanun Aceh secara jelas dan tegas,
sedang izin pembagian zakat secara produktif oleh Baitul Mal belum diatur
secara jelas. Qanun hanya menyatakan bahwa zakat yang terkumpul oleh Baitul Mal
(penghasilan dan tabungan) harus dibagikan kepada senif yang delapan, yang
sudah disebutkan di dalam Al-qur’an.
Karena itu tugas amil pada masa
sekarang (Baitul Mal) menurut penulis adalah membuktikan secara nyata bahwa
pembagian zakat secara produktif adalah lebih baik dari pembagian zakat secara
konsumtif; dan uang zakat yang ditahan (yang dijadikan modal dan dibagikan
secara bergulir kepada para mustahiq) dapat dijaga dengan baik, sehingga
selamat dari penyelewengan dan tetap menjadi milik umat (milik orang miskin)
yang akan dipergilirkan diantara mereka sampai semua mereka menjadi kaya atau
keluar dari kemiskinan. Uang zakat yang dipergulirkan ini (yang dikelola secara
produktif) harus dapat dijaga tetap menjadi uang (harta) milik para mustahiq
zakat (fakir dan miskin), tidak akan diselewengkan menjadi milik orang kaya atau
orang yang tidak berhak menerima zakat.
Kalau Baitul Mal tidak sanggup
menjaga harta zakat dengan baik, tidak dapat menjamin bahwa yang berhak
menerima zakat secara produktif tersebut adalah orang fakir atau miskin, maka
pendistribusian zakat secara produktif jelas tidak dapat diterima, sama seperti
tidak dapat diterimanya pembagian zakat secara konsumtif yang salah sasaran.
Demikian makalah ini penulis
sampaikan, wallahu a`lam bish shawab, semoga Allah memberikan hidayah
dan keberanian kepada kita untuk mencari kebenaran, untuk menerimanya dan
memperbaikinya kembali sekiranya ditemukan kebenaran yang lebih baik dan lebih
baik lagi. Kepada Allah kita berserah diri dan kepada Nya pula kita mohon
hidayah dan perlindungan. Amin.
(Makalah
ditulis atas permintaan Baitul Mal Provinsi untuk acara Rapat Kerja dan
Bimbingan Teknis Baitul Mal Kabupaten / Kota se Aceh, Banda Aceh 28 s/d 30 Juli
2009 M bertepatan 6 s/d 8 Sya`ban 1430 H.)
Daftar
kepustakaan:
Badan Amil Zakat Nasional, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, BAZNAS,
Jakarta, 2001.
Baitul Mal Aceh, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun2007 dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007,
Baitul Mal Aceh, Banda Aceh, 2008.
Biro Hukum dan Humas Setda Prov. NAD,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan
Aceh, Biro Hukum dan Humas Setda Prov. NAD, Banda Aceh, 2006.
Said Sabiq., As, Fiqh-us Sunnah,
Dar-ul Fath, Kairo, cet. 2, 1999 (empat jilid).
Syafi`i., Muhammad bin Idris Asy, Al-Um,
Dar-ul Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut, Libanon, cet. 1, 1993 (sembilan jilid).
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam
Kontemporer, Cakrawala, Yogyakarta, cet, 1, 2006.
Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat
untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua,
memiliki kekuatan
ingatan; ketiga, memiliki kekuatan
hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut
menjadi sebuah tulisan.
0 Response to "Kebijakan Pemerintah Di Bidang Pemberdayaan Zakat"
Post a Comment