iklan1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah
satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhan saja (ibadah) melainkan juga mengatur hubungan antar manusia dengan
manusia (muamalah). Hal ini dibuktikan dalam kitab suci I
slam yakni al-Qur’an yang di dalamnya memuat berbagai macam aspek ilmu b
aik ilmu dunia maupun
akhirat dan aturan-aturan tertentu untuk tujuan kemaslahatan manusia. Selain
itu, terdapat pula hadits yang berfungsi untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an
dan memuat hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an. slam yakni al-Qur’an yang di dalamnya memuat berbagai macam aspek ilmu b
Dalam pengambilan hukum, ulama
berusaha untuk memahami dan menafsirkan apa-apa yang dimuat dalam al-Qur’an.
Hal ini dikarenakanal-Qur’an bersifat global dan berfungsi sebagai sumber hukum
dalam islam. Pengambilan hukum tersebut dalam islam disebut dengan istimbath
al-ahkam. Hasil dari istimbath al-ahkam tersebut dibungkus ke dalam
sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu fiqh.
Salah satu bagian dari ilmu fiqh
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia serta urusan keduniawian adalah
fiqh muamalah. Sebagai makhluk social, manusia pasti memerlukan manusia lain,
oleh karena itu islam memperhatikan hal tersebut dan menganggapnya sebagai
sesuatu yang urgen dan vital. Salah satu contoh yaitu tidak semua orang
memiliki barang yang ia butuhkan, sedangkan orang lain memiliki barang
tersebut, dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, maka akan terjadi
suatu transaksi. Kesepakatan tersebut timbul apabila kedua belah pihak telah
terikat satu sama lain dalam suatu ijab dan qabul. Inilah yang
disebut dengan akad dalam islam. Akad tersebut digunakan dalam melakukan suatu
transaksi maupun kerjasama dengan orang lain. Dari paparan di atas, penulis
tertarik untuk menyusun sebuah yang membicarakan tentang konsep akad dalam akad
dari segi fungsinya.
BAB II
A.Pengertian
Akad
Dalam
Al-Qur’an, ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yakni al-‘aqdu
dan al-‘ahdu. Kata al-‘aqdu terdapat dalam QS. al-Maidah (5): 1.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ
إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ
اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ. (المائدة: 1)
“Wahai
orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad. Hewan ternak dihalalkan bagimu,
kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika
kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah Menetapkan hukum
sesuai dengan yang Dia Kehendaki.”
Secara
etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan, perjanjian, dan
pemufakatan (al-ittifaq).[1]
Dikatakan ikatan karena memiliki maksud menghimpun atau mengumpulkan dua ujung
tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung
dan menjadi seutas tali yang satu.[2]
Sedangkan menurut Wahbah Az-zuhaily, yaitu[3]
الربط
بين أطراف الشيء سواء أكان ربطًا حسييًا أم معنويًا من جانبٍ أو من جانبين
“Ikatan
antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari
satu segi maupun dari dua segi.”
Sedangkan
al-‘ahdusecara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji
atau perjanjian.[4] Kata al-‘ahduterdapat
dalam QS. Ali Imran (3): 76.
بَلَى
مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ. (آل
عمران: ٧٦)
“Sebenarnya barangsiapa menepati janji
dan bertakwa, maka sungguh, Allah Mencintai orang-orang yang bertakwa.”
Pengertian akad
secara terminology, yang dalam hal ini dikemukakan oleh ulama fiqh, ditinjau
dari dua segi yaitu:[5]
1.
Pengertian Umum
Pengertian akad dalam arti
umum hampir sama dengan pengertian akad secara bahasa. Hal ini dikemukakan oleh
ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:
كل ما عزم المرء على فعله سواءٌ صدر بإرادةٍ منفردةٍ
كالوقف والإبرء والطلاق واليمين أم إحتاج إلى إرادتين في إنشائه كالبيع والإيجار
والتوكيل والرهن.
“Segala
sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri,
seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.”
2.
Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti
khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu:
إرتباط إيجابٍ بقبولٍ على وجهٍ مشروعٍ يثبت أثره في
محله.
“Perikatan
yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak
pada objeknya.”
Dalam
mu’amalah (transaksi bisnis)istilah yang paling umum digunakan adalah
istilah al-‘aqdu. Karena dalam menjalankan sebuah transaksi harus
terjadi perikatan yang timbul dari kesepakatan dalam sebuah perjanjian yang
dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Abdoerrauf, suatu perikatan
(al-‘aqdu) terjadi melalui tiga tahap, yaitu:[6]
1.
Al-‘Ahdu (perjanjian),
yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat
orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut.
2.
Persetujuan, yaitu
pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yag dinyatakan oleh pihak pertama.
Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3.
Apabila dua janji
tersebut dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah al-aqdu.
Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan
lagi al-‘ahdu melainkan al-‘aqdu.
Misalnya,
Ahmad menyatakan janji bahwa ia akan menjual sebuah rumah, kemudian Mahmud
menyatakan janji bahwa ia akan membeli sebuah rumah, maka dalam hal ini mereka
berdua berada pada tahap al-‘ahdu. Apabila mereka telah bersepakat
mengenai harga rumah tersebut, maka terjadilah persetujuan. Kemudian Mahmud
memberikan uang muka sebagai tanda jadi untuk membeli rumah Ahmad, maka terjadi
perikatan (al-‘aqdu) di antara keduanya.
A.
Pembagian Akad dalam
Hukum Islam
Para
ulama fiqh telah mengklasifikasikan jenis-jenis akad yang ditinjau dari
berbagai segi, antara lain:
1.
Dari segi keabsahannya menurut
syara’, maka akad dibagi menjadi dua:[7]
a.
Akad shahih
Akad yang telah
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan oleh syariat. Hukum dari akad shahih
ini adalah berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat
bagi pihak-pihak yang berakad. Akad shahih menurut ulama Hanafi dan
Maliki terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1)
Akad nafiz (sempurna
untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan
syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannnya.
Misalnya,[8]
para pihak yang berakad memenuhi syarat kecakapan untuk melakukan akad jual
beli terhadap objek tertentu hukumnya sah, setelah terjadi kesepakatan.
2)
Akad mauquf, yaitu
akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak
memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu.
Misalnya, Ahmad
memberi uang sebesar Rp 1.000.000 kepada Mahmud untuk membeli seekor kambing.
Ternyata di tempat penjual kambing, jumlah uang tersebut dapat membeli dua ekor
kambing, sehingga Mahmud membeli dua ekor kambing. Keabsahan akad jual beli dua
ekor kambing ini amat bergantung kepada persetujuan karena Mahmud diperintahkan
hanya membeli seekor kambing. Apabila Ahmad menyetujui akad yang telah
dilakukan Mahmud, maka jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui Ahmad,
maka jual beli tersebut tidak sah. Akan tetapi, ulama Syafi’i dan Hambali
menganggap jual beli mauquf ini
sebagai jual beli yang batil.
Dalam fiqh, akad
diatas biasa disebut dengan al-‘aqad al-fudhuli, yaitu akad yang
keabsahannya berlaku bila telah telah mendapat persetujuan dari pemilik aslinya
(yang mewakili).
b.
Akad ghairu shahih
Akad yang terdapat
kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad
itu tidak tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama
Hanafi membagi akad ghairu shahih itu menjadi dua macam, yaitu:
1)
Akad batil yaitu
akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari
syara’.
Misalnya, objek
jusl beli itu tidak jelas atau terdapat unsur tipuan (gharar), seperti
menjual ikan dalam lautan atau salah satu pihak tidak cakap bertindak hukum.
2)
Akad fasid adalah
akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak
jelas.
Misalnya, menjual rumah
yang tidak jelas tipe, jenis, dan bentuknya, sehingga menimbulkan perselisihan
antara penjual dan pembeli. Jual beli ini dianggap sah apabila unsur-unsur yang
menyebabkan ke-fasid-annya itu dihilangkan yakni dengan menjelaskan
tipe, jenis dan bentuk rumah yang dijual tersebut.
Akan tetapi, jumhur ulama’ fiqh menyatakan bahwa akad
yang batil dan akad yang fasid mengandung esensi yang sama, yaitu
tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan akibat hukum apapun.
2.
Ditinjau dari segi
penamaannya, para ulama fiqih membagi akad menjadi dua macam, yaitu:[9]
a.
Akad musammah yaitu
akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara’ serta dijelaskan hokum-hukumnya,
seperti jual bei, sewa menyewa, perkawinan, dsb.
b.
Akad ghairu musammah yaitu
akad yang penamaannya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka
di sepanjang zaman dan tempat, seperti istishna’, bai’ al-wafa’, dsb.
3.
Ditinjau dari segi
disyariatkan atau tidak, terbagi dua yaitu:[10]
a.
Akad musyara’ah yaitu
akad-akad yang dibenarkan syara’, umpamanya jual beli, jual harta yang ada
harganya dan termasuk juga hibah, dan rahn.
b.
Akad mamnu’ah yaitu
akad-akad yang dilarang syara’, seperti menjual anak binatang yang masih dalam
kandungan.
4.
Ditinjau dari sifat
bendanya, akad dibagi dua, yaitu:[11]
a.
Akad ‘ainiyah yaitu
akad yang objeknya berupa benda berwujud. Karena objeknya berupa benda, berarti
hokum asalnya adalah mubah selama tidak ada dalil-dalil yang mengharamkannya.
Dalam akad yang bersifat ‘ainiyah, kesempurnaan akad tergantung pada
penyerahan benda (‘ayn) sebagai objek akad. Misalnya dalam transaksi
jual beli, akad dikatakan sempurna apabila benda yang dijadikan objek
perdagangan teah diserahkan kepada para pihak.
b.
Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu
akad yang kesempurnaannya tergantung pada objek perbuatan seseorang (fi’il)
untuk melaksanakan akad. Pada akad ini, kesempurnaannya hanya didasarkan pada
bentuk perbuatan akadnya saja dan tidak mengharuskan adanya penyerahan objek
tertentu yang berupa benda. Karena objeknya berupa perbuatan, maka ketentuan
yang berlaku adalah kaidah fiqh yang menyatakan bahwa hokum asal perbuatan
manusia terikat dengan hokum syara’. Misalnya, benda yang diwakafkan otomatis
menjadi benda wakaf.
5.
Ditinjau dari bentuk atau
cara melakukan akad. Dari sudut ini, dibagi dua pula, yaitu:[12]
a.
Akad asy-Syakli, yaitu
akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misalnya,
pernikahan yang harus dilakukan dihadapan para saksi, akad yang menimbulkan hak
bagi seseorang atas tanah, yang oleh undang-undang mengharuskan hak itu
dicatatkan di kantor agraria.
b.
Akad ar-Radha’I,
yaitu akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya, jual beli yang tidak
perlu di tempat yang ditentukan dan tidak perlu dihadapan pejabat.
6.
Ditinjau dari dapat
tidaknya dibatalkan akad. Dari segi ini akad dibagi empat macam:[13]
a.
Akad yang tidak dapat
dibatalkan, yaitu aqduzziwaji. Akad nikah tak dapat dicabut, meskipun
terjadinya dengan persetujuan kedua beah pihak, akad nikah hanya dapat diakhiri
dengan jalan-jalan yang ditetapkan syari’at, seperti talak, khulu’, atau karena
keputusan hakim.
b.
Akad yang dapat
dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, seperti jual beli, shulh,
dsb.
c.
Akad yang dapat
dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak pertama. Misal, rahn dan kafalah
merupakan keharusan bagi si rahin dan si kafil, tidak
merupakan keharusan oleh si murtahin (orang yang memegang gadai) atau si
makful lahu (orang yang memegang tanggungan). Si murtahin boeh
melepaskan rahn kapan saja dia kehendaki.
d.
Akad yang dapat dibatakan
tanpa menunggu persetujuan pihak kedua, yaitu seperti: wadi’ah, ‘ariyah, dan
wakalah.
7.
Ditinjau dari segi
tukar-menukar hak. Dari segi ini akad dibagi dua:[14]
a.
Akad muawadhah yaitu
akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli,
sewa-menyewa, shulh, terhadap harta dengan harta.
b.
Akad tabarru’at yaitu
akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah dan ‘ariyah.
c.
Akad yang mengandung tabarru’pada
permulaan tetapi menjadi muawadhah pada akhirnya, seperti qardh dan
kafalah. Qardh dan kafalah ini permulaannya tabarru’, tetapi
pada akhirnya menjadi muawadhah ketika si kafil meminta kembali
uangnya kepada si madin.
8.
Ditinjau dari segi waktu
berlakunya, terbagi dua yaitu:[15]
a.
Akad fauriyah yaitu
akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama. Misalnya, jual
beli walaupun dengan harga yang ditangguhkan. Demikian pula shulh, qardh, dan
hibah. Semua akad ini dipandang telah selesai apabila masing-masing pihak telah
menyempurnakan apa yang dikehendaki oleh akad.
b.
Akad mustamirrah dinamakan
juga akad zamaniyah yaitu akadd yang pelaksanannya memerlukan waktu yang
menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Contohnya: ijrah, ‘ariyah,
wakalah, dan syirkah. Pelaksanaan akad-akad ini adalah dengan
selesai digunakannya manfaat yang disewa, atau yang dipinjam atau dilaksanakan
tugas-tugas perkongsian.
9.
Ditinjau dari
ketergantungan dengan yang lain. Akad dari segi ini dibagi dua, yaitu:[16]
a.
Akad ‘asliyah yaitu
akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya sesuatu yang lain, misalnya
jual beli, ijarah, wadi’ah, ‘ariyah.
b.
Akad tabi’iyah yaitu
akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan sesuatu yang lain,
seperti: rahn dan kafalah. Rahn tidak dilakukan apabila
tidak ada utang.
10. Ditinjau
dari segi maksud dan tujuan yang akan dicapai. Akad dapat dibedakan menjadi
beberapa macam:[17]
a.
Akad at-Tamlikiyah merupakan
akad yang bertujuan untuk kepemilikan. Objek kepemilikan dapat diwujudkan dalam
bentuk benda maupun manfaat. Misalnya jual beli, ijarah.
b.
Akad al-Isytirak merupakan
akad yang bertujuan melakukan kerjasama menjalankan suatu usaha berdasarkan
prinsip bagi hasil. Termasuk dalam kategori ini adalah semua akad musyarakah
dan mudharabah, muzara’ah, musyaqah.
c.
Akad al-Ithlaq yaitu
suatau akad yang bertujuan untuk menyerahkan tanggung jawab kewenangan (tauliyah)
kepada orang lain. Misalnya, wakalah.
d.
Akad at-Tausiq yaitu
akad yang dimaksudkan untuk menanggung atau menjamin sesuatu yang menjadi
kewajiban pihak lain. Misalnya, kafalah, hawalah, dan rahn.
e.
Akad al-Hifdh yaitu
akad yang dimaksudkan untuk memelihara harta benda yang diamanahkan seseorang
kepada pihak lain. Misalnya wadi’ah.
11. Ditinjau
dari kompensasi akad yang akan diperoleh, dibagi dua, yaitu:[18]
a.
Akad tabarru’yaitu
akad yang dimaksud untuk menolongdan murni semata-mata karena mengharap ridha dan
pahala dari Allah, sama sekali tidak ada unsur mencari “return” ataupun
motif. Akad yang termasuk kategori ini adalah: hibah, waqaf, wasiat, dll.
b.
Akad Tijarahyaitu
akad yang dimaksudkan untik mencari dan mendapatkan keuntungan berdasarkan
rukun dan syarat yang harus dipenuhi semuanya. Akad yang termasuk dalam
kategori ini adalah: murabahah, salam, musyarakah, dll.
C.
Rukun-Rukun Akad
Kontrak-kontrak
dalam Islam mengandungi rukun dan syarat yang perlu dipatuhi. Kegagalan
memenuhi segala rukun dan syarat tersebut akan memberi kesan buruk kepada akad.
Jika akad tersebut tidak sah, maka segala yang berkaitan dengannya juga tidak
sah. Sebagai contoh, sekiranya seorang yang kurang siuman mendermakan sejumlah
uang, maka derma tersebut tidak sah karena syarat orang yang memberikan
sumbangan adalah orang baligh dan berakal.
Akad hanya
boleh terbentuk sekiranya cukup rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh Islam.
Menurut mayoritas ulama, akad terbentuk melalui tiga rukun yaitu: l Al-'aqidain: Dua pihak yang berakad. Yaitu
semua pihak yang terlibat secara langsung dengan akad seperti penjual dan
pembeli dalam akad bai' (jual beli)
serta penyumbang modal dan pekerja dalam akad mudharabah. 2. Mahallul aqd: objek akad yaitu sesuatu yang
hendak diakadkan seperti kereta dalam akad sewa dan beli atau rumah dalam akad Bai' Bithaman Ajil (BBA). 3. Sighah: yaitu ijab (tawaran) dan qabul
(penerimaan). Ia dilafazkan secara lisan atau tertulis oleh mereka yang
berakad.
Para ulama
fikah dalam Mazhab Hanafi berbeda pandangan dengan mayoritas ulama. Bagi mereka,
rukun akad hanya satu saja yaitu: sighah
(ijab dan qabul). Al-aqidain dan mahallul aqd adalah syarat akad karena ia bersifat internal (dakhiliy) dan teknikal.
D. Syarat-syarat akad
1.Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus. Syarat akad yang bersifat umum adalah syarat–syarat akad yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-
syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah:
a. Pelaku akad cakap bertindak (ahli).
b. Yang dujadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c. Akad itu diperbolehkan syara’dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang.
d. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah.
e. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul.
f. Ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad menjadi batal.
Sedangkan syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi(tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
2. Syarat
Pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara’.
3. Syarat Kepastian Akad (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalika
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara’.
3. Syarat Kepastian Akad (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalika
Pembagian Akad
Pembagian akad dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1. Berdasarkan ketentuan syara’
a. Akad shahih
akad shahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’. Dalam istilah ulama Hanafiyah, akad shahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syara’ pada asalnya dan sifatnya.
b. Akad tidak shahih
Adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiyah menetapkan akad bathil dan fasid termasuk kedalam jenis akad tidak shahih, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dengan batal.
Menurut ulama Hanafiyah, akad batal adalah akad yang tidak memenuhi memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh salah seorang yang bukan golongan ahli akad. Misalnya orang gila, dan lain-lain. Adapun akad fasid adalah akad yang yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara’ seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan percekcokan.
2. Berdasarkan ada dan tidak adanya qismah:
a. akad musamah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
b. Ghair musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan belum ditetapkan hukumnya.
3. Berdasarkan zat benda yang diakadkan :
a. benda yang berwujud
b. benda tidak berwujud.
4. Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya :
a. Akad munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksaan akad adalah pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan adanya akad.
b. Akad mu’alaq adalah akad yand didalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
c. Akad mu’alaq ialah akad yang didalam
pelaksaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksaan akad,
pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.
Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat
hukum sebelum tidanya waktu yang ditentukan.
5. Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad :
a. Akad musyara’ah ialah akad-akad yang debenarkan syara’ seperti gadai dan jual beli.
b. Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak kambing dalam perut ibunya.
6. Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek dalam akad :
a. akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli.
b. Akad ghair ‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barangg karena tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah.
7. Berdasarkan cara melakukannya:
a. akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
b. Akad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya.
8. Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad :
a. akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad
b. akad mauqufah, yaitu akad –akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta)
9. Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan :
a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah bisa diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara’
b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dapat dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain.
c. Akad lazimah yang menjadii hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak. Seperti titipan boleh diambil orang yang menitip dari orang yang dititipi tanpa menungguu persetujuan darinya. Begitupun sebalikanya, orang yang dititipi boleh mengembalikan barang titipan pada orang yang menitipi tanpa harus menunggu persetujuan darinya.
10. Berdasarkan tukar menukar hak :
a. Akad mu’awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual beli
b. Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan seperti akad hibah.
c. Akad yang tabaru’at pada awalnya namun menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya seperti akad qarad dan kafalah.
11. Berdasarkan harus diganti dan tidaknya :
a. akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad.
b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti titipan.
c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman dan segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn.
12. Berdasarkan tujuan akad :
a. tamlik: seperti jual beli
b. mengadakan usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah
c. tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan kafalah
d. menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah
e. mengadakan pemeliharaan seperti ida’ atau titipan
13. Berdasarkan faur dan istimrar :
a. akad fauriyah, yaitu akad-akad yang tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual beli.
b. Akad istimrar atau zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti I’arah.
14. Berdasarkan asliyah dan tabi’iyah :
a. akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I’arah.
b. Akad tahi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.
BAB III
5. Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad :
a. Akad musyara’ah ialah akad-akad yang debenarkan syara’ seperti gadai dan jual beli.
b. Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak kambing dalam perut ibunya.
6. Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek dalam akad :
a. akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli.
b. Akad ghair ‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barangg karena tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah.
7. Berdasarkan cara melakukannya:
a. akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
b. Akad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya.
8. Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad :
a. akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad
b. akad mauqufah, yaitu akad –akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta)
9. Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan :
a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah bisa diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara’
b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dapat dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain.
c. Akad lazimah yang menjadii hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak. Seperti titipan boleh diambil orang yang menitip dari orang yang dititipi tanpa menungguu persetujuan darinya. Begitupun sebalikanya, orang yang dititipi boleh mengembalikan barang titipan pada orang yang menitipi tanpa harus menunggu persetujuan darinya.
10. Berdasarkan tukar menukar hak :
a. Akad mu’awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual beli
b. Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan seperti akad hibah.
c. Akad yang tabaru’at pada awalnya namun menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya seperti akad qarad dan kafalah.
11. Berdasarkan harus diganti dan tidaknya :
a. akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad.
b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti titipan.
c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman dan segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn.
12. Berdasarkan tujuan akad :
a. tamlik: seperti jual beli
b. mengadakan usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah
c. tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan kafalah
d. menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah
e. mengadakan pemeliharaan seperti ida’ atau titipan
13. Berdasarkan faur dan istimrar :
a. akad fauriyah, yaitu akad-akad yang tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual beli.
b. Akad istimrar atau zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti I’arah.
14. Berdasarkan asliyah dan tabi’iyah :
a. akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I’arah.
b. Akad tahi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Pengertian
Secara etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan,
perjanjian, dan pemufakatan (al-ittifaq). Pengertian akad secara
terminologi, yang dalam hal ini dikemukakan oleh ulama fiqh, ditinjau dari dua
segi yaitu:
1.
Pengertian Umum
Pengertian ini
dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:
كل ما عزم المرء على فعله سواءٌ صدر بإرادةٍ
منفردةٍ كالوقف والإبرء والطلاق واليمين أم إحتاج إلى إرادتين في إنشائه كالبيع
والإيجار والتوكيل والرهن.
2.
Pengertian Khusus
Pengertian akad
dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu:
إرتباط إيجابٍ
بقبولٍ على وجهٍ مشروعٍ يثبت أثره في محله.
B.
Pembagian Akad dalam Hukum Islam
1.
Dari segi keabsahannya menurut syara’, maka
akad dibagi menjadi dua:
a.
Akad shahih
b.
Akad ghairu shahih
2.
Ditinjau dari segi penamaannya, para ulama
fiqih membagi akad menjadi dua macam, yaitu:
a.
Akad musammah
b.
Akad ghairu musammah
3.
Ditinjau dari segi disyariatkan atau tidak,
terbagi dua yaitu:
a.
Akad musyara’ah
b.
Akad mamnu’ah
4.
Ditinjau dari sifat bendanya, akad dibagi dua, yaitu:
a.
Akad ‘ainiyah
b.
Akad ‘ghairu ainiyah
5.
Ditinjau dari bentuk atau cara melakukan akad.
Dari sudut ini, dibagi dua pula, yaitu:
a.
Akad asy-Syakli
b.
Akad ar-Radha’i
6.
Ditinjau dari dapat tidaknya dibatalkan akad.
Dari segi ini akad dibagi empat macam:
a.
Akad
yang tidak dapat dibatalkan
b.
Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan
kedua belah pihak
c.
Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu
persetujuan pihak pertama
d.
Akad yang dapat dibatakan tanpa menunggu
persetujuan pihak kedua
7.
Ditinjau dari segi tukar-menukar hak. Dari
segi ini akad dibagi dua:
a.
Akad muawadhah
b.
Akad tabarru’at
c.
Akad yang mengandung tabarru’pada permulaan
tetapi menjadi muawadhah pada akhirnya
8.
Ditinjau dari segi waktu berlakunya, terbagi
dua yaitu:
a.
Akad fauriyah
b.
Akad mustamirrah
9.
Ditinjau dari ketergantungan dengan yang lain.
Akad dari segi ini dibagi dua, yaitu:
a.
Akad ‘asliyah
b.
Akad tabi’iyah
10.
Ditinjau dari segi maksud dan tujuan yang akan
dicapai. Akad dapat dibedakan menjadi beberapa macam:
a.
Akad at-Tamlikiyah
b.
Akad al-Isytirak
c.
Akad al-Ithlaq
d.
Akad
at-Tausiq
e.
Akad al-Hifdh
11.
Ditinjau dari kompensasi akad yang akan
diperoleh, dibagi dua, yaitu:
a.
Akad tabarru’
b.
Akad tijarah
Daftar Pustaka
1.
Prof. Dr. H. Rachmat
Syafe’I, M.A.2002. Fiqh Muamalah.
Bandung : Pustaka Setia
2.
Djamil,Faturrahman.2001. “Hukum Perjanjian
Syariah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman,
et al. Bandung: Citra Aditya Bakti
[1] Faturrahman Djamil, “Hukum
Perjanjian Syariah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus
Badrulzaman, et al., cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), 247
[2] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh
Muamalah Kontekstual, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 75
[6]Abdoerrauf, Al-Qur’an dan Ilmu
Hukum: A Comparative Study), (Djakarta: Bulan Bintang, 1970), 122-123
[10] Teuku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. 3, Edisi 2, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001), 109
0 Response to "Makalah Fiqh Muamalah"
Post a Comment