Peran Lembaga Tuha Peut Dalam Masyarakat Aceh

iklan1
PERAN LEMBAGA TUHA PEUT DALAM MASYARAKAT ACEH

PENDAHULUAN
Lembaga tuha peut merupakan salah satu lembaga adat dalam masyarakat Aceh yang memiliki otoritas dalam menjaga eksistensi hukum adat secara
turun temurun. Lembaga ini terdiri dari empat unsur di dalamnya yaitu unsur ulama, unsur adat, unsur cerdik pandai, dan unsur tokoh masyarakat. Otoritas lembaga tuha peut antara lain mengangkat dan memberhentikan geuchik, dan menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Disfungsionalisasi lembaga tuha peut akan mudah terjadi sengketa/konflik secara berkesinambungan dalam masyarakat, seperti terjadi sengketa tapal batas lahan pertanian, sengketa batas desa/gampong, masalah pembagian air sawah, etika masuk sebuah gampong dan lain sebagainya. Kemudian tidak sedikit juga terlihat sengketa masyarakat seperti sengketa antarwarga, sengketa keluarga, dan sengketa tanah. Namun demikian sengketa-sengketa itu selama ini telah diselesaikan melalui kebijakan para ”ureung tuha gampong” secara adat gampong. Penyelesaian sengketa dilakukan melalui beberapa pendekatan di antaranya; nasehat, pemumat jaroe, pesijuek, dan doa.
Selama ini kita melihat lembaga adat gampong dalam masyarakat Aceh tidak difungsikan dengan baik, padahal lembaga ini memiliki pengaruh yang besar bagi kemaslahatan masyarakat. Indikator ini tidak terlepas dari beberapa hal berikut, salah satu faktor yang paling dominan adalah pengaruh dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang penyeragaman pada lembaga adat desa dengan tingkat kelurahan. Oleh sebab itu revitalisasi kerjasama serta koordinasi yang intens dan kontinyu antara pemerintah dan lembaga adat tuha peut merupakan sebuah kemutlakan yang harus dijalin. Peran dan fungsi lembaga ini perlu dikembangkan dan diberikan apresiasi dengan memberikan dukungan moril dan material oleh pemerintah. Kita akan melihat ketika lembaga adat gampong di Aceh berfungsi dengan baik maka masyarakat akan hidup damai penuh dengan keakraban antara mereka sebagaimana diamanatkan dalam UUPA dan MoU Helsinki beberapa tahun yang yang lalu. Kedamaian dan kesajahteraan masyarakat merupakan dambaan semua kita. Pemerintah dalam satu sisi, dan masyarakat di sisi lain. Dalam sistuasi aman dan damai pemerintah akan mudah melakukan pemerataan pembangun masyarakat dan ekonomi masyarakat akan terus hidup, masyarakat dapat berkerja ke ladang, ke sawah tidak perlu takut dan wasa-was.




Pasal dan uupa yang mengatur pemerintahn daerah atau gampong
1.         Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwa tuha peut merupakan unsur pemerintahan gampong yang dipisahkan dari pengertian pemeintahan gampong dan anggotanya dipilih dari dan oleh masyarakat gampong setempat
2.         Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang penyeragaman pada lembaga adat desa dengan tingkat kelurahan
 3.        Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 1996 tentang Mukim sebagai Kesatuan Masyarakat Adat dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Tahun 1996 Nomor 195 Seri D Nomor 194);
4.         Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
5.         Peraturan pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa
 6.        Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2002 secara tegas menyatakan bahwa sebagai perwujudan demokrasi di gampong dibentuk tuha peut
7.         Qanun Nomor 5 Tahun 2003 bahwa peraturan-peraturan gampong (reusam)
8.         Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2003 bahwa pemerintah gampong
9.         Qanun No. 5 Pasal 28 tahun 2003 tentang Tugas dan Fungsi Tuha Peut
10.       Qanun No. 8 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Gampong Bab Tuha Peut Gampong

 11.      Qanun No. 8 Tahun 2004 Tentang Unsur Tuha Peut Gampong 12.            UUPA Pasal 115 Tahun 2008 Tentang Tuha Peut Gampong
13.       UUPA Pasal 1 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Gampong


PENGERTIAN TUHA PEUT
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa serta Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2002 secara tegas menyatakan bahwa sebagai perwujudan demokrasi di gampong dibentuk tuha peut atau sebutan lain yang sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya yang berkembang di gampong yang bersangkutan. Berbeda dengan lembaga musyawarah desa sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwa tuha peut merupakan unsur pemerintahan gampong yang dipisahkan dari pengertian pemeintahan gampong dan anggotanya dipilih dari dan oleh masyarakat gampong setempat. Tuha peut atau sebutan lainnya adalah badan perwakilan yang terdiri dari unsur ulama, tokoh masyarakat, termasuk pemuda dan perempuan, pemuka adat, dan cerdik pandai/cendikiawan yang ada di gampong yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat reusam gampong, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Sedangkan dalam buku panduan himpunan peraturan daerah memberi pengertian tentang tuha peut adalah sebagai badan perwakilan gampong, merupakan wahana untuk mewujudkan demikratilisasi, keterbukaan dan partispasi rakyat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Dari pengertian yang dijelaskan di atas dapat diketahui bahwa tuha peut adalah sebuah lembaga adat gampong atau lembaga perwakilan masyarakat gampong yang merupakan perwakilan dari segenap unsur masyarakat.



STRUKTUR TUHA PEUT
Kedudukan tuha peut dalam pemerintahan gampong adalah sejajar dan menjadi mitra kerja dari pemerintahan gampong. Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 76/2001 serta Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2003 bahwa pemerintah gampong adalah pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintah gampong dan badan perwakilan gampong.
Dalam penertian, tuha peut merupakan salah satu unsur pemerintahan gampong yang melaksanakan kegiatan pemerintah bersama-sama dengan unsur pemerintan gampong. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur pemerintahan gampong adalah geuchik dan perangkat gampong (sekretaris, kepala urusan, pelaksana teknis, dan kepala dusun).
Di samping itu, kesetaraan tuha peut dengan unsur pemerintahan gompong secara tegas tampak pada proses pembuatan reusam gampong. Prinsip ini telah disebutkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, PP 76 Tahun 2001 dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 bahwa peraturan-peraturan gampong (reusam) adalah semua ketentuan yang bersifat mengatur yang telah ditetapkan oleh geuchik setelah mendapat persetujuan dari tuha peut.
Dengan kedudukannya yang sejajar dapat dipahami bahwa usulan rancangan reusam gampong dilakukan oleh geuchik/inisiatif tuha peut dengan ketentuan kedua belah pihak terlebih dahulu mengadakan musyawarah guna memperoleh persetujuan dari masing-masing pihak dalam penerapan reusam gampong tersebut.
Kedudukan tuha peut yang sejajar dengan pemerintahan gampong sebagai konsekwensinya adalah tertutup kemungkinan adanya tumpang tindih antara unsur tuha peut dan unsur pemerintahan gampong. Mengingat kedua unsur ini sama-sama mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mengatur sistem kehidupan masyarakat gampong. Bahkan tuha peut atau unsur tuha peut dilarang rangkap jabatan menjadi aparat pemerintahan gampong.
Mengenai pelaksanaan tata kehidupan adat istiadat di Aceh, diatur dalam berbagai Undang-Undang Republik Indonesia. Dalam penerapannya sudah terjadi beberapa kali perubahan antara lain sebagai berikut:
1.   Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
2.                      Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
3.                      Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
4.                      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 17 Seri D Nomor 7);
5.                      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 18 Seri D Nomor 8);
6.                      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 8 Seri D Nomor 5);
7.                      Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03);
8.                      Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang lembaga Adat;
9.                      Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

B. Pengertian
Dengan lahirnya Qanun Nomor 09 Tahun 2008 Tentang lembaga adat maka mengenai tatanan kehidupan masyarakat adat Aceh dapat di jelaskan sebagai berikut:
1.  Lembaga Adat
Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.
2.   Mukim
Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.
3.   Tuha Lapan
1.       Pada tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat dibentuk Tuha Lapan atau nama lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
2.       Tuha Lapan atau nama lain dipilih melalui musyawarah Gampong atau nama lain atau musyawarah mukim.
3.       Tuha Lapan atau nama lain beranggotakan unsur Tuha Peut atau nama lain dan beberapa orang mewakili bidang keahlian sesuai dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau Mukim.
4.       Pengangkatan dan pemberhentian Tuha Lapan atau nama lain serta tugas dan fungsinya ditetapkan dalam musyawarah gampong atau nama lain atau mukim.
4.    Gampong
Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
      5.    Tuha Peut Gampong
Tuha Peut Gampong atau nama lain adalah unsur pemerintahan gampong yang berfungsi sebagai badan permusyawaratan gampong.

C. Tugas dan Wewenang Tuha Peut Mukim dan Gampong
1.   Tugas Tuha Peut Mukim
Tuha Peut Mukim atau nama lain mempunyai tugas:
a.    menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan mukim;
b.   merumuskan kebijakan Mukim bersama Imeum Mukim atau nama lain;
c.    memberi nasehat dan pendapat kepada Imeum Mukim atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
d.   menyelesaikan   sengketa   yang   timbul   dalam   masyarakat   bersama pemangku adat. (Pasal 20 Qanun Nomor 9 Tahun 2008)
2.   Tugas Tuha Peut Gampong
1.     Tuha Peut Gampong atau nama lain mempunyai tugas:
2.        membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan beianja gampong atau
nama lain;
3.     membahas dan menyetujui qanun gampong atau nama lain;
4.     mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong atau nama lain;
5.     menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain;
6.        merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama Keuchik atau nama
lain;
7.     memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta
maupun tidak diminta; dan
8.     menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat. (Pasal 18 Qanun Nomor 9 Tahun 2008)
3.    Wewenang Tuha Peut (Lembaga Adat)
Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) lembaga adat berwenang:
a.     menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat;
b.    membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;
c.     mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;
d.    menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syari'at Islam;
e.     menerapkan ketentuan adat;
f.     menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
g.    mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan
h.     menegakkan hukum adat.

D. Peranan Tuha Peut dalam Menyelesaikan Sengketa
(1)   Sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat meliputi:
a.    perselisihan dalam rumah tangga;
b.    sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c.    perselisihan antar warga;
d.    khalwat meusum;
e.    perselisihan tentang hak milik;
f.     pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
g.    perselisihan harta sehareukat;
h.    pencurian ringan;
i.      pencurian ternak peliharaan;
j.      pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k.     persengketaan di laut;
l.      persengketaan di pasar;
m.   penganiayaan ringan;
n.     pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
o.    pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p.    pencemaran lingkungan (skala ringan);
q.    ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r.      perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
(2)   Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan secara bertahap.
Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di Gampong atau nama lain.
(Pasal 13 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
(1)   Penyelesaian secara adat di Gampong atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas :
a.     Keuchik atau nama lain;
b.    Imeum meunasah atau nama lain;
c.     tuha peut atau nama lain;
d.    sekretaris gampong atau nama lain; dan
e.   ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
(2)  Penyelesaian secara adat di mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
a.   imeum mukim atau nama lain;
b.  imeum chik atau nama lain
c.   tuha peut atau nama lain;
d.  sekretaris mukim; dan
e.   ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
(3)   Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan Imeum Mukim atau nama lain.
(4)  Sidang musyawarah penyelesaian perselisihan/sengketa dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain, di Mesjid pada tingkat Mukim, di laot pada balee nelayan dan di tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain, Imeum Mukim atau nama lain, dan Panglima Laot atau nama lain.
(Pasal 14 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat.
(Pasal 15 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)    

E.    Peluang Dalam Pengembangan Tuha Peut
Dengan lahirnya Qanun tentang lembaga mukim Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Istiadat. Maka peluang pengambangan Tuha Peut baik Tuha Peut Mukim Maupun Tuha Peut Gampong sangat Strategis karena sudah diatur dalam berbagai aturan. Namun dalam pengembangannya perlu peran khusus dari tokoh-tokoh masyarakat untuk mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Baik fungsi maupun kewenangannya.

F.   Peran Kritis Tuha Peut Dalam Pembangunan
Sehubungan dengan adanya payung hukum terhadap keberadaan lembaga-lembaga adat di tingkat mukim dan gampong. Maka setiap perencanaan pembangunan, harus terlibat langsung untuk menyusun program-program yang dirasakan dapat membawa perubahan baik di segi mental spiritual keagamaan maupun fisik. Sehingga perubahan kehidupan masyarakat mukim dan gampong dari tahun ke tahun akan lebih baik. Misalnya, hasiI musyawarah gampong menjadi pertimbangan bagi pemerintahan kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi.

G.   Penutup
Syariat Islam adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan salah satu dari kerangka dasar agama dan ajaran Islam yang mengatur hubungan publik maupun  perdata dalam bentuk norma Ilahi.Hukum Islam telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar peraturan bangsa Indonesia dan mampu mempengaruhi praktek hukum di Indonesia, terutama dalam bidang keluarga dan sosial. Sejarah memainkan peranan yang penting, yaitu Samudera Pasai di Aceh yang merupakan tempat singgah Agama Islam pertama di Indonesia, mampu membuat doktrin Islam mempengaruhi kerajaan. Syariat Islam tersebut kemudian di terima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Perpaduan hukum tersebut kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan. Penerapan syariat Islam di Aceh yang tidak terlepas dari faktor di terimanya syariat Islam dalam tatanan hukum adat Aceh, juga disebabkan oleh faktor pejuang Aceh yang mayoritas adalah ulama. Namun meskipun secara konstitusional syariat Islam sah menjadi hukum positif Aceh, pada prakteknya hukum positif tersebut tidak seluruhnya berasal dari syariat Islam.

Demikianlah tulisan ini disusun namun masih banyak kekurangan dengan harapan adanya masukan dan saran dari berbagai pihak untuk melengkapi makalah ini. Terutama bagi praktisi/ tokoh masyarakat yang setiap hari menghadapi berbagai persoalan untuk dijadikan acuan dalam menjalankan tata kehidupan baik di tingkat Gampong maupun ditingkat mukim,

DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Ary H. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Reneka Cipta, 2000.
Kuntowijoyo. Budaya & Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999.
Kurdi, Muliadi. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa; Kajian Sosiologi Budaya dalam Masyarakat Atjeh, Cet. 1. Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2005.
Syalabi, Muhammad Mustafa. Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1986.
Ulasan berdasarkan Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemerintahan gampong.
Zarqa’, Mustafa Ahmad. Al-Madkhal al-Fiqh al’Amiy, Cet. 9, Juz. 1. Beirut: Dar al-Fikr, 1968.

0 Response to "Peran Lembaga Tuha Peut Dalam Masyarakat Aceh"

Post a Comment