iklan1
PERAN LEMBAGA TUHA PEUT DALAM MASYARAKAT ACEH
PENDAHULUAN
Lembaga tuha peut merupakan salah satu lembaga adat dalam
masyarakat Aceh yang memiliki otoritas dalam menjaga eksistensi hukum adat
secara
turun temurun. Lembaga ini terdiri dari empat unsur di dalamnya yaitu unsur ulama, unsur adat, unsur cerdik pandai, dan unsur tokoh masyarakat. Otoritas lembaga tuha peut antara lain mengangkat dan memberhentikan geuchik, dan menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Disfungsionalisasi lembaga tuha peut akan mudah terjadi sengketa/konflik secara berkesinambungan dalam masyarakat, seperti terjadi sengketa tapal batas lahan pertanian, sengketa batas desa/gampong, masalah pembagian air sawah, etika masuk sebuah gampong dan lain sebagainya. Kemudian tidak sedikit juga terlihat sengketa masyarakat seperti sengketa antarwarga, sengketa keluarga, dan sengketa tanah. Namun demikian sengketa-sengketa itu selama ini telah diselesaikan melalui kebijakan para ”ureung tuha gampong” secara adat gampong. Penyelesaian sengketa dilakukan melalui beberapa pendekatan di antaranya; nasehat, pemumat jaroe, pesijuek, dan doa.
turun temurun. Lembaga ini terdiri dari empat unsur di dalamnya yaitu unsur ulama, unsur adat, unsur cerdik pandai, dan unsur tokoh masyarakat. Otoritas lembaga tuha peut antara lain mengangkat dan memberhentikan geuchik, dan menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Disfungsionalisasi lembaga tuha peut akan mudah terjadi sengketa/konflik secara berkesinambungan dalam masyarakat, seperti terjadi sengketa tapal batas lahan pertanian, sengketa batas desa/gampong, masalah pembagian air sawah, etika masuk sebuah gampong dan lain sebagainya. Kemudian tidak sedikit juga terlihat sengketa masyarakat seperti sengketa antarwarga, sengketa keluarga, dan sengketa tanah. Namun demikian sengketa-sengketa itu selama ini telah diselesaikan melalui kebijakan para ”ureung tuha gampong” secara adat gampong. Penyelesaian sengketa dilakukan melalui beberapa pendekatan di antaranya; nasehat, pemumat jaroe, pesijuek, dan doa.
Selama ini kita melihat lembaga adat gampong dalam
masyarakat Aceh tidak difungsikan dengan baik, padahal lembaga ini memiliki
pengaruh yang besar bagi kemaslahatan masyarakat. Indikator ini tidak terlepas
dari beberapa hal berikut, salah satu faktor yang paling dominan adalah
pengaruh dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang penyeragaman pada
lembaga adat desa dengan tingkat kelurahan. Oleh sebab itu revitalisasi
kerjasama serta koordinasi yang intens dan kontinyu antara pemerintah dan
lembaga adat tuha peut merupakan sebuah kemutlakan yang harus dijalin. Peran
dan fungsi lembaga ini perlu dikembangkan dan diberikan apresiasi dengan
memberikan dukungan moril dan material oleh pemerintah. Kita akan melihat
ketika lembaga adat gampong di Aceh berfungsi dengan baik maka masyarakat akan
hidup damai penuh dengan keakraban antara mereka sebagaimana diamanatkan dalam
UUPA dan MoU Helsinki beberapa tahun yang yang lalu. Kedamaian dan
kesajahteraan masyarakat merupakan dambaan semua kita. Pemerintah dalam satu
sisi, dan masyarakat di sisi lain. Dalam sistuasi aman dan damai pemerintah
akan mudah melakukan pemerataan pembangun masyarakat dan ekonomi masyarakat
akan terus hidup, masyarakat dapat berkerja ke ladang, ke sawah tidak perlu
takut dan wasa-was.
Pasal dan uupa yang mengatur pemerintahn daerah atau
gampong
1. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 bahwa tuha peut merupakan unsur pemerintahan gampong yang
dipisahkan dari pengertian pemeintahan gampong dan anggotanya dipilih dari dan
oleh masyarakat gampong setempat
2. Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1979 tentang penyeragaman pada lembaga adat desa dengan tingkat
kelurahan
3. Peraturan Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 1996 tentang Mukim sebagai Kesatuan Masyarakat Adat
dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Tahun 1996 Nomor 195 Seri
D Nomor 194);
4. Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
5. Peraturan
pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa
6. Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2002
secara tegas menyatakan bahwa sebagai perwujudan demokrasi di gampong dibentuk
tuha peut
7. Qanun
Nomor 5 Tahun 2003 bahwa peraturan-peraturan gampong (reusam)
8. Qanun
Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2003 bahwa pemerintah gampong
9. Qanun No.
5 Pasal 28 tahun 2003 tentang Tugas dan Fungsi Tuha Peut
10. Qanun No.
8 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Gampong Bab Tuha Peut Gampong
11. Qanun No. 8 Tahun 2004 Tentang Unsur Tuha
Peut Gampong 12. UUPA Pasal 115
Tahun 2008 Tentang Tuha Peut Gampong
13. UUPA Pasal
1 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Gampong
PENGERTIAN TUHA PEUT
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan peraturan pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum
pengaturan mengenai desa serta Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2002 secara
tegas menyatakan bahwa sebagai perwujudan demokrasi di gampong dibentuk tuha
peut atau sebutan lain yang sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya yang
berkembang di gampong yang bersangkutan. Berbeda dengan lembaga musyawarah desa
sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwa tuha peut
merupakan unsur pemerintahan gampong yang dipisahkan dari pengertian
pemeintahan gampong dan anggotanya dipilih dari dan oleh masyarakat gampong
setempat. Tuha peut atau sebutan lainnya adalah badan perwakilan yang terdiri
dari unsur ulama, tokoh masyarakat, termasuk pemuda dan perempuan, pemuka adat,
dan cerdik pandai/cendikiawan yang ada di gampong yang berfungsi mengayomi adat
istiadat, membuat reusam gampong, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Sedangkan dalam buku panduan himpunan peraturan daerah
memberi pengertian tentang tuha peut adalah sebagai badan perwakilan gampong,
merupakan wahana untuk mewujudkan demikratilisasi, keterbukaan dan partispasi
rakyat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Dari pengertian yang dijelaskan di atas dapat diketahui
bahwa tuha peut adalah sebuah lembaga adat gampong atau lembaga perwakilan
masyarakat gampong yang merupakan perwakilan dari segenap unsur masyarakat.
STRUKTUR TUHA PEUT
Kedudukan tuha peut dalam pemerintahan gampong adalah
sejajar dan menjadi mitra kerja dari pemerintahan gampong. Hal ini ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 76/2001 serta Qanun Provinsi NAD
Nomor 5 Tahun 2003 bahwa pemerintah gampong adalah pemerintahan yang dijalankan
oleh pemerintah gampong dan badan perwakilan gampong.
Dalam penertian, tuha peut merupakan salah satu unsur
pemerintahan gampong yang melaksanakan kegiatan pemerintah bersama-sama dengan
unsur pemerintan gampong. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur pemerintahan
gampong adalah geuchik dan perangkat gampong (sekretaris, kepala urusan,
pelaksana teknis, dan kepala dusun).
Di samping itu, kesetaraan tuha peut dengan unsur
pemerintahan gompong secara tegas tampak pada proses pembuatan reusam gampong.
Prinsip ini telah disebutkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, PP 76
Tahun 2001 dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 bahwa peraturan-peraturan gampong
(reusam) adalah semua ketentuan yang bersifat mengatur yang telah ditetapkan
oleh geuchik setelah mendapat persetujuan dari tuha peut.
Dengan kedudukannya yang sejajar dapat dipahami bahwa
usulan rancangan reusam gampong dilakukan oleh geuchik/inisiatif tuha peut
dengan ketentuan kedua belah pihak terlebih dahulu mengadakan musyawarah guna
memperoleh persetujuan dari masing-masing pihak dalam penerapan reusam gampong
tersebut.
Kedudukan tuha peut yang sejajar dengan pemerintahan
gampong sebagai konsekwensinya adalah tertutup kemungkinan adanya tumpang
tindih antara unsur tuha peut dan unsur pemerintahan gampong. Mengingat kedua
unsur ini sama-sama mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mengatur sistem
kehidupan masyarakat gampong. Bahkan tuha peut atau unsur tuha peut dilarang
rangkap jabatan menjadi aparat pemerintahan gampong.
Mengenai pelaksanaan tata kehidupan adat istiadat di
Aceh, diatur dalam berbagai Undang-Undang Republik Indonesia. Dalam
penerapannya sudah terjadi beberapa kali perubahan antara lain sebagai berikut:
1. Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan
Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
2.
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
3.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4633);
4.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah
Tahun 2003 Nomor 17 Seri D Nomor 7);
5.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang
Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah
Tahun 2003 Nomor 18 Seri D Nomor 8);
6.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Majelis Adat Aceh Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 8 Seri D Nomor 5);
7.
Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran
Daerah Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
Tahun 2007 Nomor 03);
8.
Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang lembaga Adat;
9.
Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat.
B. Pengertian
Dengan lahirnya Qanun Nomor 09 Tahun 2008 Tentang lembaga
adat maka mengenai tatanan kehidupan masyarakat adat Aceh dapat di jelaskan
sebagai berikut:
1. Lembaga Adat
Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat
yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah
tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang
untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan
adat Aceh.
2. Mukim
Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan
yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah
tertentu yang dipimpin oleh Imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan
langsung di bawah camat.
3. Tuha Lapan
1. Pada
tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat dibentuk Tuha Lapan atau nama
lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
2. Tuha Lapan
atau nama lain dipilih melalui musyawarah Gampong atau nama lain atau
musyawarah mukim.
3. Tuha Lapan
atau nama lain beranggotakan unsur Tuha Peut atau nama lain dan beberapa orang
mewakili bidang keahlian sesuai dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau Mukim.
4.
Pengangkatan dan pemberhentian Tuha Lapan atau nama lain serta tugas dan
fungsinya ditetapkan dalam musyawarah gampong atau nama lain atau mukim.
4. Gampong
Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum
yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
5. Tuha Peut Gampong
Tuha Peut Gampong atau nama lain adalah unsur
pemerintahan gampong yang berfungsi sebagai badan permusyawaratan gampong.
C. Tugas dan Wewenang Tuha Peut Mukim dan Gampong
1. Tugas Tuha
Peut Mukim
Tuha Peut Mukim atau nama lain mempunyai tugas:
a. menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelengaraan pemerintahan dan
pembangunan mukim;
b. merumuskan
kebijakan Mukim bersama Imeum Mukim atau nama lain;
c. memberi
nasehat dan pendapat kepada Imeum Mukim atau nama lain baik diminta maupun
tidak diminta; dan
d.
menyelesaikan sengketa yang
timbul dalam masyarakat
bersama pemangku adat. (Pasal 20 Qanun Nomor 9 Tahun 2008)
2. Tugas Tuha
Peut Gampong
1. Tuha Peut
Gampong atau nama lain mempunyai tugas:
2. membahas
dan menyetujui anggaran pendapatan dan beianja gampong atau
nama lain;
3. membahas dan
menyetujui qanun gampong atau nama lain;
4. mengawasi
pelaksanaan pemerintahan gampong atau nama lain;
5. menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain;
6.
merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama Keuchik atau nama
lain;
7. memberi
nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta
maupun tidak diminta; dan
8.
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku
adat. (Pasal 18 Qanun Nomor 9 Tahun 2008)
3. Wewenang Tuha Peut (Lembaga Adat)
Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) lembaga adat berwenang:
a. menjaga
keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat;
b. membantu
pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;
c.
mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;
d. menjaga
eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan
syari'at Islam;
e. menerapkan
ketentuan adat;
f.
menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
g. mendamaikan
sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan
h. menegakkan
hukum adat.
D. Peranan Tuha Peut dalam Menyelesaikan Sengketa
(1)
Sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat meliputi:
a. perselisihan
dalam rumah tangga;
b. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan
faraidh;
c. perselisihan
antar warga;
d. khalwat
meusum;
e. perselisihan
tentang hak milik;
f. pencurian
dalam keluarga (pencurian ringan);
g. perselisihan
harta sehareukat;
h. pencurian ringan;
i. pencurian
ternak peliharaan;
j. pelanggaran
adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k.
persengketaan di laut;
l.
persengketaan di pasar;
m. penganiayaan
ringan;
n. pembakaran
hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
o. pelecehan,
fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p. pencemaran
lingkungan (skala ringan);
q. ancam
mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r.
perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
(2) Penyelesaian
sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselesaikan secara bertahap.
Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar
sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di Gampong atau
nama lain.
(Pasal 13 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
(1) Penyelesaian
secara adat di Gampong atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas :
a. Keuchik atau
nama lain;
b. Imeum
meunasah atau nama lain;
c. tuha peut
atau nama lain;
d. sekretaris
gampong atau nama lain; dan
e. ulama,
cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau nama lain yang bersangkutan,
sesuai dengan kebutuhan.
(2) Penyelesaian
secara adat di mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
a. imeum mukim
atau nama lain;
b. imeum chik atau
nama lain
c. tuha peut atau
nama lain;
d. sekretaris
mukim; dan
e. ulama,
cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim yang bersangkutan, sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Sidang
musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah atau
nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim
atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan Imeum
Mukim atau nama lain.
(4) Sidang
musyawarah penyelesaian perselisihan/sengketa dilaksanakan di Meunasah atau
nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain, di Mesjid pada tingkat Mukim, di
laot pada balee nelayan dan di tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik
atau nama lain, Imeum Mukim atau nama lain, dan Panglima Laot atau nama lain.
(Pasal 14 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian
perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat.
(Pasal 15 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
E. Peluang Dalam
Pengembangan Tuha Peut
Dengan lahirnya Qanun tentang lembaga mukim Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim
Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan
Adat dan Istiadat. Maka peluang pengambangan Tuha Peut baik Tuha Peut Mukim
Maupun Tuha Peut Gampong sangat Strategis karena sudah diatur dalam berbagai
aturan. Namun dalam pengembangannya perlu peran khusus dari tokoh-tokoh
masyarakat untuk mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Baik fungsi
maupun kewenangannya.
F. Peran Kritis
Tuha Peut Dalam Pembangunan
Sehubungan dengan adanya payung hukum terhadap keberadaan
lembaga-lembaga adat di tingkat mukim dan gampong. Maka setiap perencanaan
pembangunan, harus terlibat langsung untuk menyusun program-program yang
dirasakan dapat membawa perubahan baik di segi mental spiritual keagamaan
maupun fisik. Sehingga perubahan kehidupan masyarakat mukim dan gampong dari
tahun ke tahun akan lebih baik. Misalnya, hasiI musyawarah gampong menjadi
pertimbangan bagi pemerintahan kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi.
G. Penutup
Syariat Islam adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan
salah satu dari kerangka dasar agama dan ajaran Islam yang mengatur hubungan
publik maupun perdata dalam bentuk norma
Ilahi.Hukum Islam telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar peraturan
bangsa Indonesia dan mampu mempengaruhi praktek hukum di Indonesia, terutama
dalam bidang keluarga dan sosial. Sejarah memainkan peranan yang penting, yaitu
Samudera Pasai di Aceh yang merupakan tempat singgah Agama Islam pertama di
Indonesia, mampu membuat doktrin Islam mempengaruhi kerajaan. Syariat Islam
tersebut kemudian di terima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak
bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Perpaduan hukum tersebut
kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak
terpisahkan. Penerapan syariat Islam di Aceh yang tidak terlepas dari faktor di
terimanya syariat Islam dalam tatanan hukum adat Aceh, juga disebabkan oleh
faktor pejuang Aceh yang mayoritas adalah ulama. Namun meskipun secara
konstitusional syariat Islam sah menjadi hukum positif Aceh, pada prakteknya
hukum positif tersebut tidak seluruhnya berasal dari syariat Islam.
Demikianlah tulisan ini disusun namun masih banyak kekurangan
dengan harapan adanya masukan dan saran dari berbagai pihak untuk melengkapi
makalah ini. Terutama bagi praktisi/ tokoh masyarakat yang setiap hari
menghadapi berbagai persoalan untuk dijadikan acuan dalam menjalankan tata
kehidupan baik di tingkat Gampong maupun ditingkat mukim,
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Ary H. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Reneka
Cipta, 2000.
Kuntowijoyo. Budaya & Masyarakat. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1999.
Kurdi, Muliadi. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa;
Kajian Sosiologi Budaya dalam Masyarakat Atjeh, Cet. 1. Banda Aceh: Yayasan
PeNA, 2005.
Syalabi, Muhammad Mustafa. Ushul al-Fiqh al-Islami.
Beirut: dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1986.
Ulasan berdasarkan Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2003
tentang pemerintahan gampong.
Zarqa’, Mustafa Ahmad. Al-Madkhal al-Fiqh al’Amiy, Cet.
9, Juz. 1. Beirut: Dar al-Fikr, 1968.
0 Response to "Peran Lembaga Tuha Peut Dalam Masyarakat Aceh"
Post a Comment