iklan1
Pendahuluan
Diskusi
mengenai peran publik perempuan dalam sudut pandang Islam memang menarik dan
banyak perdebatan. Apalagi tentang kepemimpinan perempuan. Sejarah panjang
Islam dan Indonesia juga menceritakan tentang tokoh-tokoh perempuan dalam hal kepemimpinan publik. Namun kepemimpinan mereka bukanlah tanpa benturan. Makalah ini berusaha untuk mengumpulkan argumen penentang kebolehan kepemimpinan perempuan (yang diwakili oleh kaum tradisionalis), untuk kemudian dijawab oleh penafsir dan ulama moderat yang membolehkan perempuan untuk memimpin dalam kegiatan politik.
Islam dan Indonesia juga menceritakan tentang tokoh-tokoh perempuan dalam hal kepemimpinan publik. Namun kepemimpinan mereka bukanlah tanpa benturan. Makalah ini berusaha untuk mengumpulkan argumen penentang kebolehan kepemimpinan perempuan (yang diwakili oleh kaum tradisionalis), untuk kemudian dijawab oleh penafsir dan ulama moderat yang membolehkan perempuan untuk memimpin dalam kegiatan politik.
Pada
bagian pertama,
penulis mencoba untuk mengumpulkan pendapat dan diskusi feminis mengenai
kegiatan politik perempuan, disertai dengan pendapat ulama mengenainya. Fokus
pada bagian tersebut adalah mengenai partisipasi politik perempuan. Bagian
berikutnya akan berisi figur-figur perempuan yang mewarnai politik, baik
sebagai partisipan ataupun sebagai pemimpin. Juga penulis mencantumkan
pendapat-pendapat miring mengenai kepemimpinana mereka. Kemudian, penulis
menjadikan ayat al-Nisā:34 sebagai studi ayat, lantaran banyak ulama
menggunakan ayat tersebut sebagai argumen penolakan kebolehan kepemimpinan
perempuan. Penulis juga menyebutkan argumen lainnya yakni hadis yang
diriwayatkan oleh Abi Bakrah, juga kritik mengenai hadis tersebut. Pada
pembahasan terakhir, penulis mencantumkan kisah Ratu Bilqis dari Saba` sebagai
argumen bagi kaum moderat. Barulah penulis memberikan kesimpulan mengenai
kebolehan kepemimpinan publik perempuan.
A.
Pembahasan
Dalam
sejarah kaum feminis, tuntutan pertama mereka mengenai peran mereka dalam
kegiatan politik adalah hak suara perempuan. Athena, tempat kelahiran demokrasi
pun hanya memberikan hak suara kepada lelaki. Dan pada pertengahan abad ke-18
(awal masa pergerakan feminisme), barulah perempuan mendapatkan hak suaranya.
Setelah mendapatkan haknya untuk memilih, harapan kaum feminis berikutnya ialah
partisipasi perempuan dalam politik praktis. Tentu saja pada awalnya hal ini
mendapat benturan dari kaum konservatif dan tradisionalis. Mereka menganggap
bahwa perempuan yang ‘keluar dari rumahnya’ adalah tidak lazim, tidak Islami,
dan tidak berbudaya. Perempuan bagi mereka hanyalah pengayom keluarga dan
pendidik anak.
Namun,
pada perkembangannya, mulai banyak ulama dan intelektual yang menyebutkan
argumen-argumen mengenai bolehnya perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
publik. Bahkan ulama seperti Imam Khomeini menyuruh perempuan untuk ikut serta
dalam kegiatan sosial-politik untuk membangun masyarakat[1]
(meski tidak lupa menyebutkan pula bahwa para wanita tersebut perlu berbicara
terlebih dahulu kepada suaminya). Bagi Imam Khomeini, perempuan memiliki
perannya sendiri ketika mereka berpartisipasi dalam kegiatan
sosial-politik. Seperti membangun
bangsa, berpartisipasi dalam legislatif, atau keterlibatan dalam pengawasan
sosial.
Tampaknya,
suara-suara penolakan isu kepemimpinan perempuan lebih banyak disuarakan dalam
nada budaya. Nuansa patriarkis dalam banyak kebudayaan seringkali lebih menjadi
alasan tepat mengapa mereka menolak kepemimpinan perempuan. Bagi penulis, penolakan
mereka kepada seorang pemimpin perempuan bukanlah bersumber pada latar belakang
keagamaan, melainkan kebudayaan. Setelah itu, barulah mereka mencari pembenaran
dalam kajian keagamaan. Pada era kontemporer sekarang ini, ketika banyak
perempuan yang menjadi kepala daerah atau bahkan kepala negara, penolakan
kebanyakan terjadi pada masyarakat tradisional. Bahkan, ketika seorang
perempuan tersandung suatu masalah pada masa kepemimpinannya, banyak yang dengan
mudah mengatakan bahwa sebabnya ialah gender. Ini artinya, budaya adalah faktor
lain sebab banyak penolakan terhadap kepemimpinan perempuan.
Mungkin, kita dapat mengemukakan
tanggung jawab perempuan dalam prinsip syura sesuai dengan persoalan-persoalan
syura yang bermacam-macam.
a. Wanita diperbolehkan berpartisipasi dalam
masalah-masalah legislasi yang memiliki nuansa kefiqihan karena telah
disepakati bersama bahwa wanita mempunyai hak berijtihad, memberikan fatwa, dan
sebagainya.
b. Wanita boleh berpartisipasi dalam syura yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan ilmu pengetahuan yang sangat spesifik kalau dianggap
bahwa pengalaman dan kompetensi itu dimiliki oleh wanita tersebut.
c. Wanita boleh berpartisipasi yang berkaitan dengan
masalah-masalah umum sebagai individu anggota umat.[2]
B.
Perempuan
sebagai Pemimpin dalam Sejarah
Sejarah
Islam dan Indonesia mencatat banyak perempuan yang ikut berpartisipasi dalam
kegiatan publik, bahkan menjadi pemimpin. Seperti, ‘A`isyah, istri Nabi saw.,
Benazir Bhutto atau di Indonesia, keempat Sultanah Aceh Darussalam,
Keumalahayati, Airin Rachmi Diany, walikota Tangerang Selatan sekarang dan Tri
Rismaharini, walikota Surabaya.
Sedangkan
beberapa ulama masih menyangsikan partisipasi politik perempuan, ‘A`isyah
menjadi figur dan argumen bahwa perempuan boleh berpartisipasi dalam kegiatan
politik. Kehadirannya sebagai pemimpin perang bersama Zubayr dan Thalhah seringkali
dijadikan argumen ulama moderat bahwa partisipasi bahkan kepemimpinan perempuan
dalam Islam adalah dibolehkan.
Ketika Sultan Iskandar Tsani meninggal, terjadi
kebingungan dalam istana Kesultanan Aceh lantaran tak ada tokoh pria yang
dianggap mumpuni untuk memimpin kesultanan. Menanggapi hal tersebut, Nuruddin
al-Ranīri, seorang ulama asal Gujarat memberikan sebuah solusi yang cukup
asing. Menunjuk istri mendiang sultan untuk menjadi pemimpin baru mereka. Tentu
saja hal ini mendapat tentangan dari ulama dalam dengan argumen-argumen yang
akan kita sebutkan.[3]
C.
Studi
Ayat al-Nisā:34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[4]
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[5]. Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya,[6] maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya.[7] Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.
Pendapat para Mufassir
Menurut Quraish
Shihab dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Mishbāh menyebutkan bahwa:
Kaum laki-laki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami itu adalah
qawwamun pemimpin dan penanggung jawab atas kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka yakni (laki-laki secara umum atau suami
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya
hidup untuk isteri dan anak-anaknya.[8]
Kata قَوَّامُونَ adalah bentuk jamak dari kata qawwām, yang
terambil dari kata qāma. Kata ini berkaitan dengannya. Ayat di atas
menggunakan bentuk jamak yakni qawwāmūn sejalan dengan makna kata al-rijāl
yang berarti banyak lelaki. Di dalam kata ini tercakup pengertian kepemimpinan.
Namun, makna yang dikehendaki dari kata ini jauh lebih luas, yakni
pemeliharaan, pembinaan dan pemenuhan hak-kewajiban. Allah swt. menetapkan
lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu:
Pertama, بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
bimā
fadhdhala-llāhu ba’dhahum ‘alā ba’dh/karena Allah melebihkan sebahagian mereka atas
sebahagian yang lain, yakni masing-masing memiliki
keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki lelaki lebih
menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan.[9]
Bagi Ayatullah
Jawadi Amuli, kelebihan ini bukanlah bukti kemuliaan atau kelebihan yang patut
dibanggakan. Melainkan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Maka
lelaki diharapkan untuk tidak bersikap tidak adil terhadap apa-apa yang
dipimpinnya. [10]
Kedua, وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ wa bimā anfaqū min amwālihim/karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Kalimat ini menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada
wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam
masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini.
Disini terdapat dua persoalan
penting yang berada dibawah rentetan penggunaan kata qawwam ini.
1.
Kaum lelaki
bertanggung jawab untuk menyediakan segala keperluan material dan spiritual
wanita dalam bentuk yang memuaskan sesuai dengan kesenangan dan perasaannya
sehingga dia tenang dan tenteram.
2.
Kaum lelaki
memeberikan perlindungan dan penjagaan terhadap anggota keluarganya dalam
batas-batas kekuasaan terhadap keluarganya.[11]
Bagi Quraish
Shihab, ayat ini tidaklah mengenai kepemimpinan lelaki dalam segala hal
(termasuk sosial dan politik) atas perempuan, melainkan kepemimpinan lelaki
atas perempuan dalam rumah tangga. Artinya, menggunakan ayat ini sebagai
larangan terhadap perempuan untuk memimpin dalam politik tidaklah tepat.[12] Melihat
konteks dan munasabah ayatnya yakni mengenai hubungan rumah tangga, tampaknya hal ini mendukung pendapat
Quraish Shihab. Kemudian,
dalam bukunya Wawasan al-Qur`an mengatakan bahwa ada ayat lain yang justru
memberikan tanda-tanda kebolehan kepemimpinan perempuan, yakni al-Tawbah:71. Melalui teks ayatnya, kata “sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.”
berarti seorang perempuan dapat menjadi awliyā`
bagi lelaki. Kemudian ia menyebutkan bahwa arti kata awliyā` adalah pemimpin, pelindung dan penolong. Meski dalam
penerjemahan Depag menggunakan kata penolong, menurut Quraish Shihab menganggap
bahwa keluasan makna kata awliyā`
tentu saja dapat berimplikasi pada arti kepemimpinan.[13]
Tapi bagi
‘Allamah Thabathaba`i, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ tidaklah dikhususkan untuk suami (atau dalam konteks
rumah tangga), melainkan memberi hak untuk kepada para lelaki, secara
keseluruhan, untuk memimpin para perempuan dalam segala hal yang mempengaruhi kehidupan
keduanya.[14]
Alasannya ialah, kepemimpinan adalah suatu posisi dimana pemiliknya harus
memiliki intelektual dan logika yang baik, sesuatu yang lekat kepada para
lelaki. Pendapat ‘Allamah Thabathaba`i merupakan perwakilan dari pendapat ulama
dan ahli fikih lainnya bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, dan ayat
ini menjadi dalil mereka.[15] Namun
tampaknya, Thabathaba`i tidak memperhatikan bahwa Nabi menafsirkan ayat ini
terbatas pada rumah tangga. Ia sendiri hanya menyebutkan dua hadis yang berkenaan
dengan ayat ini. Keduanya juga hanya berkaitan dengan rumah tangga. Hadis
pertama membicarakan bahwa ada seorang Arab menanyai Imam Muhammad al-Baqīr
menceritakan bahwa tentang orang yang berkata kepada istrinya, “Urusanku ada
padamu”. Kemudian Imam al-Baqīr menjawab, “Bagaimana bisa, ketika Allah
mengatakan: Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” Hadis kedua mengatakan bahwa ada
seorang sahabat Anshar datang menemui Nabi saw. untuk mengadukan bahwa ia telah
memukul istrinya, lalu Nabi saw. mengatakan untuk meng-qishash. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut, dan keputusan
Nabi saw. tersebut digugurkan. Hadis kedua ini disebutkan juga dalam
riwayat-riwayat lain dalam kitab Sunni.[16]
Nampaknya, kondisi kehidupan dan kebutuhan kehidupan
pada masa ‘Allamah Thabathaba`i dan Quraish Shihab yang berbeda menyebabkan
pendapat keduanya yang berbeda. Pada masa dan tempat hidup ‘Allamah
Thabathaba`i, isu feminisme bukan suatu hal yang sering dibicarakan. Komunisme,
kapitalisme, dan liberalisme adalah ‘musuh’ Islam saat itu, sehingga kebanyakan
tulisan-tulisan ulama Islam hanya membicarakan argumentasi melawan ideologi
tersebut. Murtadha Muttahari, murid ‘Allamah Thabathaba`i pun tidak banyak
membicarakan isu feminisme (dalam pengertian ideologis). Beberapa tulisannya
mengenai perempuan, tidak banyak membicarakan partisipasi perempuan dalam
kegiatan publik. Hanya Imam Khomeini yang banyak membicarakan partisipasi
politik perempuan melalui khutbah-khutbahnya yang dibukukan menjadi Sahifah al-Nūr. Selain itu, budaya Iran
yang masih kental dengan suasana patriarkisnya mungkin menyebabkan ‘Allamah
Thabathaba`i berpendapat seperti itu dalam kitab tafsirnya, Al-Mizān fi Tafsīr al-Qur`ān (sama
dengan keadaan ulama tradisional lainnya).
Berbeda dengan keadaan Quraish Shihab ketika menulis
tafsirnya, Tafsir
al-Mishbāh. Isu feminisme dan kesetaraan gender justru sedang
gencar-gencarnya dibicarakan dan didiskusikan. Maka ia pun berusaha untuk
menggali pendapat ulama klasik mengenai ayat ini. Ia melihat bahwa kebanyakan
ulama tradisionalis menggunakan ayat ini sebagai argumen ketidak bolehan
seorang perempuan memimpin, apalagi dalam kegiatan sosial-politik. Namun ia
juga membaca bahwa ulama klasik justru mengatakan bahwa ayat ini sedang dan hanya
membicarakan berkaitan rumah tangga. Sehingga nampak baginya ketidak kaitan
ayat ini dengan tema yang diargumenkan.
Selain itu,
argumen lainnya penentang kepemimpinan perempuan ialah hadis dari Abi Bakrah
bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak
akan bahagia sesuatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin mereka seorang
perempuan. Akan tetapi Fatimah Mernissi mengkritik hadis ini, lantaran
adanya unsur politik dalam hadis tersebut. Abi Bakrah menyebutkan hadis
tersebut ketika dalam situasi Perang Jamal, dimana ‘A`isyah, bersama Zubayr dan
Thalhah menjadi pemimpin bagi pasukan Jamal (unta)[17]. Abi Bakrah sebagai pihak
oposisi nampak menyebutkan hadis tersebut untuk mendapatkan simpati orang-orang
untuk menjelek-jelekkan ‘A`isyah. Ulama lain mencoba memahami hadis ini dengan
berpendapat, bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin, namun tidak menjadi top leader seperti kepala negara Islam
atau khalifah. Sedang hadis dari Abi Bakrah ini melarang kepemimpinan
perempuan, al-Qur`an justru menyebutkan kepemimpinan perempuan melalui figur
Ratu Bilqis dari Saba’.
D.
Studi
kisah Ratu Bilqis dari Saba'
Al-Qur’an sendiri adalah yang
pertama kali menyebutkan kepemimpinan perempuan melalui figur Ratu Bilqis dari
Saba’. Mengenai penyebutan kisah Ratu Bilqis dalam tafsir-tafsir masa klasik,
kebanyakan mufassir klasik menyebutkan kisah-kisah legenda Isra’iliyat yang
sulit dipercaya. Adalagi yang lain, yang menyebutkan kisah tersebut, namun
tidak masuk dalam aspek gender atau kepemimpinan perempuan, melainkan kemuliaan
dan ketakwaan Sulaiman sebagai raja dan nabi yang saleh.
Namun
nampaknya, figur ini gagal dipahami oleh penafsir. Barbara Stowasser
menyebutkan bahwa penafsiran figur Ratu Bilqis kebanyakan hanya sebagai
legenda, tokoh sejarah, cerita atau bahkan hanya sebatas bahan material, namun
tidak sampai pada menjadikannya sebagai bagian yang bisa diterapkan oleh
masyarakat Islam atau kerangka mengenai kepemimpinan perempuan. Barbara
beralasan bahwa para ulama Islam menganggap Ratu Saba’, Bilqis tidak pantas
bagi Islam.[18]
Pernyataan al-Qur`an mengenai Ratu Bilqis ini nampaknya tidak dapat meyakinkan
penafsir bahwa ada perempuan yang mampu memimpin dengan bijak dibanding dengan
hadis Nabi saw. tentang putri Khosrouw yang berkali-kali disebutkan oleh ulama
Islam.
Penulis mengira pendapat Barbara ini perlu
diperhatikan. Ia menganggap bahwa penafsiran baru kisah Ratu
Bilqis sebagai kepemimpinan perempuan adalah suatu pandangan baru yang tentu
saja sulit
diterima oleh ulama konsevatif dan fundamentalis. Pengangkatan
tema Ratu Bilqis di dalam al-Qur`an mengandung makna implisit bahwa perempuan
boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya laki-laki. Oleh karena itu,
al-Thabari dan Ibn Hazm masih membolehkan perempuan menjadi perdana menteri
atau hakim, sedangkan jumhur ulama tidak membolehkan hadis dari Abi Bakrah.
Dr.
Kamal Jaudah mengemukakan bahwa perempuan diperbolehkan menjadi kepala negara
atau kepala pemerintahan (perdana menteri) selama dalam suatu negara, dimana
sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah, seorang kepala negara tidak lagi
harus bekerja keras sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli, sesuai
dengan dengan bidang masing-masing (menteri dan staf ahlinya).[19]
Berdasarkan
kisah Ratu Bilqis, penulis menyimpulkan bahwa ada dua sebab kebolehan
kepemimpinan perempuan, yakni:
1.
Kebijaksanaan dan kemampuan manajemen
yang dimiliki jauh lebih mumpuni dibanding kaum lelaki. Tidak sedikit perempuan
yang menunjukkan kepemimpinan lebih baik dibanding pria. Misalnya adalah
walikota Surabaya saat ini, Tri Rismaharini.
2.
Sistem pemerintahan negara tersebut
adalah musyawarah. Sebagai contoh, adalah Sultanah Aceh Darussalam, Safiatuddin
Tajul Alam. Dalam cerita sejarah, kepemimpinannya mengembalikan stabilitas
Kesultanan Aceh setelah kematian suaminya, Sultan Iskandar Tsani.
E. Ayat-Ayat Lain yang Berkaitan dengan Kepemimpinan
Perempuan
Berikut ini
ayat-ayat yang berkenaan dengan tema diatas:
No.
|
Ayat al-Qur’an
|
Terjemah
|
Relevansi Kepemimpinan
Perempuan dalam Al-Qur’an
|
2.
|
QS. An-Nisa (4) : 34
|
Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289]
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290].
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.
|
Argumen kaum tradisionalis
untuk menolak kepemimpinan perempuan.
|
3.
|
QS. Al-Nisa:135
|
Wahai orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
|
Kata yang digaris-miringi dalam
bahasa Arab adalah kata Qawwāmīna, salah
satu kata yang sepadan dengan kata Qawwāmuna.
|
4.
|
QS. Al-Mā`idah:8
|
Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
|
Kata yang digaris-miringi dalam
bahasa Arab adalah kata Qawwāmīna, salah
satu kata yang sepadan dengan kata Qawwāmuna.
|
5.
|
QS. At-Taubah : 71
|
Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
|
Ayat ini digunakan oleh Quraish
Shihab sebagai argumen kebolehan seorang perempuan menjadi pemimpin.
|
6.
|
QS. Saba’ : 15
|
Sesungguhnya bagi kaum Saba'
ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di
sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah
olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan
Yang Maha Pengampun".
|
Ayat yang menyebutkan keadaan
kerajaan Saba’ yang dipimpin oleh Ratu Bilqis.
|
7.
|
QS. An-Naml : 23-24
|
Sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu
serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya
menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka
memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan
(Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk.
|
Ayat yang menyebutkan keadaan
kerajaan Saba’ yang dipimpin oleh Ratu Bilqis. Disana tidak berisi petunjuk
larangan kepemimpinan perempuan. Dan nampaknya, al-Qur`an lebih memperhatikan
keadaan keagamaan kerajaan tersebut dibanding gender pemimpin kerajaan
tersebut.
|
F. Kesimpulan
Kebanyakan argumen yang
dimiliki oleh ulama tradisionalis tidak tepat. Sehingga penulis melihat bahwa
kelemahan ini justru memberikan bukti bahwa perempuan bisa saja memimpin. Pengutipan
ayat al-Nisā:34 sebagai titik tolak argumen ketidak bolehan kepemimpinan
perempuan terlihat tidak tepat. Justru kisah Ratu Bilqis dan ayat at-Tawbah:71
menunjukkan kebolehan seorang perempuan untuk memimpin.
Namun, ada satu hal yang
menurut penulis perlu disebutkan, yakni adalah perannya sebagai pemimpin
tidaklah mengganggu perannya sebagai ibu dan istri. Sehingga beberapa ulama
menyebutkan salah satu syarat bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik
ialah, tidak mengganggu perannya yang lain yakni ibu dan istri. Tentu saja ini
patut diingatkan karena al-Qur`an lebih menekankan pada peran perempuan sebagai
ibu dan istri yang baik dibandingkan peran perempuan dalam berpolitik.
0 Response to "Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Islam"
Post a Comment