Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Islam

iklan1
Pendahuluan
Diskusi mengenai peran publik perempuan dalam sudut pandang Islam memang menarik dan banyak perdebatan. Apalagi tentang kepemimpinan perempuan. Sejarah panjang
Islam dan Indonesia juga menceritakan tentang tokoh-tokoh perempuan dalam hal kepemimpinan publik. Namun kepemimpinan mereka bukanlah tanpa benturan. Makalah ini berusaha untuk mengumpulkan argumen penentang kebolehan kepemimpinan perempuan (yang diwakili oleh kaum tradisionalis), untuk kemudian dijawab oleh penafsir dan ulama moderat yang membolehkan perempuan untuk memimpin dalam kegiatan politik.
Pada bagian pertama, penulis mencoba untuk mengumpulkan pendapat dan diskusi feminis mengenai kegiatan politik perempuan, disertai dengan pendapat ulama mengenainya. Fokus pada bagian tersebut adalah mengenai partisipasi politik perempuan. Bagian berikutnya akan berisi figur-figur perempuan yang mewarnai politik, baik sebagai partisipan ataupun sebagai pemimpin. Juga penulis mencantumkan pendapat-pendapat miring mengenai kepemimpinana mereka. Kemudian, penulis menjadikan ayat al-Nisā:34 sebagai studi ayat, lantaran banyak ulama menggunakan ayat tersebut sebagai argumen penolakan kebolehan kepemimpinan perempuan. Penulis juga menyebutkan argumen lainnya yakni hadis yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah, juga kritik mengenai hadis tersebut. Pada pembahasan terakhir, penulis mencantumkan kisah Ratu Bilqis dari Saba` sebagai argumen bagi kaum moderat. Barulah penulis memberikan kesimpulan mengenai kebolehan kepemimpinan publik perempuan.

A.    Pembahasan
Dalam sejarah kaum feminis, tuntutan pertama mereka mengenai peran mereka dalam kegiatan politik adalah hak suara perempuan. Athena, tempat kelahiran demokrasi pun hanya memberikan hak suara kepada lelaki. Dan pada pertengahan abad ke-18 (awal masa pergerakan feminisme), barulah perempuan mendapatkan hak suaranya. Setelah mendapatkan haknya untuk memilih, harapan kaum feminis berikutnya ialah partisipasi perempuan dalam politik praktis. Tentu saja pada awalnya hal ini mendapat benturan dari kaum konservatif dan tradisionalis. Mereka menganggap bahwa perempuan yang ‘keluar dari rumahnya’ adalah tidak lazim, tidak Islami, dan tidak berbudaya. Perempuan bagi mereka hanyalah pengayom keluarga dan pendidik anak.
Namun, pada perkembangannya, mulai banyak ulama dan intelektual yang menyebutkan argumen-argumen mengenai bolehnya perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik. Bahkan ulama seperti Imam Khomeini menyuruh perempuan untuk ikut serta dalam kegiatan sosial-politik untuk membangun masyarakat[1] (meski tidak lupa menyebutkan pula bahwa para wanita tersebut perlu berbicara terlebih dahulu kepada suaminya). Bagi Imam Khomeini, perempuan memiliki perannya sendiri ketika mereka berpartisipasi dalam kegiatan sosial-politik.  Seperti membangun bangsa, berpartisipasi dalam legislatif, atau keterlibatan dalam pengawasan sosial.
Tampaknya, suara-suara penolakan isu kepemimpinan perempuan lebih banyak disuarakan dalam nada budaya. Nuansa patriarkis dalam banyak kebudayaan seringkali lebih menjadi alasan tepat mengapa mereka menolak kepemimpinan perempuan. Bagi penulis, penolakan mereka kepada seorang pemimpin perempuan bukanlah bersumber pada latar belakang keagamaan, melainkan kebudayaan. Setelah itu, barulah mereka mencari pembenaran dalam kajian keagamaan. Pada era kontemporer sekarang ini, ketika banyak perempuan yang menjadi kepala daerah atau bahkan kepala negara, penolakan kebanyakan terjadi pada masyarakat tradisional. Bahkan, ketika seorang perempuan tersandung suatu masalah pada masa kepemimpinannya, banyak yang dengan mudah mengatakan bahwa sebabnya ialah gender. Ini artinya, budaya adalah faktor lain sebab banyak penolakan terhadap kepemimpinan perempuan.
Mungkin, kita dapat mengemukakan tanggung jawab perempuan dalam prinsip syura sesuai dengan persoalan-persoalan syura yang bermacam-macam.
a.    Wanita diperbolehkan berpartisipasi dalam masalah-masalah legislasi yang memiliki nuansa kefiqihan karena telah disepakati bersama bahwa wanita mempunyai hak berijtihad, memberikan fatwa, dan sebagainya.
b.    Wanita boleh berpartisipasi dalam syura yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ilmu pengetahuan yang sangat spesifik kalau dianggap bahwa pengalaman dan kompetensi itu dimiliki oleh wanita tersebut.
c.    Wanita boleh berpartisipasi yang berkaitan dengan masalah-masalah umum sebagai individu anggota umat.[2]

B.     Perempuan sebagai Pemimpin dalam Sejarah
Sejarah Islam dan Indonesia mencatat banyak perempuan yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan publik, bahkan menjadi pemimpin. Seperti, ‘A`isyah, istri Nabi saw., Benazir Bhutto atau di Indonesia, keempat Sultanah Aceh Darussalam, Keumalahayati, Airin Rachmi Diany, walikota Tangerang Selatan sekarang dan Tri Rismaharini, walikota Surabaya.
Sedangkan beberapa ulama masih menyangsikan partisipasi politik perempuan, ‘A`isyah menjadi figur dan argumen bahwa perempuan boleh berpartisipasi dalam kegiatan politik. Kehadirannya sebagai pemimpin perang bersama Zubayr dan Thalhah seringkali dijadikan argumen ulama moderat bahwa partisipasi bahkan kepemimpinan perempuan dalam Islam adalah dibolehkan.
Ketika Sultan Iskandar Tsani meninggal, terjadi kebingungan dalam istana Kesultanan Aceh lantaran tak ada tokoh pria yang dianggap mumpuni untuk memimpin kesultanan. Menanggapi hal tersebut, Nuruddin al-Ranīri, seorang ulama asal Gujarat memberikan sebuah solusi yang cukup asing. Menunjuk istri mendiang sultan untuk menjadi pemimpin baru mereka. Tentu saja hal ini mendapat tentangan dari ulama dalam dengan argumen-argumen yang akan kita sebutkan.[3]

C.    Studi Ayat al-Nisā:34
 الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[4] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[5]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,[6] maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.[7] Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
                                                                                               
Pendapat para Mufassir
Menurut Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Mishbāh menyebutkan bahwa:

Kaum laki-laki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami itu adalah qawwamun pemimpin dan penanggung jawab atas kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka yakni (laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk isteri dan anak-anaknya.[8]
Kata قَوَّامُونَ adalah bentuk jamak dari kata qawwām, yang terambil dari kata qāma. Kata ini berkaitan dengannya. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak yakni qawwāmūn sejalan dengan makna kata al-rijāl yang berarti banyak lelaki. Di dalam kata ini tercakup pengertian kepemimpinan. Namun, makna yang dikehendaki dari kata ini jauh lebih luas, yakni pemeliharaan, pembinaan dan pemenuhan hak-kewajiban. Allah swt. menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu:
Pertama, بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ bimā fadhdhala-llāhu ba’dhahum ‘alā ba’dh/karena Allah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan.[9]
Bagi Ayatullah Jawadi Amuli, kelebihan ini bukanlah bukti kemuliaan atau kelebihan yang patut dibanggakan. Melainkan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Maka lelaki diharapkan untuk tidak bersikap tidak adil terhadap apa-apa yang dipimpinnya. [10]
Kedua, وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ  wa bimā anfaqū min amwālihim/karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Kalimat ini menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini.
Disini terdapat dua persoalan penting yang berada dibawah rentetan penggunaan kata qawwam ini.
1.        Kaum lelaki bertanggung jawab untuk menyediakan segala keperluan material dan spiritual wanita dalam bentuk yang memuaskan sesuai dengan kesenangan dan perasaannya sehingga dia tenang dan tenteram.
2.        Kaum lelaki memeberikan perlindungan dan penjagaan terhadap anggota keluarganya dalam batas-batas kekuasaan terhadap keluarganya.[11]
Bagi Quraish Shihab, ayat ini tidaklah mengenai kepemimpinan lelaki dalam segala hal (termasuk sosial dan politik) atas perempuan, melainkan kepemimpinan lelaki atas perempuan dalam rumah tangga. Artinya, menggunakan ayat ini sebagai larangan terhadap perempuan untuk memimpin dalam politik tidaklah tepat.[12] Melihat konteks dan munasabah ayatnya yakni mengenai hubungan rumah tangga, tampaknya hal ini mendukung pendapat Quraish Shihab. Kemudian, dalam bukunya Wawasan al-Qur`an mengatakan bahwa ada ayat lain yang justru memberikan tanda-tanda kebolehan kepemimpinan perempuan, yakni al-Tawbah:71. Melalui teks ayatnya, kata “sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” berarti seorang perempuan dapat menjadi awliyā` bagi lelaki. Kemudian ia menyebutkan bahwa arti kata awliyā` adalah pemimpin, pelindung dan penolong. Meski dalam penerjemahan Depag menggunakan kata penolong, menurut Quraish Shihab menganggap bahwa keluasan makna kata awliyā` tentu saja dapat berimplikasi pada arti kepemimpinan.[13]
Tapi bagi ‘Allamah Thabathaba`i, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ tidaklah dikhususkan untuk suami (atau dalam konteks rumah tangga), melainkan memberi hak untuk kepada para lelaki, secara keseluruhan, untuk memimpin para perempuan dalam segala hal yang mempengaruhi kehidupan keduanya.[14] Alasannya ialah, kepemimpinan adalah suatu posisi dimana pemiliknya harus memiliki intelektual dan logika yang baik, sesuatu yang lekat kepada para lelaki. Pendapat ‘Allamah Thabathaba`i merupakan perwakilan dari pendapat ulama dan ahli fikih lainnya bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, dan ayat ini menjadi dalil mereka.[15] Namun tampaknya, Thabathaba`i tidak memperhatikan bahwa Nabi menafsirkan ayat ini terbatas pada rumah tangga. Ia sendiri hanya menyebutkan dua hadis yang berkenaan dengan ayat ini. Keduanya juga hanya berkaitan dengan rumah tangga. Hadis pertama membicarakan bahwa ada seorang Arab menanyai Imam Muhammad al-Baqīr menceritakan bahwa tentang orang yang berkata kepada istrinya, “Urusanku ada padamu”. Kemudian Imam al-Baqīr menjawab, “Bagaimana bisa, ketika Allah mengatakan: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.Hadis kedua mengatakan bahwa ada seorang sahabat Anshar datang menemui Nabi saw. untuk mengadukan bahwa ia telah memukul istrinya, lalu Nabi saw. mengatakan untuk meng-qishash. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut, dan keputusan Nabi saw. tersebut digugurkan. Hadis kedua ini disebutkan juga dalam riwayat-riwayat lain dalam kitab Sunni.[16]
Nampaknya, kondisi kehidupan dan kebutuhan kehidupan pada masa ‘Allamah Thabathaba`i dan Quraish Shihab yang berbeda menyebabkan pendapat keduanya yang berbeda. Pada masa dan tempat hidup ‘Allamah Thabathaba`i, isu feminisme bukan suatu hal yang sering dibicarakan. Komunisme, kapitalisme, dan liberalisme adalah ‘musuh’ Islam saat itu, sehingga kebanyakan tulisan-tulisan ulama Islam hanya membicarakan argumentasi melawan ideologi tersebut. Murtadha Muttahari, murid ‘Allamah Thabathaba`i pun tidak banyak membicarakan isu feminisme (dalam pengertian ideologis). Beberapa tulisannya mengenai perempuan, tidak banyak membicarakan partisipasi perempuan dalam kegiatan publik. Hanya Imam Khomeini yang banyak membicarakan partisipasi politik perempuan melalui khutbah-khutbahnya yang dibukukan menjadi Sahifah al-Nūr. Selain itu, budaya Iran yang masih kental dengan suasana patriarkisnya mungkin menyebabkan ‘Allamah Thabathaba`i berpendapat seperti itu dalam kitab tafsirnya, Al-Mizān fi Tafsīr al-Qur`ān (sama dengan keadaan ulama tradisional lainnya).
Berbeda dengan keadaan Quraish Shihab ketika menulis tafsirnya, Tafsir al-Mishbāh. Isu feminisme dan kesetaraan gender justru sedang gencar-gencarnya dibicarakan dan didiskusikan. Maka ia pun berusaha untuk menggali pendapat ulama klasik mengenai ayat ini. Ia melihat bahwa kebanyakan ulama tradisionalis menggunakan ayat ini sebagai argumen ketidak bolehan seorang perempuan memimpin, apalagi dalam kegiatan sosial-politik. Namun ia juga membaca bahwa ulama klasik justru mengatakan bahwa ayat ini sedang dan hanya membicarakan berkaitan rumah tangga. Sehingga nampak baginya ketidak kaitan ayat ini dengan tema yang diargumenkan.
Selain itu, argumen lainnya penentang kepemimpinan perempuan ialah hadis dari Abi Bakrah bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak akan bahagia sesuatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin mereka seorang perempuan. Akan tetapi Fatimah Mernissi mengkritik hadis ini, lantaran adanya unsur politik dalam hadis tersebut. Abi Bakrah menyebutkan hadis tersebut ketika dalam situasi Perang Jamal, dimana ‘A`isyah, bersama Zubayr dan Thalhah menjadi pemimpin bagi pasukan Jamal (unta)[17]. Abi Bakrah sebagai pihak oposisi nampak menyebutkan hadis tersebut untuk mendapatkan simpati orang-orang untuk menjelek-jelekkan ‘A`isyah. Ulama lain mencoba memahami hadis ini dengan berpendapat, bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin, namun tidak menjadi top leader seperti kepala negara Islam atau khalifah. Sedang hadis dari Abi Bakrah ini melarang kepemimpinan perempuan, al-Qur`an justru menyebutkan kepemimpinan perempuan melalui figur Ratu Bilqis dari Saba’.

D.    Studi kisah Ratu Bilqis dari Saba'
Al-Qur’an sendiri adalah yang pertama kali menyebutkan kepemimpinan perempuan melalui figur Ratu Bilqis dari Saba’. Mengenai penyebutan kisah Ratu Bilqis dalam tafsir-tafsir masa klasik, kebanyakan mufassir klasik menyebutkan kisah-kisah legenda Isra’iliyat yang sulit dipercaya. Adalagi yang lain, yang menyebutkan kisah tersebut, namun tidak masuk dalam aspek gender atau kepemimpinan perempuan, melainkan kemuliaan dan ketakwaan Sulaiman sebagai raja dan nabi yang saleh.
Namun nampaknya, figur ini gagal dipahami oleh penafsir. Barbara Stowasser menyebutkan bahwa penafsiran figur Ratu Bilqis kebanyakan hanya sebagai legenda, tokoh sejarah, cerita atau bahkan hanya sebatas bahan material, namun tidak sampai pada menjadikannya sebagai bagian yang bisa diterapkan oleh masyarakat Islam atau kerangka mengenai kepemimpinan perempuan. Barbara beralasan bahwa para ulama Islam menganggap Ratu Saba’, Bilqis tidak pantas bagi Islam.[18] Pernyataan al-Qur`an mengenai Ratu Bilqis ini nampaknya tidak dapat meyakinkan penafsir bahwa ada perempuan yang mampu memimpin dengan bijak dibanding dengan hadis Nabi saw. tentang putri Khosrouw yang berkali-kali disebutkan oleh ulama Islam.
Penulis mengira pendapat Barbara ini perlu diperhatikan. Ia menganggap bahwa penafsiran baru kisah Ratu Bilqis sebagai kepemimpinan perempuan adalah suatu pandangan baru yang tentu saja sulit diterima oleh ulama konsevatif dan fundamentalis. Pengangkatan tema Ratu Bilqis di dalam al-Qur`an mengandung makna implisit bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya laki-laki. Oleh karena itu, al-Thabari dan Ibn Hazm masih membolehkan perempuan menjadi perdana menteri atau hakim, sedangkan jumhur ulama tidak membolehkan hadis dari Abi Bakrah.
Dr. Kamal Jaudah mengemukakan bahwa perempuan diperbolehkan menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan (perdana menteri) selama dalam suatu negara, dimana sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah, seorang kepala negara tidak lagi harus bekerja keras sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli, sesuai dengan dengan bidang masing-masing (menteri dan staf ahlinya).[19]
Berdasarkan kisah Ratu Bilqis, penulis menyimpulkan bahwa ada dua sebab kebolehan kepemimpinan perempuan, yakni:
1.      Kebijaksanaan dan kemampuan manajemen yang dimiliki jauh lebih mumpuni dibanding kaum lelaki. Tidak sedikit perempuan yang menunjukkan kepemimpinan lebih baik dibanding pria. Misalnya adalah walikota Surabaya saat ini, Tri Rismaharini.
2.      Sistem pemerintahan negara tersebut adalah musyawarah. Sebagai contoh, adalah Sultanah Aceh Darussalam, Safiatuddin Tajul Alam. Dalam cerita sejarah, kepemimpinannya mengembalikan stabilitas Kesultanan Aceh setelah kematian suaminya, Sultan Iskandar Tsani.   

E.     Ayat-Ayat Lain yang Berkaitan dengan Kepemimpinan Perempuan
Berikut ini ayat-ayat yang berkenaan dengan tema diatas:
No.
Ayat al-Qur’an
Terjemah
Relevansi Kepemimpinan Perempuan dalam Al-Qur’an
2.
QS. An-Nisa (4) : 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Argumen kaum tradisionalis untuk menolak kepemimpinan perempuan.
3.
QS. Al-Nisa:135
Wahai orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Kata yang digaris-miringi dalam bahasa Arab adalah kata Qawwāmīna, salah satu kata yang sepadan dengan kata Qawwāmuna.
4.
QS. Al-Mā`idah:8
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kata yang digaris-miringi dalam bahasa Arab adalah kata Qawwāmīna, salah satu kata yang sepadan dengan kata Qawwāmuna.
5.
QS. At-Taubah : 71
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini digunakan oleh Quraish Shihab sebagai argumen kebolehan seorang perempuan menjadi pemimpin.
6.
QS. Saba’ : 15
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".
Ayat yang menyebutkan keadaan kerajaan Saba’ yang dipimpin oleh Ratu Bilqis.
7.
QS. An-Naml : 23-24
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk.
Ayat yang menyebutkan keadaan kerajaan Saba’ yang dipimpin oleh Ratu Bilqis. Disana tidak berisi petunjuk larangan kepemimpinan perempuan. Dan nampaknya, al-Qur`an lebih memperhatikan keadaan keagamaan kerajaan tersebut dibanding gender pemimpin kerajaan tersebut.

F.     Kesimpulan
Kebanyakan argumen yang dimiliki oleh ulama tradisionalis tidak tepat. Sehingga penulis melihat bahwa kelemahan ini justru memberikan bukti bahwa perempuan bisa saja memimpin. Pengutipan ayat al-Nisā:34 sebagai titik tolak argumen ketidak bolehan kepemimpinan perempuan terlihat tidak tepat. Justru kisah Ratu Bilqis dan ayat at-Tawbah:71 menunjukkan kebolehan seorang perempuan untuk memimpin.
Namun, ada satu hal yang menurut penulis perlu disebutkan, yakni adalah perannya sebagai pemimpin tidaklah mengganggu perannya sebagai ibu dan istri. Sehingga beberapa ulama menyebutkan salah satu syarat bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik ialah, tidak mengganggu perannya yang lain yakni ibu dan istri. Tentu saja ini patut diingatkan karena al-Qur`an lebih menekankan pada peran perempuan sebagai ibu dan istri yang baik dibandingkan peran perempuan dalam berpolitik.





0 Response to "Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Islam"

Post a Comment