iklan1
|
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Indonesia adalah Negara
kesatuan yang pemerintahannya terpusat di Jakarta,namun seiring perjalanan
waktu,timbul permasalahan permasalahan yang diakibatkan oleh perintah dari
pusat yang tidak sesuai dengan sebuah daerah ataupun per
intah yang tidak terlaksana dikarenakan letak pengambil kebijakan dengan pelaksana kebijakan terlalu jauh,dalam hal ini adalah letak pusat dan suatu darerah.
intah yang tidak terlaksana dikarenakan letak pengambil kebijakan dengan pelaksana kebijakan terlalu jauh,dalam hal ini adalah letak pusat dan suatu darerah.
Kemudian dipengaruhi oleh beberapa daerah seperti aceh
dan papua yang selalu menuntut kemerdekaan dan terjadi pemberontakan di dalam
daerah,maka pemerintah Indonesia memberikan beberapa otonomi khusus kepada
beberapa daerah seperti aceh,papua,daerah istimewa Yogyakarta dan daerah
keistimewaan ibukota Jakarta,oleh karena itu penulis ingin memaparkan beberapa
perbedaan mendasar dalam system pemerintahan daerah-daerah otonomi khusus di
Indonesia.
Banda aceh,24 desember 2014
penulis
Perbandingan Sistem Pemerintahan Daerah
A.
Aceh
penjelasan umum tentang pemerintahan
aceh
Pemerintahan Aceh
adalah pemerintahan subnasional yang setingkat dengan pemerintahan
provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh adalah kelanjutan dari
Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
dan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam . Pemerintahan Aceh
dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai lembaga
eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif.
Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan
pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter
khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi.
Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber
dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya
Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan
dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Kehidupan demikian, menghendaki adanya
implementasi formal penegakan syari’at Islam. Penegakan syari’at Islam
dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada
di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah
sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan
Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN
4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum
of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta
politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU
Pemerintahan Aceh ini antara lain:
1.
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi
dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
2.
Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh
berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem
pemerintahan secara nasional.
3.
Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang
banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi
terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan
tersebut.
4.
Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah
tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang
ada.
5.
Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas
ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan
kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas
daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan
sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya telah melalui
perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting
yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan
Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan
Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan
Aceh, diharapkan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang
berkesejahteraan di Aceh.
struktur pemerintahan di aceh
otonomi daerah
Sebagaimana diamanatkan dalam UU No 18 tahun
2001 mengenai Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ada perbedaan dari sistem tata
pemerintahan, keuangan, hukum, serta politik. Dimana dalam keuangan pada pasal
4 UU No. 18 tahun 2001 sumber pendapat asli daerah Aceh pada poin c. zakat,
sumber pendapat daerah inilah yang tidak didapatkan di daerah lain berdasarkan
undang - undang yang berlaku. Perbedaan lain tentu angka besaran bagi hasil
pajak dan sumber daya alam pada pasal 4 ayat 3 (a), dimana Aceh menerima 80%
dari pertambangan umum, perikanan, dan kehutanan, 30% dari hasil gas alam,
serta 15% dari pertambangan minyak bumi.
Dalam hal sistem pemerintahan di Aceh,
terdapat yang namanya Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe sebagaimana tercantum
dalam Pasal 10 UU No. 18 tahun 2001. Keduanya adalah lembaga yang merupakan
simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu
masyarakat di Aceh. Namun di sisi lain Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe ini
bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Adapun
penjabaran dari Wali Nanggore ini terdapat pada pasal 96, dimana lembaga Wali
Nanggroe bersifat personal dan independen, tak terkait lembaga politik dan
lembaga pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe ini merupakan kepemimpinan
adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang
membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat
istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
Istilah DPRD Provinsi Aceh menyebutnya dalam
UU No. 11 tahun 2006 pasal 23 sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang
dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Sedangkan istilah DPRD
Kabupaten/Kota di Aceh disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota
(DPRK) berdasarkan pasal 24 undang - undang yang sama, dimana anggotanya
dipilih melalui pemilu.
Dari sisi pembagian administrasi wilayahnya
terdiri dari Kabupaten/Sagoe, Kota/Banda, Kecamatan/Sagoe Cut. Sementara
kecamatan terdiri dari beberapa mukim, dan mukim terdiri dari gambong
sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 18 tahun 2001 Pasal 2 dan UU No. 11 tahun
2006 pasal 2 mengenai Pemerintahan Aceh.
Dalam bidang hukum selain ada kepolisian dan
kejaksaan sebagaimana lazimnya di daerah lain, ada satu lagi tambahan yang ada
di Aceh yang dinamakan Mahkamah Syari’ah sebagaimana disebutkan dalam pasal 25
UU No. 18 tahun 2001, wewenangnya didasarkan atas syari’at islam dengan sistem
hukum nasional yang berlaku dan ini berlaku bagi semua pemeluk agama islam.
Pada UU No. 11 tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, Majelis Syari’ah ini
lebih dijelaskan secara rinci pada pasal 128 hingga pasal 137. Adapun Majelis
Syari’at ini memiliki wewenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah
(hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at
Islam.
Di samping itu selain berpedoman pada sistem
hukum nasional yang berlaku. Aceh juga mengedepankan pelaksanaan syari’at islam
dalam kehidupan sehari - hari sebagaimana diatur pada pasal 125 sampai pasal
127. Adapun cakupan dalam pelaksanaan syari’at islam sebagai yang terdapa pada
pasal 125 ayat 2 meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah
(pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
Dalam urusan pemerintahan sebagaimana
tercantum dalam UU No. 11 tahun 2006 pasal 16 ayat 2 urusan wajib kewenangan
pemerintah Aceh yang merupakan bentuk keistimewaan Aceh dimana mengedepankan
budaya islaminya, termasuk dalam peran ulama dalam penetapan kebijakan yang
tersebut pada Pasal 16 ayat 2 poin d. Maka dari sanalah undang - undang
pemerintahan Aceh menyebutkan lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama sebagaimana
menindaklanjuti pasal 16 ayat 2 poin d, dimana mulai pasal 138 hingga pasal 140
UU No. 11 tahun 2006 dijelaskan bagaimana posisi lembaga Majelis Permusyawaratan
Ulama dan apa saja wewenang yang diembannya.
Adapun fungsi dari Majelis Permusyawaratan
Ulama yaitu menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan
terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan,
pembinaan masyarakat, dan ekonomi sebagaimana dijelaskan dalam pasal 139 ayat
1. Dari wewenang tersebut MPU memiliki tugas yang telah diatur dalam UU No. 11
tahun 2006 pasal 140 ayat 1 yaitu memberi fatwa baik diminta maupun tidak
diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan
ekonomi serta memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam
masalah keagamaan.
Pada urusan politik, keistimewaan Aceh
melalui otonomi khususnya juga mewadahi politik masyarakat dengan diperkenankannya
partai politik local. Dimana ini sesuai dengan UU No. 11 tahun 2006 pasal 75
ayat 1 berbunyi “penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal”.
Penjelasan mengenai partai politik dalam undang - undang pemerintahan Aceh
terdapat mulai pasal 75 - hingga pasal 88 UU No. 11 tahun 2006.
Selain keistimewaan yang telah disebutkan di
atas, ada beberapa keistimewaan lainnya yang sampai saat ini mengundang
kontroversi di masyarakat Aceh sendiri, bahkan masyarakat Indonesia. Hal
tersebut terkait dengan penggunaan bendera Aceh yang mirip dengan bendera
Gerakan Aceh Merdeka sebuah gerakan separatis yang berusaha memisahkan Aceh
dari NKRI. Memang dalam UU No. 11 tahun 2006 yang notabenenya berdasarkan dari
perjanjian Helsinki antara pemerintah Indonesia dengan GAM, Aceh berhak
memiliki bendera, lambing, dan himne. Adapun terkait hal itu dijelaskan pada
pasal 246 ayat 2 dimana pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan
bendera Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan, ini
dijabarkan kembali pada ayat 3 yang berbunyi Bendera daerah Aceh sebagai
lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan
dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh.
Dua pasal inilah yang mengundang kontroversi
karena belum ada kejelasan seperti apa bendera Aceh tersebut yang lantas
ditetapkan bendera Aceh yang mirip dengan bendera milik GAM. Selain itu pada
pasal 247 juga disebutkan pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai
simbol keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh. Pendek kata kewenangan
menentukan bendera, lambang, dan himne sebagaimana pada pasal 246, 247, dan 248
perlu ada kejelasan seperti apa, dikarenakan bukan tidak mungkin kejadian
seperti bendera Aceh yang mirip bendera GAM ini akan terulang pada lambang dan
himne Aceh.
B.
DKI Jakarta
Sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat
khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang. Selain itu, negara
mengakui dan menghormati hak-hak khusus dan istimewa sesuai dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Provinsi DKI Jakarta) sebagai
satuan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibu kota Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki fungsi dan peran
yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Oleh karena itu, perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban,
dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itulah
Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara
Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No. 93; TLN 4744). UU ini mengatur
kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara. Aturan sebagai daerah
otonom tingkat provinsi dan lain sebagainya tetap terikat pada peraturan
perundang-undangan tentang pemerintahan daerah.
Beberapa hal
yang menjadi pengkhususan bagi Provinsi DKI Jakarta antara lain:
1.
Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang
berfungsi sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus
sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.
3.
Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibu kota Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan
tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat
kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga
internasional.
4.
Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota
administrasi dan kabupaten administrasi.
5.
Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah
paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk
kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang.
6.
Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang
menyangkut kepentingan Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gubernur
mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan.
7.
Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI
Jakarta sebagai Ibu kota Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR
dalam APBN berdasarkan
usulan Pemprov DKI Jakarta.
C.
Papua dan Papua Barat
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi
Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus
sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi
Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Papua, untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Otonomi ini diberikan
oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (LN
2001 No. 135 TLN No 4151).Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini
adalah:
·
Pertama, pengaturan kewenangan antara
Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut
di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
·
Kedua, pengakuan dan penghormatan
hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan
mendasar; dan
·
Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik yang berciri:
1.
partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan
pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
2.
pelaksanaan pembangunan yang diarahkan
sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada
khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada
prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan
dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
3.
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan
yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.
·
Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan
tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli
Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Pemberian
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan,
penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan
ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka
kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus
melalui UU 21/2001 menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya
sebagai subjek utama. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun
ras Melanesia yang
terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan
diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk
Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan
bertempat tinggal di Provinsi Papua.
Keberadaan
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di
bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan
rakyat. Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan
rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan
nasional Indonesia di Provinsi Papua
Otonomi khusus papua
Orang
papua berbeda ras dari orang Indonesia, sejarah Papua Barat dalam kaitan dengan
kontak dengan dunia luar ataupun sejarah penjajahan dan perjuangan kemerdekaan
berbeda dengan sejarah Indonesia, Pulau papua masuk dalam wilayah Pasifik,
Papua Barat dibatasi oleh laut, terpisah dari pulau – pulau NKRI, tetapi
wilayah itu diduduki dan di kuasai oleh Indonesia, maka status wilayah itu
berbeda dari pada wilayah lain di Indoneisa. Maka wilayah itu diberi
otonomi yang khusus.
Arti otonomi
khusus menurut UU No. 21/2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi Papua dalam
bab I perihal ketentuan umum pasal 1 membatasi arti otonomi khusus adalah
kewenangan khusus yang akui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi dan hak – hak dasar masyarakat Papua.
Dalam
bab IV tentang kewenangan daerah, pasal 4 disebutkan batas – batas
kewenangan yaitu:
“Kewenangan
provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,moneter, dan fiskal,
agama dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Jadi otonomi khusus
artinya pengakuan dan pemberian kewenangan yang mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan kecuali lima urusan yang disebutkan diatas. Jadi
keseluruhan urusan pemerintah diberikan kepada pemerintah daerah, sedangkan
lima hal lain yang masih ada di tangan pemerintah pusat.
Otonomi
ini diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor
21 Tahun 2001, Hal – hal mendasar yang
menjadi isi undang – undang ini adalah :
1. Mengatur
kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah propinsi papua serta menerapkan
kewenangan tersebut di propinsi Papua yang
dilakukan dengan kekhususan
2. Pengakuan
dan penghormatan hak – hak dasar orang asliPapua serta pemberdayaannya secara strategis dan
mendasar.
3. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik
yang berciri:
a) partisipasi
rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui
keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
b) pelaksanaan
pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar
penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya
dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan
berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
c) penyelenggaraan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab
kepada masyarakat.
4. pembagian
wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat
Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang
diberikan kewenangan tertentu.
Jadi
hal pertama yang ditekankan adalah bahwa pengaturan kewenangan itu dilakukan
dengan kekhususan, yang kedua menjelaskan maksud kekhususan itu bahwa perihal kekhususan itu
perlu ada pada pengakuan dan penghormatan hak – hak dasar orang asli papua
serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar.Perihal pengakuan dan
penghormatan hak – hak dasar orang papua menjadi kekhususan dari otonomi khusus
itu yaitu berbeda dengan sekedar pemberian otonomi seperti diberlakukan di wilayah
NKRI lainnya. Pokok ini memperteguh arti politis dari otonomi khusus
diatas bahwa memang politik otonomisasi itu dijalankan di dunia sebagai
tanggapan terhadap tuntutan kaum minoritas yang berbeda suku bangsanya dengan
suku – suku bangsa mayoritas lainnya, khususnya suku bangsa dari penguasa
mayoritas lainnya, dengan tujuan untuk membungkam tuntutan dan aspirasi
masyarakat minoritas itu.
Pemberian
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan,
penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan
ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka
kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus
melalui UU 21/2001 menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya
sebagai subjek utama. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun
ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau
orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat
Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang
berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
Keberadaan
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di
bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan
rakyat. Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan
rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan
nasional Indonesia di Provinsi Papua.
D.
DI Yogyakarta
Asal Usul
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
metamorfosis dari Pemerintahan Negara Kesultanan
Yogyakarta danPemerintahan Negara Kadipaten Pakualaman,
khususnya bagian Parentah
Jawi yang
semula dipimpin oleh Pepatih
Dalem untuk
Negara Kesultanan Yogyakarta dan Pepatih
Pakualaman untuk
Negara Kadipaten Pakualaman. Oleh karena itu Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki hubungan yang kuat dengan Keraton Yogyakarta maupun Puro
Paku Alaman. Sehingga tidak mengherankan banyak pegawai negeri sipil daerah
yang juga menjadi Abdidalem
Keprajan Keraton
maupun Puro. Walau demikian mekanisme perekrutan calon pegawai negeri sipil
daerah tetap dilakukan sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Kepala dan wakil kepala daerah
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU
Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan DIY), Kepala dan Wakil Kepala Daerah
Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan
keluarga yang berkuasa di daerah itu, pada zaman sebelum Republik Indonesia,
dan yang masih menguasai daerahnya; dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran
dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Dengan
demikian Kepala Daerah Istimewa, sampai tahun 1988, dijabat secara otomatis
oleh Sultan Yogyakarta yang bertahta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, sampai
tahun 1998, dijabat secara otomatis oleh Pangeran Paku Alam yang bertahta.
Nomenklatur Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa baru digunakan mulai
tahun 1999 dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999. Saat ini mekanisme pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diatur dengan UU 13/2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Birokrasi dan
kelembagaan
Di bidang pengembangan kelembagaan Pemerintah DIY telah
menetap Peraturan
Daerah (Perda)
Nomor 5 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan
Sekretariat DPRD DIY, Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Daerah DIY, Perda Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah,
dan Satuan Polisi Pamong Praja DIY; serta menerapkannya mulai tahun 2009.
Perangkat
daerah di DIY antara lain terdiri atas:
·
Dinas Kebudayaan
·
Dinas Kehutanan dan Perkebunan
·
Dinas Kelautan dan Perikanan
·
Dinas Kesehatan
·
Dinas Pariwisata
·
Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi
Sumber Daya Mineral
·
Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan
Aset
·
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga
·
Dinas Perhubungan, Komunikasi dan
Informatika
·
Dinas Perindustrian, Perdagangan Koperasi
dan Usaha Kecil Menengah
·
Dinas Pertanian
·
Dinas Sosial
·
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
·
Inspektorat
·
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
·
Badan Kepegawaian Daerah
·
Badan Kerja Sama dan Penanaman Modal
·
Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat
·
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
·
Badan Lingkungan Hidup
·
Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Masyarakat
·
Badan Pendidikan dan Pelatihan
·
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
·
Sekretariat Komisi Pemilihan Umum DIY
·
Rumah Sakit Grhasia
·
Satuan Polisi Pamong Praja
Selain
itu di DIY dibentuk Ombudsman Daerah sejak tahun 2004 dengan keputusan
Gubernur.
Lembaga Perwakilan Rakyat
Lembaga Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta
dirintis dengan pembentukan KNI Daerah Yogyakarta pada tahun 1945. Pada Mei
1946 KNI Daerah Yogyakarta dibubarkan dan dibentuk Parlemen Lokal pertama di Indonesia
dengan nama Dewan Daerah[46].
Walaupun anggotanya tidak dipilih melalui pemilihan umum, parlemen ini tetap
bekerja mewakili rakyat sampai tahun 1948 saat Invasi Belanda ke Kota
Yogyakarta. Pada 1951, setelah melalui pemilihan umum bertingkat terbentuklah parlemen
lokal yang lebih permanen dengan nama "Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta"
Susunan anggota DPRD DI Yogyakarta hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 berasal dari sepuluh
partai dari 12 partai yang ikut serta dan dilantik pada tanggal 2 September
2014. Setelah periode sebelumnya (2009-2014) didominasi oleh anggota dari
Partai Demokrat, DPRD DI Yogyakarta didominasi oleh PDI-P dengan perincian
sebagai tercantum dalam tabel.
Dalam
menjalankan tugas sehari-hari, DPRD DIY memiliki empat komisi (disebut Komisi A
sampai Komisi D), dengan dilengkapi Sekretariat, Badan Kehormatan, dan Badan
Anggaran.
Keistimewaan DIY
Menurut UU Nomor 3 tahun 1950 yang dikeluarkan oleh negara
bagian Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta pada maret 1950,
keistimewan DIY mengacu pada keistimewaan yang diberikan oleh UU Nomor 22 Tahun
1948 yaitu Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga
yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dan yang
masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan
kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Selain itu, untuk
Daerah Istimewa yang berasal dari gabungan daerah kerajaan dapat diangkat
seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat sama
seperti kepala daerah istimewa. Sebab pada saat itu daerah biasa tidak dapat
memiliki wakil kepala daerah. Adapun alasan keistimewaan Yogyakarta diakui oleh
pemerintahan RI menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU
Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan DIY), adalah Yogyakarta mempunyai
hak-hak asal usul dan pada zaman sebelum Republik Indonesia sudah mempunyai pemerintahan
sendiri yang bersifat Istimewa (zelfbestuure landschappen).
Saat ini
Keistimewaan DIY diatur dengan UU Nomor 13 tahun 2012 yang meliputi
1. tata
cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil
Gubernur;
2. kelembagaan
Pemerintah Daerah DIY;
3. kebudayaan;
4. pertanahan;
dan
5. tata
ruang.
Kewenangan
istimewa ini terletak di tingkatan Provinsi
Dalam tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur
salah satu syarat yang harus dipenuhi calon gubernur dan wakil gubernur adalah bertakhta
sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai
Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur .
Kewenangan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY diselenggarakan
untuk mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan
pemerintahan asli yang selanjutnya diatur dalam Perdais.
Kewenangan kebudayaan diselenggarakan untuk memelihara dan
mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai,
pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar
dalam masyarakat DIY yang selanjutnya diatur dalam Perdais.
Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualamanan dinyatakan sebagai badan hukum.
Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan
dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan
sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan Kasultanan dan Kadipaten dalam
tata ruang terbatas pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah
Kadipaten yang selanjutnya diatur dalam Perdais. Perdais adalah peraturan
daerah istimewa yang dibentuk oleh DPRD DIY dan Gubernur untuk mengatur
penyelenggaraan Kewenangan Istimewa. Selain itu, pemerintah menyediakan
pendanaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Keistimewaan DIY dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan kebutuhan DIY dan kemampuan
keuangan negara.
Bab iii
Penutup
Kesimpulan
Otonomi khusus, sebagai varian
dari otonomi, merupakan bagian penting bagi perjalanan Indonesia
karena kebijakan yang ada tidak memberikan kejelasan akan keberadaan suatu daerah
dengan otonomi yang berbeda dengan yang lain. Otonomi khusus diberlakukan
karena ada daerah yang sejak sebelum kemerdekaan sudah mempunyai status
“mandiri” atau “kawasan berotonomi khusus”, karena ada daerah yang diperlukan
untuk berotonomi khusus, dan karena ada daerah yang memaksa untuk memperoleh
otonomi khusus. Pertentangan di antara fakta-fakta obyektif ini akan terus
menjadi bagian dari pergulatan Indonesia memasuki masa depan. Isu ini bukan
saja menjadi bagian penting bagi kemajuan Indonesia, tetapi bagian
yang menentukan. Karena itu, menjadi relevan mengangkatnya sebagai isu
strategis –dan bukan sebagai isu politis.
Pada saat ini, Provinsi
Aceh, Papua, dan Jakarta adalah tiga daerah di Indonesia yang ditatakelola
dengan model “otonomi khusus”. Selain ketiganya, yang sedang dalam proses,
adalah Yogyakarta.
Isu yang penting
diangkat adalah bagaimana model-model kekhususan masing-masing. Aceh dan Papua
mempunyai kesaman dalam hal kekhususan, yaitu mereka mendapatkan bagian
pendapatan atas kekayaan yang ada di daerah mereka di atas hak yang diperoleh
oleh daerah-daerah lain di Indonesia, seperti yang diatur pada UU No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Jakarta mempunyai
kekhususan karena otonomi ada di tingkat provinsi. DIY mengajukan kekhususan
sebagai monarki yang ada pada sebuah negara republik modern.
Daftar pustaka
Karoba, Sem, dkk. 2005. PAPUA
MENGGUGAT :Teori PolitikOtonomisasi NKRI di PAPUA BARAT. Yogyakarta: watchPAPUA
dan Galang press.
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
ReplyDeleteJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)