iklan1
Dalam Islam, memungut riba atau
mendapatkan keuntungan berupa riba pinzaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'anSurah Al-Baqarah ayat 275 :...padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya
perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem
bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada
bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak ban.
bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak ban.
Secara garis besar riba
dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba
hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.Sedangkan
riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
- Riba Qardh
- Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
- Riba Jahiliyyah
- Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam
tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
- Riba Fadhl
- Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.
- Riba Nasi’ah
- Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara
yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Perbedaan
Investasi dengan Membungakan Uang
Ada dua perbedaan mendasar antara
investasi dengan mem-bungakan uang.Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari
definisi hingga makna masing-masing.
- Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko
karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan
kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
- Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang
mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif
pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah
usaha nyata dan produktif.Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan
investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas,
menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena
perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak
tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang
benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak
dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan
kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi
kepercayaan bagi pemilik dana.
Ada dua jenis hutang yang berbeda
satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan
hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena
pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti
dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan.Tambahan
lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi,
tidak diperbolehkan.Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang
harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual.Harga jual
itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati.
Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik,
karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah
yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang
uang.
Sekali lagi, Islam mendorong praktik
bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi
pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan
itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad
dengan asumsi harus selalu untung
Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi - Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh - Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak
nasabah untung atau rugi
Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. - Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. - Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak
dikecam) oleh beberapa kalangan
Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
·
· 2. Definisi dan Hukum RIBA Secara etimologi,
riba berarti kelebihan atau tambahan. Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal
dari rabaa - yarbuu , yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Arti kata riba
adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya
sendiri, seperti firman Allah SWT QS. Fusshilat: 39 dan QS. Al-Nahl: 92. وإذا
أنزلنا عليها الماء اهتزت وربت “… maka apabila Kami turunkan air di atasnya,
bergerak dan (bertambah) subur…” أن تكون أمة أربى من أمة “… disebabkan adanya
suatu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan lain…” Adakalanya lagi
tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar
dengan dua dirham. Ribâ adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam. Riba, hukumnya haram dan termasuk salah satu dosa besar (
kabâir ), berdasar kitabullah, sunnah dan ijma’. QS Al-Baqarah: 278-279. QS
Al-Baqarah: 275-276. اجتنبوا السبع الموبقات : قالوا يا رسول الله وما هن ؟
قال : الشرك بالله والسحر و قتل النفس التى حرم الله الا بالحق و
أكل الربا وأكل مال اليتيم والتولى يوم الزحف و قذف المحصنات
المؤمنات الغافلات . متفق عليه Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang
membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau,
“(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh
jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba,
(kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan
dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu
menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” لعن رسول الله
صلعم أكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهديه و قال : سواء . رواه
مسلم Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua
saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.”
·
· 3. Hikmah Pengharaman Riba Meskipun praktik
riba memberi “keuntungan pasti” bagi pihak tertentu, namun akibat negatif yang
ditimbulkan justru lebih luas. Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba
semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, sosial
masyarakat maupun perekonomiannya. Hikmah pengharaman riba : 1 . Riba berarti
perbuatan mengambil harta orang lain tanpa hak. Nabi SAW bersabda:
"Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.“
Oleh karena itu mengambil harta orang lain tanpa hak, sudah pasti haramnya. 2 .
Riba dapat melemahkan kreatifitas manusia untuk berusaha atau bekerja. Sebab
kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh
tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan cara
mencari penghidupan, tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan
pekerjaan-pekerjaan yang berat. Hal semacam itu akan berakibat terputusnya
bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa
kemaslahatan dunia 100% ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan,
perusahaan dan pembangunan.(hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi
perekonomian). 3 . Riba menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam hutang
piutang. Keharaman riba membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah
darat. Kalau riba diharamkan, seseorang akan merasa senang meminjamkan uang
satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan,
maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (ini hikmah dari segi
etika/akhlak). 4 . Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang
peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba,
berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin
yang lemah sebagai tambahan. Padahal tidak layak berbuat demikian sebagai orang
yang memperoleh rahmat Allah. (ini ditinjau dari segi sosial).
·
·
4. Proses Pengharaman Riba Allah Swt.
menggunakan metode tadarruj fi al-tasyrî’ (proses bertahap dalam penetapan
hukum) untuk menjelaskan efek buruk riba hingga pengharamannya. Pada tahap
pertama , Al-Quran menjelaskan urgensi menjauhi riba ( Surat al-Rủm: 39 ).
Tahap Kedua, Al-Quran Surat al-Nisâ` ayat 160-161 menceritakan tentang perilaku
kaum Yahudi yang memakan riba sehingga dihukum oleh Allah Swt. Ayat yang
diturunkan di Madinah ini merupakan sejarah yang menjadi peringatan bagi pelaku
riba. Tahap Ketiga, Al-Quran surat Âli ‘Imrân ayat 130 mulai mengharamkan jenis
riba yang bersifat fâ h isy, yaitu riba jahiliyah yang berlipat ganda. Tahap
Keempat, Al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 278-279 menegaskan kembali
pengharaman segala bentuk riba.
·
· 5. Macam-macam RIBA Secara garis besar, riba
dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba
jual beli . Riba utang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba
jahiliyah . Sedangkan riba jual beli terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba
nasî`ah . Riba Qardh yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berutang. Riba Jâhiliyyah yaitu utang dibayar lebih
dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang
ditetapkan. Riba Fadhl ialah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis
barang ribawi ( meliputi emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun
dalam bentuk lainnya; serta bahan makanan pokok seperti beras, gandum, jagung,
dan bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran, buah-buahan). Riba Nasî`ah
ialah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasî`ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat
ini dan yang diserahkan kemudian. Ada beragam kriteria riba yang berkembang di
masyarakat. Sebagian berpandangan bahwa yang dimaksud riba adalah dengan
kriteria berlipat ganda seperti yang dinukil dalam Al-Quran. Konsekuensinya
jika yang diminta hanya kelebihan kecil dari pinjaman yang disalurkan berarti
belum masuk kategori riba. Kelompok ini membedakan istilah riba dengan usuri .
Ada pula kriteria penggolongan riba berdasarkan tujuan peminjaman. Sebagian
masyarakat menganggap, bila peminjaman itu untuk tujuan konsumtif maka
pengenaan bunga bisa dikategorikan riba. Namun bila peminjamannya untuk tujuan
produktif, pengenaan bunga dikategorikan bukan riba. Sesungguhnya pendapat
semacam ini tidak ada dalilnya dalam Islam. Untuk pinjaman produktif, terdapat
dua kemungkinan: memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Jika dalam
menjalankan bisnisnya peminjam mengalami kerugian atau mungkin sejumlah
keuntungan tertentu, dasar apa yang dapat membenarkan kreditor menarik
keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari peminjam? Kreditor bisa saja
menginvestasikan modalnya pada usaha-usaha yang baik agar ia menuai keuntungan.
Bila itu yang menjadi tujuan, cara yang wajar dan praktis baginya adalah dengan
kerjasama usaha dan berbagi keuntungan, bukan meminjamkan modal dengan menarik
keuntungan tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sektor riil.
·
·
6. Hukum Bunga Bank KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 1
Tahun 2004 Tentang BUNGA (INTEREST/FAIDAH) Pertama : Pengertian Bunga
(Interest) dan Riba Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan
dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di perhitungkan dari pokok
pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan
tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan
persentase. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yg terjadi karena
penagguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang
disebut Riba Nasi’ah. Kedua : Hukum Bunga (interest) Praktek pembungaan uang
saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW,
yakni Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah
satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya
adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian,
Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu. Ketiga :
Bermu’amalah dengan lembaga keuangan konvensional Untuk wilayah yang sudah ada
kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan
melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga. Untuk wilayah
yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah, diperbolehkan
melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan
prinsip dharurat/hajat.
·
·
7. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Bank atau perbankan
adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa
dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dengan tujuan memenuhi
kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. 1. Melakukan investasi
yang halal dan haram. 2. Memakai perangkat bunga. 3. Profit oriented 4.
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur. 5. Tidak
terdapat dewan sejenis (DPS). 1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa. 3. Berorientasi pada
keuntungan (profit oriented) dan kemakmuran serta kebahagian dunia akhirat (
falah ) 4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan. 5.
Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas
Syariah (DPS) Bank Konvensional Bank syariah
·
·
8. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil BUNGA Penentuan bunga dibuat pada
waktu akad dgn asumsi harus selalu untung. Besarnya persentase berdasarkan pada
jumlah uang (modal) yg dipinjamkan. Pembayaran bunga tetap seperti yg
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yg dijalankan oleh pihak nasabah untung
atau rugi. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan
berlipat atau keadaan ekonomi sedang ‘booming’ Eksistensi bunga diragukan
--bahkan dilarang-- oleh semua agama termasuk Islam. BAGI HASIL Penentuan
besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung rugi. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah
keuntungan yg diperoleh. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang
dijalankan. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan. Tidak ada yang meragukan kebsahan bagi hasil.
·
·
9. islamic Banking Captured from
·
·
10. Perbandingan Bank Captured from
·
·
11. Instrumen Keuangan Syari’ah Captured from
·
·
12. Produk-produk Bank Syariah (BS) Produk bank syariah meliputi: Produk
di sisi pasiva – simpanan, Produk di sisi aktiva – pembiayaan, dan Produk Jasa.
PRODUK SIMPANAN 1. Giro wadi’ah. Wadiah adalah prinsip titipan . Ada dua macam
wadiah, yaitu: a. wadi’ah yad amanah , di mana pihak yang dititipi tidak boleh
menggunakan barang yang dititipkan untuk kepentingan usahanya, dan harus
mengembalikan apabila diminta oleh pemiliknya sewaktu-waktu. b. wadi’ah yad
dhamanah , di mana di mana pihak yang dititipi harus mengembalikan apabila
diminta oleh pemiliknya sewaktu-waktu dan boleh menggunakan barang yang
dititipkan untuk kepentingan usahanya. Atas penggunaan barang tersebut, apabila
mendapatkan keuntungan, pihak yang dititipi boleh memberikan bonus kepada
pemilik barang tapi tidak dipersyaratkan di awal akad. Giro wadi’ah menggunakan
prinsip wadiah yad dhamanah , di mana pihak bank adalah pihak yang dititipi dan
nasabah adalah pemilik dana. Pihak bank boleh menggunakan dana yang dititipkan
untuk kepentingan usahanya. Apabila untung, dapat memberikan bonus kepada
pemilik dana. Sehingga bonus yang diterima pemegang giro wadiah mutlak
kewenangan pihak bank. Selain itu, ketentuan giro wadiah seperti halnya giro
konvensional. 2. Tabungan wadi’ah. Menggunakan prinsip wadiah yad dhamanah. 3.
Tabungan mudharabah. Merupakan suatu investasi tidak terikat (ITT) nasabah
kepada bank syariah menggunakan skema mudharabah mutlaqah, yaitu nasabah tidak
memberikan batasan atau syarat kepada pengelola (bank syariah) mengenai
bagaimana dananya harus dikelola atau dalam wilayah usaha tertentu . 4.
Deposito mudharabah. Menggunakan prinsip mudharabah mutlaqah, bukan muqayyadah.
·
·
13. PRODUK PEMBIAYAAN 1. Pembiayaan berdasar prinsip bagi hasil
musyarakah. Dalam pembiayaan musyarakah, nasabah dan bank sama-sama menyetorkan
modal untuk membuat usaha. Tetapi, bank tidak ikut serta dalam kepengelolaan
usaha tersebut. Mengenai bagi hasil, ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu
profit sharing (bagi laba) dan revenue sharing (bagi pendapatan). Jika BS
memakai metode revenue sharing, berarti yang dibagi hasil antara BS dan nasabah
pembiayaan adalah pendapatan tanpa dikurangi dengan biaya-biaya. Sedangkan
apabila menggunakan metode profit sharing, maka yang dibagi hasil antara BS dan
nasabah pembiayaan adalah pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya (laba). 2.
Pembiayaan berdasar prinsip bagi hasil mudharabah. BS sebagai pemilik modal
100% dan nasabah sebagai pengelola 100%. Keduanya sepakat untuk bekerja sama
membuat suatu usaha. Jika terdapat keuntungan, maka dibagi berdua sesuai
nisbah. Jika terjadi kerugian akibat kesalahan pengelola, maka pengelola
sendiri yang harus menanggungnya. Tapi jika kesalahan itu bukan karena
kesalahan pengelola, maka pemilik dana (BS) yang harus menanggungnya. 3. Pembiayaan
berdasar prinsip jual beli murabahah. Murabahah ialah menjual barang sebesar
harga pokok ditambah marjin keuntungan, dimana pembayarannya dapat dilakukan
secara tunai atau angsuran. Pembeli dan penjual harus sama-sama tahu mengenai
harga pokok dan menyepakati marjin. Sekali harga disepakati, harga tersebut
yang berlaku sampai akad berakhir, artinya, harga kesepakatan tidak akan
berubah sampai akad selesai. Dalam produk ini, BS bertindak sebagai penjual. 4.
Pembiayaan berdasar prinsip jual beli salam. Yaitu prinsip jual beli, dimana
pembayaran dilakukan di muka, dan barang diserahkan dikemudian hari. Biasanya
diaplikasikan dalam sektor pertanian. Dalam salam, spesifikasi barang,
kuantifikasi dan kualifikasi barang diketahui dan diukur secara jelas dan spesifik.
5. Pembiayaan berdasar prinsip jual beli istishna’. Biasanya ini diaplikasikan
dalam sektor manufaktur. Penjual harus terlebih dulu membuat barang yang
diinginkan pembeli. Cara pembayaran bisa di muka (seperti salam), bisa diangsur
atau ditangguhkan sampai waktu yang ditentukan. Seperti salam, istishna juga
dapat dilakukan secara paralel. Yaitu antara nasabah pembuat dengan BS, di sini
BS bertindak sebagai pembeli. Dan antara BS dengan nasabah pembeli, di sini BS
bertindak sebagai penjual. 6. Pembiayaan berdasar prinsip sewa ijarah. Ijarah
adalah prinsip sewa- menyewa barang, dalam jangka waktu tertentu barang harus
dikembalikan kepada pemilik dalam keadaan seperti semula. Ada pula ijarah
muntahiya bittamlik, yaitu akad sewa yang pada akhir masa sewa, terjadi
perpindahan kepemilikan barang. Barang menjadi milik penyewa. Perpindahan ini,
dapat dikarenakan hibah atau beli (sewa-beli).
·
·
14. Skema Aplikasi Salam Paralel BANK (Muslam ilaih dan Muslim) 1b.
Negosiasi & Akad PEMBELI (Nasabah 2) (Muslim) 1a . Negosiasi & Akad
Salam 2a. Bayar kewajiban 2b. Bayar 3b. Kirim Dokumen PETANI (Nasabah 1)
(Muslam ilaih) BARANG PESANAN (Muslam Fihi) 3a. Kirim Barang dan Dokumen
·
·
15. Skema Salam sekaligus Murabahah BANK (Penjual/Bâi’ dan Muslim) 1b.
Negosiasi & Akad PEMBELI (Nasabah 2) (Musytari) 1a . Negosiasi & Akad
Salam 4. Bayar kewajiban 2. Bayar 3b. Kirim Dokumen PETANI (Nasabah 1) (Muslam
ilaih) BARANG PESANAN (Muslam Fihi) 3a. Kirim Barang dan Dokumen Teknis
Perbankan: Bank membeli secara salam. Bank menjual secara murababah. 1a.
Negosiasi & akad salam antara Bank & Petani. 1b. Negosiasi & akad
murabahah antara bank dan Pembeli. 2. Bank melakukan pembayaran ke petani. 3a.
Petani kirim barang & dokumen kepada pembeli. 3b. Petani juga kirim dokumen
kepada bank. 4. Pembeli membayar kewajibannya kepada bank.
·
·
16. Aplikasi Istishna ’ Paralel Istishna’ merupakan fasilitas penyaluran
dana untuk pengadaan objek atau barang investasi yang diberikan berdasarkan
pesanan nasabah. Pembiayaan ini memerlukan proses produksi/
pembangunan/renovasi. Pihak produsen/pemasok/kontraktor bisa ditunjuk oleh bank
atau nasabah sendiri. Bank menjual barang yang dipesan nasabah sebesar harga
pokok plus margin keuntungan. Penyerahan barang kepada nasabah dilakukan
setelah barang selesai atau sesudah melewati masa proses produksi/pembangunan/
renovasi. Setelah memenuhi prosedur, persyaratan seperti uang muka dan
kelayakan mengenai kemampuan angsuran dan lainnya, nasabah sebagai pembeli
dapat memanfaatkan fasilitas angsuran untuk jangka waktu tertentu. Keunggulan:
Jumlah angsuran tetap tidak berubah, walaupun terjadi fluktuatif suku bunga.
Kewajiban angsuran dapat dilakukan setelah masa proses produksi. BANK (Shani’
& Mustashni’) 2a. Akad istishna’ I PEMESAN (Nasabah) (Mustashni’) 2b. Akad
istishna’ II 1a. Pesan barang sesuai kriteria 1b. Minta membuatkan barang 4.
Membuat Barang PEMASOK (Shani’) BARANG PESANAN (Mashnu’) 5b. Kirim Dokumen 5a.
Kirim Mashnu’ yang telah selesai dibuat 3a. Bayar 3b. Bayar 8
·
·
17. Skema Istishna ’ sekaligus Ijarah Teknis Perbankan: Bank membeli
secara istishna’. Bank menyewakan secara ijarah. 1a. Nasabah penyewa memesan
barang kepada bank. 1b. Bank minta dibuatkan barang kepada pemasok (shani’).
2a. Akad ijarah antara nasabah penyewa dengan bank. 2b. Akad istishna’ antara
bank dengan pemasok (shani’). 3. Bank melakukan pembayaran kepada pemasok
(shani’). 4. Pemasok membuat barang pesanan. 5a. Pemasok mengirim barang kepada
nasabah penyewa. 5b. Pemasok mengirim dokumen ke bank. 6. Nasabah penyewa
membayar sewa ke bank. BANK (Mu`ajjir & Mustashni’) 2a. Akad Ijarah PEMESAN
(Nasabah) (Musta`jir) 2b. Akad istishna’ 1a. Pesan barang untuk disewa 1b.
Minta membuatkan barang 4. Membuat Barang PEMASOK (Shani’) BARANG PESANAN
(Mashnu’) 5b. Kirim Dokumen 5a. Kirim Mashnu’ yang telah selesai dibuat 6.
Bayar sewa 3. Bayar
·
·
18. Perbankan Syariah Designed by
·
·
19.
·
·
20.
·
·
21.
·
·
22. Prinsip Asuransi Dalam al-Quran إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ
السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيُعَلِّمُ مَا فِي اْلأَرْحاَمِ وَماَ تَدْرِى
نَفْسٌ ماَذَا تَكْسِبُ غَداً وَماَ تَدْرِى نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ
اللهَ عَلِيْمٌ خَبْيْرٌ .لقمان : 34 مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ
اللهِ…التغابن : 11 وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا
عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَاِب
. المائدة : 2 Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa dihadapkan pada
kemungkinan terjadinya musibah, malapetaka dan bencana, seperti kematian,
kebakaran rumah, kecelakaan kendaraan, dsb. Segala musibah dan bencana yang
telah terjadi, merupakan qadha dan qadar Allah, manusia harus berikhtiar dan
berusaha melakukan tindakan berjaga-jaga memperkecil resiko yang ditimbulkan
dari bencana dan malapetaka tersebut, bukan melakukan proteksi atas kecelakaan
itu sendiri, baik terhadap kepentingan individu ataupun perusahaan. Salah satu
cara menghadapi kemungkinan terjadinya bencana atau malapetaka ialah dengan
menyimpan atau menabung uang. Namun demikian, upaya ini seringkali tidak
mencukupi. Hal ini disebabkan karena biaya yang harus ditanggung jauh lebih
besar dari yang diperkirakan. Untuk itulah diperlukan lembaga yang memproteksi
berbagai kemungkinan musibah yang terjadi yang disebut dengan asuransi. Takaful
adalah sebuah konsep asuransi syari’ah yang di dalamnya dilakukan kerja sama
dengan para peserta takaful (pemegang polis asuransi) atas prinsip
al-mudharabah. Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai al-mudharib yang
menerima uang pembayaran dari peserta takaful untuk diadministrasikan dan
diinvestasikan sesuai dengan ketentuan syari’ah. Peserta takaful bertindak
sebagai shahib al-mal yang akan mendapat manfaat jasa perlindungan serta bagi
hasil dari keuntungan perusahaan asuransi syariah. Sebagian kecil dari
premi dana peserta takaful dialokasikan sebagai kumpulan dana tabarru’
(sumbangan) , yang menjadi sumber dana bantuan bagi peserta asuransi yang
mengalami musibah. Konsep takaful pada dasarnya merupakan usaha kerja sama
saling melindungi dan menolong antara anggota masyarakat dalam menghadapi
malapetaka atau bencana .
·
· 23. Definisi Asuransi
·
· 24. Definisi Asuransi Syari’ah
·
· 25. Perbedaan Antara Asuransi Konvensional
dan Syariah
·
· 26. Perbedaan Antara Asuransi Konvensional
dan Syariah
·
· 27. Perbedaan Antara Asuransi Konvensional
dan Syariah Asuransi Konvensional Asuransi Syariah
·
· 28. Perbedaan Antara Asuransi Konvensional
dan Syariah Asuransi Konvensional Asuransi Syariah
·
· 29. Mekanisme Dana Asuransi Syariah
·
· 30. Mekanisme Asuransi: Produk Tabungan
·
·
31. Mekanisme Asuransi: Produk Non-Tabungan
0 Response to "Riba Dalam Islam"
Post a Comment