Dinamika putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Suatu Telaah Sosiologis

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

             Pada tanggal 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemohon dalam perkara ini adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
             Putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 merupakan putusan penting sebab menjungkirbalikan pemahaman klasik di Indonesia tentang hutan, kawasan hutan dan posisi hutan adat. Pada intinya putusan MK 35 menyangkut dua isu konstitusional, pertama mengenai hutan adat dan kedua mengenai pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat adat. Putusan itu mengabulkan permohonan berkaitan dengan hutan adat, namun menolak permohonan untuk menghapuskan syarat-syarat pengakuan keberadaan masyarakat adat yang terdapat di dalam UU Kehutanan.
             Putusan MK 35/PUU-X/2012 berisi beberapa pokok antara lain:[1] Pertama, pernyataan Mahkamah Konstitusi bahwa UU Kehutanan yang selama ini memasukan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan bentuk dari pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat dan merupakan pelanggaran konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan: “Oleh karena itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat”[2]. Peryataan bahwa selama ini telah terjadi pengabaian semestinya membuat pemerintah semakin sadar untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat yang selama ini ‘dirampas’ atau diabaikan.
             Keduahutan adat dikeluarkan posisinya dari sebelumnya merupakan bagian dari hutan negara kemudian dimasukan sebagai bagian dari kategori hutan hak. Hal ini sebagai konsekunsi dari perubahan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan.

Tabel 1. Perubahan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan
Sebelum putusan MK
Setelah putusan MK
Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

             Hutan adat dikeluarkan posisinya dari hutan negara kemudian dimasukan ke dalam kategori hutan hak. Di dalam Putusan MK 35 secara tegas disebutkan dengan cetak tebal bahwa “hutan adat bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara, kategori hutan hak di dalamnya haruslah dimasukkan hutan adat[3].  Lebih lanjut di dalam putusan MK itu disebutkan bahwa posisi hutan adat merupakan bagian dari tanah ulayat masyarakat hukum adat.
“Hutan adat (yang disebut pula hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya didasarkan atas leluri (traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de volksfeer) dan mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan wilayahnya”.[4]
             AMAN memperkirakan bahwa luas hutan adat yang telah dijadikan sebagai bagian dari hutan negara seluas 40 jutahektar. Luas itu tentu sangat fantastis dan luar biasa luasnya. Selain itu, perubahan posisi hutan adat sebenarnya sekali lagi menunjukan kepada pemerintah bahwa kawasan hutan tidak sama dengan hutan negara. Selain hutan negara, di dalam kawasan hutan itu bisa terdapat hutan adat dan hutan hak perseorangan/badan hukum. Namun sayangnya sampai saat ini Kemenhut belum mau menerima paradigma bahwa hutan mesti dilihat sebagai kawasan yang berfungsi hutan, sehingga penguasaan Kemenhut bisa lebih luas bukan saja terhadap hutan negara, tetapi juga terhadap hutan adat dan hutan hak. Penguasaan yang dimaksud adalah adanya tanggungjawab kemenhut untuk turut memberikan kepastian hukum dan mempromosikan hutan adat dan hutan hak yang berada di atas tanah ulayat dan tanah hak.
              Ketiga, pemegang hak atas tanah adalah pemegang hak atas hutan.  Dalam putusannya MK menyampaikan bahwa ada tiga subjek hukum yang diatur dalam UU Kehutanan, yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas hutan, tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturan tentang haknya atas tanah maupun hutan[5]. Perlakuan yang berbeda terhadap masyarakat adat itulah yang juga menjadi dasar bagi MK untuk menyatakan bahwa telah terjadi pengabaian terhadap hak masyarakat adat atas hutan. Selain itu, prinsip ini juga mempertegas status hutan yang terdiri dari hutan negara, hutan adat dan hutan hak perseorangan/badan hukum. Prinsip ini merupakan prinsip penguasaan vertikal dimana pihak yang menguasai tanah maka dia juga menguasai hak-hak yang ada di atas tanah.
             Keempat, otoritas negara terhadap hutan negara dan hutan adat berbeda-beda. Mahkamah Konstitusi menyampaikan bahwa Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Kewenangan pengelolaan oleh negara di bidang kehutanan seharusnya diberikan kepada kementerian yang bidangnya meliputi urusan kehutanan.
             Sedangkan terhadap hutan adat, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat (yang disebut pula hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya didasarkan atas leluri (traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de volksfeer) dan mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan wilayahnya.
             Meskipun ada pembedaan otoritas negara terhadap hutan negara dan hutan adat, tetap ada otoritas umum yang dimiliki oleh Kemenhut di bidang kehutanan yang diterapkan terhadap semua status hutan baik hutan negara, hutan adat maupun hutan hak perseorangan. Otoritas umum ini misalkan menentukan status hutan negara, hutan adat dan hutan hak perseorangan/badan hukum. Kewenangan ini tidak pernah dijalankan oleh Kemenhut sehingga belum ada Keputusan Menteri tentang penetapan status hutan negara, hutan adat maupun hutan hak perseorangan/badan hukum. Keputusan yang ada selama ini adalah keputusan penetapan kawasan hutan yang telah secara sadar dan secara keliru dipersamakan dengan penetapan status hutan negara. Padahal sudah secara jelas bahwa kawasan hutan tidak sama dengan hutan negara.
             Kelima, hal pokok lainnya adalah penegasan bahwa masyarakat adat merupakan penyandang hak. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa masyarakat adat merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Keberadaan masyarakat adat haruslah tunduk kepada batasan-batasan yang ditentukan di dalam konstitusi antara lain masyarakat adatnya masih ada, selaras dengan perkembangan zaman dan tidak bertentangan dengan prinsip NKRI. Prinsip tidak bertentangan dengan NKRI menurut MK dimaknai bahwa keberadaan masyarakat adat bukan untuk memisahkan diri dari republik Indonesia. Lebih lanjut pengaturan tentang subjek hukum masyarakat adat, kriteria dan tata caranya diatur berdasarkan undang-undang.
             Oleh karena itu, sangat menarik untuk menganalisis putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 ini, karena terdapat berbagai masalah yang muncul setelah dikeluarkannya putusan tersebut, seperti batasan terhadap hutan adat, siapa yang berhak mengatur sehingga kepastian hukum dari putusan ini seolah-olah lemah dan akibat lain yang ditimbulkan adalah kemanfaatannya yang berkurang dan mungkin saja keputusan yang dikeluarkan jauh dari kata adil. Untuk mengurai lebih jauh mengenai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dari putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 ini, penyusun akan mencoba mengaitkannya dengan teori yang di kemukakan oleh L. M. Friedman yang melihat hukum sebagai sebuah sistem yang tidak terpisahkan dimana sistem hukum tersebut terdiri dari struktur huku, substansi hukum dan kultur hukum.

B.    Rumusan Masalah
               Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: “Bagaimanakah Dinamika putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan”. ?




BAB II
PEMBAHASAN
Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa berhasil atau  tidaknya penegakan hukum bergantung pada 3 hal yaitu:  struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[6] Substansi Hukum adalah bagian substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, atau aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atauAnglo Saxon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tiada suatu perbuatan dapat pidana kecuali atas kekuatan hukum yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Budaya/Kultur Hukum menurut Lawrence M. Friedman[7] adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Baik substansi hukum, struktur hukum  maupun budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram dan damai.
Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan dengan baik dan benar ditengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.  Pelaksanaan hukum itu dapat berlangsung secara normal, tetapi juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum, oleh karena itu hukum yang sudah dilanggar itu harus ditegakkan. Menurut Gustav Radbruch putusan hakim yang ideal ialah apabila mengandung unsur-unsur  keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit).[8]

A.    Dinamika Putusan MK No. 35/PUU-IX/2012
              Berangkat dari uraian tentang teori hukum yang dikemukakan oleh L. M. Friedman di atas, penyusun ingin menganalisis lebih jauh tentang Dinamika Putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Apakaha putusan yang di keluarkan oleh mk tersebut sudah memerikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan atau belum.

1.                Keadilan
Putusan yang dikeluarkan oleh MK pada 16 Mei 2013 lalu itu, Putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 merupakan putusan penting sebab menjungkirbalikan pemahaman klasik di Indonesia tentang hutan, kawasan hutan dan posisi hutan adat. Namun sejak dikeluarkan putusan tersebut, belum banyak yang betul-betul berubah. Hutan-hutan adat masih dikuasai oleh perusahaan maupun oleh pemerintah baik digunakan untuk usaha-usaha di bidang kehutanan maupun konservasi yang dalam praktiknya sama-sama mengucilkan masyarakat adat dari hutan mereka.
Kelompok masyarakat adat menyambut putusan itu dengan gegap gempita. Puluhan komunitas masyarakat mengambil inisiatif untuk membuat plang dan menancapkannya di hutan-hutan adat. Di dalam plang itu dituliskan kalimat: BERDASARKAN PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012, HUTAN ADAT KAMI BUKAN LAGI HUTAN NEGARA. Apa yang dilakukan oleh komunitas masyarakat adat merupakan bentuk implementasi sendiri (self-implementing) untuk menurunkan putusan MK bisa sampai di lapangan. Hal ini wajar mengingat putusan MK tidak otomatis mengubah keputusan-keputusan administratif mengenai status kawasan hutan. Klaim masyarakat dengan menancapkan plang patut diapresiasi sebagai wujud nyata bahwa masyarakat adat memang memiliki hubungan tak terpisahkan dengan hutan yang telah menjadi bagian dari identitasnya[9].
Putusan MK dijadikan momentum oleh masyarakat hukum adat untuk mencapai keadilan yang selama ini tergadaikan, pasca putusan MK lebaga/instansi terkait harus tunduk dan patuh terhadap putusan MK selain itu, yang terpenting adalah implementasi dari putusan MK tersebut sehingga keadilan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat hukum adat dapat dirasakan dan manfaatkan. Undang-undang kehutanan yang selama ini menjadi payung hukum bagi pengelolaan hutan, sejak awal telah mengbaikan hak-hak masyarakat adat. Pengelolaan hutan adat sudah semestinya menjadi hak dari masyarakat hukum adat, sehingga keadilan akan nampak dan aturan hukum yang dibuat memiliki manfaat. sebagai seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti keadilan.  Aristoteles[10], mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, (fiat justitia et pereat mundus) meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. dalam kasus ini masyarakat adat adalah subyek yang paling relevan untuk diberikan hak mengelola hutan adat.
Selanjutnya dia membagi keadilan menjadi dua bentuk yaitu[11]pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional.Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang. Atau kata lainnya keadilan distributif adalah keadilan berdasarkan besarnya  jasa yang diberikan, sedangkan keadilan korektif adalah keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan.
Berdasarkan teori keadilan yang di kemukakan oleh Aristoteles di atas, putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 sudah mencerminkaan keadilan atau setidak-tidaknya telah mendekati keadilan bagi masyarakat adat. Dalam putusannyaMahkamah Konstitusi berpendapat bahwa wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat (yang disebut pula hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya didasarkan atas leluri (traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de volksfeer) dan mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan wilayahnya. [12]
Sebelumnya hutan adat dimasukkan sebagai bagian dari hutan negara dan bukan sebagai hutan hak sehingga negaralah yang mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Akibatnya hutan adat sebagai bagian dari hak ulayat masyarakat menjadi terabaikan dan bahkan dilanggar hak-haknya oleh negara. Pasca putusan MK hak-hak masyarakat adat belum sepenuhnya dikembalikan oleh negara, karena dalam putusan MK sendiri perlu dilakukan tindak lanjut untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat terkait dengan substansi, struktur dan budaya hukum yang harus kembali diselaraskan untuk menghindarkan potensi terjadinya konflik akibat putusan MK tersebut.





·       Substansi
Substansi adalah output dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.[13]
      Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.[14]
Dalam hal ini, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan harus disinkronkan kembali pasca putusan MK beberap pasal telah diubah yang berpengaruh pula pada Pasal-pasal terkait lain di dalam UUK, yaitu Pasal 5 ayat (1) dan penjelasannya, ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 67 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).

·       Struktur
Yang dimaksud sebagai sturktur disini adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum seperti pengadilan negeri, pengadilan administrasi yang mempunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini memungkinkan pemberian pelayanan dan penggarapan hukum secara teratur.[15]
Menurut Syafruddin Kalo Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.[16]
Pasca putusan MK tindak lanjut yang harus dilakukan terkait dengan struktur hukum adalah Akselerasi putusan MK oleh Kementerian/Lembaga terkait (implementasi teknis), sehingga perlu segera ditentukan Kementerian/Lembaga yang bertanggungjawab untuk menindaklanjuti dan melaksanakan koordinasi lintas Kementerian/Lembaga dalam kaitannya dengan tindak lanjut putusan MK.[17]
Meskipun ada pembedaan otoritas negara terhadap hutan negara dan hutan adat, tetap ada otoritas umum yang dimiliki oleh Kemenhut di bidang kehutanan yang diterapkan terhadap semua status hutan baik hutan negara, hutan adat maupun hutan hak perseorangan. Otoritas umum ini misalkan menentukan status hutan negara, hutan adat dan hutan hak perseorangan/badan hukum. Kewenangan ini tidak pernah dijalankan oleh Kemenhut sehingga belum ada Keputusan Menteri tentang penetapan status hutan negara, hutan adat maupun hutan hak perseorangan/badan hukum. Keputusan yang ada selama ini adalah keputusan penetapan kawasan hutan yang telah secara sadar dan secara keliru dipersamakan dengan penetapan status hutan negara. Padahal sudah secara jelas bahwa kawasan hutan tidak sama dengan hutan negara.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diawal paper ini bahwa sistem hukum selalu terkai dengan tiga hal yaitu substansi, struktur dan budaya hukum maka urusan struktur hukum akan selalu terkait dengan substansi yang merupakan alat utuk mencapai keadilan dan kepastian hukum.
Tindak lanjut yang diperlukan antara lain, mengeluarkan atau menginisiasi dikeluarkannya peraturan yang dapat mewadahi berbagai isu hukum terkait hutan adat antara lain tata cara mengidentifikasi hutan adat, mekanisme pengakuan dan perlindungannya, perlindungan atas hak/izin yang sudah diberikan berdasarkan peraturan yang berlaku, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik, aturan untuk mencegah dan membatasi penyalahgunaan pengakuan atas hutan adat untuk kepentingan pribadi, serta mandat memetakan wilayah adat.

·       Budaya Hukum
Adapun budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan[18].
Hukum pada dasarnya tidak hanya sekedar rumusan hitam di atas putih saja sebagaimana yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi hendaknya hukum dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam kehidupan masyarakat melalui pola tingkah laku warganya. Hal ini berarti hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang biasa disebut dengan kultur/budaya hukum. Adanya kultur/budaya hukum inilah yang menyebabkan perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.[19]
Hukum sebenarnya memiliki hubungan yang timbal balik dengan masyarakatnya, dimana hukum itu merupakan sarana/alat untuk mengatur masyarakat dan bekerja di dalam masyarakat itu sendiri sedangkan masyarakat dapat menjadi penghambat maupun menjadi sarana/alat sosial yang memungkinkan hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya[20]. Menurut Emile Durkheim, hubungan antara hukum dengan masyarakat dapat dilihat dari 2 tipe masyarakatnya yang berbeda antara lain[21] :
a)     Masyarakat dengan solidaritas mekanik yang didasarkan pada sifat kebersamaan diantara anggotanya sehingga hukum bersifat represif yang berfungsi mempertahankan kebersamaan tersebut;
b)     Masyarakat dengan solidaritas organik yang didasarkan pada sifat individualisme dan kebebasan anggotanya sehingga menyebabkan hukum menjadi bersifat restitutif yang hanya berfungsi untuk menjaga  kelangsungan kehidupan masyarakat.
Berbicara mengenai budaya hukum menurut Prof Esmi Warasih adalah berbicara mengenai bagaimana sikap-sikap, pandangan-pandangan serta nilai-nilai yang dimilikimoleh masyarakat.[22]
Penegakan hukum bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan ia saling berkaitan dengan masalah-masalah sosial masyarakat lainnya. Artinya hukum bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga hukum sebagai sub sistem dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat dimana hukum diberlalakukan.
Budaya hukum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan apakah substansi hukum maupun tatanan proseduralnya diterima oleh masyarakat dimana hukum itu diterapkan atau tegakkan. Oleh karena itu, Lawrence M. Friedman menegaskan bahwa komponen budaya merupakan motor penggerak bagi semua tatanan hukum.


2.            Kemanfaatan
Untuk memahami kemanfaatan sebagai tujuan dari hukum, perlu kiranya untuk berkaca pada teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum tentang tujuan hukum, diantaranya:
      Teori Utilitis (Utilities Theori)
Teori ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya[23]. Semboyan teori ini adalah “The greatest happiness for the greatest number”.
Jadi pada hakekatnya menurut teori ini, tujuan hukum adalah untuk kemanfaatan dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak. Aliran utilistis ini mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum tidak lain adalah bagaiamana memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat. Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham, John Austin, dan J.S. Mills.
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada zaman itu adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Dengan kata lain bagimana menilai suatu kebijakan public yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak dari tesis tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang  yang  terkait.[24]
Bila dikaitkan apa  yang dinyatakan Bentham pada hukum ( baca Kebijakan), maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga tidak salah tidak ada para ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara.[25]
Teori Campuran atau Gabungan (Gemengde Theori)
Teori ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum bukanlah hanya keadilan, tetapi juga kemanfaatan (justice et utilities). Penganut aliran ini diantaranya adalah Schrasset yang berpendapat bahwa bilamana unsur keadilan saja yang diperhatikan dalam tujuan hukum, maka hasilnya hanyalah ketentuan-ketentuan yang memenuhi keadilan mutlak (absolute justice), tetapi tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan dalam pergaulan sehari-hari (kemanfaatan)[26].
Demikian pula Purnadi Purbacaraka dan soerjono  soekanto berpendapat bahwa tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar  pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi.[27] Pendapat ini hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn, bahwa pada dasarnya hukum bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai.
Berdasarkan pada teori-teori yang dipaparkan di atas, hasil putusan MK sudah memenuhi syarat untuk disebut pro kepada kemanfaan hukum, dimana hasil putusan tersebut diharapkan dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat hukum adat yang selama ini tidak bisa mengelola hutan adat mereka sebagai bagian dari hak ulayat yang dimiliki secara turun-temurun. Namun sejauh ini masyarakat belum bisa menikmati manfaat lahirnya Putusan MK, karena perlu adanya tindak lanjut untuk membenahi substansi dan struktur terkait dengan hasil putusan MK tersebut.
·       Substansi
Konsep penguasaan atas hutan adat yang melatarbelakangi munculnya upaya untuk mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan karena substansinya dinilai diskrimitaf dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat, bagi masyarakat hukum adat tanah atau wilayah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya sangatlah penting. Mereka menganggap tanah atau wilayat tersebut sebagai sarana bagi keberlangsungan hidup maupun budaya mereka. Betepa penting hal ini sampai bisa dikatakan bahwa  tanah adalah raison d’etre bukan saja bagi kehidupan sosial, budaya, spiritual, ekonomi dan polotik mereka, melainkan juga bagi eksistensi mereka.[28]
Erica-Irene Daes, seorang pelopor khusus untuk “Studi Tentang Masyarakat Adat Dan Hubungan Mereka Dengan Tanah” telah mengidentifikasi permasalahan umum yang dihadapi oleh masyarakat adat sehubungan dengan hak-hak dan sumber daya alam mereka. Beberapa permasalahan tersebut adalah:[29]
a)     Kegagalan atau kengganan negara-negara untuk mengakui hak-hak masyarakat adat terhadap tanah, wilayah dan sumber daya alam
b)     Hukum dan kebijakan diskriminatif yang berdampak pada anah dan sumber daya alam mereka
c)     Kegagalan atau keengganan untuk memberi batas
d)     Kegagalan atau keengganan negara-negara untuk melaksanakan atau menerapkan hukum yang  melindungi tanah masyarakat adat
Peraturan perundang-undanga yang baik dan protektif atau putusan pengadilan yang progresif tidak akan berarti apa-apa jika negara gagal untuk menerapkan berlakunya peraturan atau putusan tersebut.
Sifat UUPA 1960 sebagai hukum dasar atau undang-undang pokok, dan fakta bahwa belum ada peraturan pelaksanaa yang sudah dibuat sejauh ini secara khusus mengatur mengenai pengakuan dan perlindungan hak ulayat, telah menyebabkan munculnya kebijakan pemerintah yang sangat berdampak pada hak ulayat dari masyarakat hukum adat, menurut Fitzpatrick,[30] dari dasar hukun dari kebijakan “hak ulayat negara“ yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA 1960, yang keduanya menyatakan bahwa semua tanah dan sumber daya alam di Indonesia dikuasai oleh negara. Kebijakan ini telah memberikan peluang bagi negara untuk memberikan hak-hak di atas tanah ulayat yang tidak/belum diolah kepada pihak ke tiga, dalam penafsirannya yang ekstrem tentang Pasal 3 UUPA, Fitzpatrick mengatakan bahwa pemerintah memperlakukan semua tanah hak ulayat yang tidak diolah sebagai tanah negara.
Keluarnya Putusan MK, memang memberikan pencerahan bagi hak-hak masyarakat adat. Namun sampai saat ini masih ada keengganan negara-negara untuk melaksanakan atau menerapkan hukum yang  melindungi tanah masyarakat adat.

·       Struktur
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa struktur memiliki peran penting dalam setiap kebijakan terutama dalam menjalankan hasil dari putusan pengadilan atau struktur hukum lainnya. 
Menarik mencermati bagaimana respons pemerintah terhadap beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki dimensi reformasi tenurial kehutanan. Barangkali banyak hal positif yang telah dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, namun pada bagian ini hendak disorot beberapa repons kebijakan baik yang terkait langsung maupun tidak langsung sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi. [31]
Pertama, Kemenhut mengeluarkan Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Peraturan ini mengakomodasi keberadaan bukti tertulis dan bukti tidak tertulis sebagai dasar hak masyarakat dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Selain itu, peraturan ini juga mengakomodasi batas virtual sebagai batas kawasan hutan untuk lokasi tertentu yang tidak dapat dilakukan tatabatas fisik.
Kedua, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Undang-undang ini menghidupkan kembali persoalan yang sudah diselesaikan oleh MK dalam Putusan MK45 mengenai posisi penunjukan kawasan hutan. Dalam Putusan MK45, Mahkamah Konstitusi menempatkan kembali penunjukan kawasan hutan sebagai tahap awal yang merupakan wujud dari rencana pemerintah untuk menjadikan wilayah tertentu dijadikan sebagai kawasan hutan. Sehingga penunjukan tidak bisa dijadikan sebagai dasar yuridis bagi kawasan hutan yang definitif. Namun Pasal 6 ayat (1) huruf d UU No. 18 Tahun 2013 mengingkari Putusan MK45 dengan ketentuan yang berbunyi: “peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan”. Menjadikan peta penunjukan sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan yang definitif sama halnya dengan mengingkari Putusan MK45.
Ketiga, Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013. Pada intinya surat edaran itu bertujuan untuk memberikan informasi kepada seluruh Gubernur, Bupati dan Kepala Dinas yang mengurus persoalan kehutanan di daerah, namun terdapat kekeliruan sebab dalam angka II.1.c disebutkan bahwa hutan berdasarkan statusnya terbagi atas tiga yaitu hutan negara, hutan adat dan hutan hak. Padahal menurut Putusan MK35, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Kemudian hutan hak terdiri lagi dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Lebih lanjut juga ditegaskan mengenai Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan mengenai kewenangan Pemerintah untuk menetapkan status hutan, padahal hal itu merupakan kewenangan yang tidak pernah dilaksanakan oleh Pemerintah sampai hari ini.
Keempat, Permenhut No. P.62/Menhut-II/2013 yang merupakan perubahan terhadap Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012. Pasal 24A ayat (3) Permenhut itu mengatur bahwa: “Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan.” Padahal yang dimaksud oleh Putusan MK35 bukanlah mengeluarkan wilayah dan hutan adat yang dimiliki masyarakat hukum adat untuk 

dikeluarkan dari kawasan hutan, melainkan hanya dikeluarkan keberadaannya dari hutan negara. Hadirnya ketentuan sebagaimana Pasal 24A ayat (3) Permenhut No. P.62/Menhut-II/2013 menunjukan bahwa kementerian kehutanan masih beranggapan bahwa kawasan hutan sama dengan hutan negara.
Setelah tiga Putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki muatan reformasi tenurial kehutanan, apa yang tidak berubah dari cara pandang dan sikap Kementerian Kehutanan? Setidaknya ada dua ideologi Kemenhut yang tidak berubah. Pertama, ideologi bahwa penunjukan sama dengan penetapan kawasan hutan. Meskipun Putusan MK45 telah mengoreksi hal ini, kebijakan Kemenhut tidak bergeser dari anggapan bahwa penunjukan adalah basis legal penentuan kawasan hutan definitif. Hal ini terlihat di dalam UU P3H dan juga dalam Permenhut P.44 dan Permenhut P.62.
Kedua, ideologi bahwa kawasan hutan sama dengan hutan negara. Dalam hal ini, Kemenhut hendak menjadi satu-satunya aktor yang merajai kawasan hutan. Hal ini terlihat di dalam Permenhut P.62, dimana keberadaan hutan adat yang sejatinya menurut Mahkamah Konstitusi dikeluarkan dari hutan negara, malah oleh Permenhut P.62 dikeluarkan dari kawasan hutan. Kemenhut tak hendak berbagi kuasa dengan masyarakat adat dalam mengurus kawasan hutan.
Selain dua hal itu, terdapat satu hal penting lainnya yang sangat mempengaruhi keadaan status quo saat ini, yaitu tidak pernah dilaksanakannya kewenangan Pemerintah, dalam hal ini Kemenhut, untuk menetapkan status hutan yakni status hutan negara, hutan hak dan hutan adat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan. Kemenhut juga belum menghadirkan Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan hutan adat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 67 ayat (3) UU Kehutanan.

·       Budaya Hukum
Budaya hukum sebagai salah satu komponen yang tidak terpisahkan dari sistem hukum di Indonesia merupakan hal penting yang harus menjadi pertimbangan dalam setiap putusan hakim, bahkan dalam setiap putusannya hakim wajib menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar putusan yang dihasilkan memiliki nilai kemanfaatan (Zweckmassigkeit) bagi penegakan hukum yang ideal.
Menurut konsep pertanggungjawaban dalam administrasi negara, di mana dikatakan bahwa walaupun administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan, tetapi sikap tindaknya haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum. pertanggungjawaban moral itu kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan secara hukum itu harus memperhatikan pertanggungjawaban pada batas atas, yaitu UUD 1945 jo. Tap MPRS No. XX/MPR/1966 serta Tap MPR No. V/MPR?1973, sedangkan pertanggungjawaban pada batas bawah pada UUD 1945 jo. Tap MPR No. II/ MPR/1983 pada bidang hukum butir 3.e. dan pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagai tolak ukurnya.[32]
Dalam menjatuhkan putusan yang ideal hakim harus berdasarkan pada asas keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit). Akan tetapi dalam prakteknya sering kali ketiga asas atau tujuan hukum itu saling berbenturan. Suatu putusan hakim harus adil, te tapi harus pula bermanfaat bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat, dan terjamin kepastian hukumnya. Dalam prakteknya, hampir tidak mungkin menghadirkan ketiga unsur Idee de Rechts itu secara proporsional dalm suatu putusan. Sering terjadi ketegangan atau konflik antara ketiga unsur itu. Oleh karena itu, hakim dituntut untuk bisa mempertimbangkan segala aspek dalam setiap keputusannya termasuk juga budaya hukum yang ada dimasyarakat.


3.            Kepastian Hukum
Kepastian hukum oleh setiap orang  dapat terwujud dengan ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya tidak  dibolehkan menyimpang, hal ini  dikenal juga dengan istilah  fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Kepastian hukum sangat identik dengan pemahaman positivisme hukum. Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit.[33] Undang-undang dan hukum diidentikkan.[34] Hakim positivis dapat dikatakan sebagai corong undang-undang. Montesquieu menuliskan dalam bukunya “De l’esprit des lois”yang mengatakan:
Dans le gouverment republicant, il est de la nature de la constitution que les juges suivent la letter de la loi…Les juges de la nation ne sont qui la bounce qui pronounce les parolesde la loi, des etres inanimes qui n’en peivent moderer ni la force ni la rigueur” (Dalam suatu negara yang berbentuk Republik, sudah sewajarnya bahwa undang-undang dasarnya para hakim menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari negara tersebut adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan perkataan undang-undang, makhluk yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah, baik mengenai daya berlakunya, maupun kekerasannya).[35]
Dengan pernyataan itu, legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu,yang menyatakan bahwa, hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah, hakim dan kewenangan pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja.[36] Penegakan hukum yang mengutamakan kepastian hukum juga akan membawa masalah apabila penegakan hukum terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat tidak dapat diselesaikan berdasarkan hati nurani dan keadilan.
Keadilan adalah harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Berdasarkan karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Apabila penegak hukum menitik beratkan kepada nilai keadilan sedangkan nilai kemanfaatandan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum itu tidak dapat berjalan dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika menitik beratkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan kepastian hukum dan  keadilan dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan. Idealnya dalam menegakkan hukum itu nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai dasar filsafat dan nilai-nilai dasar kemanfaatan merupakan suatu kesatuan berlaku secara sosiologis, serta nilai dasar kepastian hukum yang merupakan kesatuan yang secara yuridis harus diterapkan secara seimbang dalam penegakan hukum.
Hal menarik yang perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua) unsur yang saling tarik menarik antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan Saleh mengemukakan:[37]
“Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pada kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.
Roscue Pound sebagai salah satu ahli hukum yang ber-mazhab pada Sosiological Jurisprudence, terkenal dengan teorinya yang menyatakan bahwa, “hukum adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering)”.[38] Hal inilah yang menjadi tolak pemikiran dari Satjipto Raharjo dengan menyatakan bahwa:
” hukum adalah untuk manusia, pegangan, optik atau keyakinan dasar, tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.[39]
Dengan demikian, bahwa kedudukan keadilan merupakan unsur yang sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Indonesia memiliki kultur masyarakat yang beragam dan memiliki nilai yang luhur, tentunya sangat mengharapkan keadilan dan kemanfaatan yang dikedepankan dibandingkan unsur kepastian hukum. Keadilan merupakan hakekat dari hukum, sehingga penegakan hukum pun harus mewujudkan hal demikian. Disamping kepastian hukum dan keadilan, unsur lain yang perlu diperhatikan adalah kemanfaatan.
Kemanfaatan dalam penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam mengukur keberhasilan penegakan hukum di Indonesia. Menurut aliran Utilitarianisme, penegakan hukum mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat pidana, bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.[40] Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Hukum yang baik adalah hukum yang memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Hal ini dikuatkan dengan pendapat JeremyBentham, bahwa:
“Pemidanaan itu harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.[41]
 Maka, apabila melihat hal yang ideal berdasarkan 3 (tiga) unsur/tujuan penegakan hukum yang telah dikemukakan di atas, penegakan hukum di Indonesia terlihat cenderung mengutamakan kepastian hukum. Harmonisasi antar unsur yang diharapkan dapat saling mengisi, ternyata sangat sulit diterapkan di Indonesia. Aparat penegak hukum cenderung berpandangan, hukum adalah perundang-undangan dan mengutamakan legal formil dalam setiap menyikapi fenomenal kemasyarakatan.
·       Substansi
Hutan adat sebagai bagian dari hak ulayat masyarakat adat jauh sebelum lahirnyan UU kehutanan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, hak ulayat diakui, dihormati dan dilindungi, artinya keberadaan/eksistensi hak ulayat itu, diakui dan dilindungi dari semua tindakan yang mengganggu hak ulayat oleh siapapun, berbagai macam perundang-undangan tersebut adalah:
Pertama, UUD 1945 dalam pasal 18 B ayat (2) memuat ketentuan tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat.[42] Kedua, Pasal 6 Tap MPR RI No. IX/MPR/2011 tentang” Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”.[43] Ketiga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dan yang keempatUndang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[44]
Selain peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan/eksistensi hak ulayat terdapat pula pengingkaran terhadap hak ulayat dalam peraturan perundang-undangan. Perundang-undangan tersebut antara lain: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan, undang-undang ini dicabut oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Nomor Tahun 41 Tahun 1999 menyatakan hutan adat sebagai hutan negara, sehingga negara dapat memberikan hutan tersebut kepada suatu subjek hukum dengan suatu hak. Hal ini berarti pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan ulayatnya dan berarti pula pengingkaran terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat.[45]
      Dengan dikeluarkannya putusan MK No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, membawa angin segar kepada masyarakat hukum adat, di mana dalam putusannya MK telah memberikan penekanan terhadap eksistensi hutan adat sehingga kepastian hukum dari eksistensi hutan adat benar-benar kuat.

·       Struktur
Struktur Hukum/Pranata Hukum disebut sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (LP). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan“fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Untuk itu, maka Mahkamah Konstitusi yang berfungsi antara lain sebagai guardian dari constitutional rights setiap warga Negara Republik Indonesia telah menyatakan pendapatnya mengenai konflik yang terjadi terhadap hutan adat.[46]
Sebagai wujud dari pelaksanaan fungsi Mahkamah Konstitusi tersebut maka MK mengabulkan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang disampaikan oleh Masyarakat Hukum Adat Kenegarian Kuntu.
 Pemahaman dominan atas putusan MK NO.35/PUU-X/2012 memandang bahwa kontrol negara dibatasi atau bahkan ditiadakan atas hutan adat. Dalam perspektif teritorial, hal tersebut sekaligus bermakna bahwa negara tidak lagi bisa menentukan siapa yang boleh memanfaatkan sumberdaya apa di kawasan hutan adat. Sebagai pernyataan hukum yang belum bersifat operasional, sejumlah elemen masyarakat sipil sedang berpikir keras bagaimana menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) tersebut memberi dampak atau efek pada masyarakat adat, terutama yang selama ini menjadi korban dari pemberlakukan ketentuan yang mengatakan hutan adat bagian dari hutan negara. Tindakan-tindakan yang berusaha membuat putusan tersebut mendatangkan efek, mulai dari yang bersifat legal sampai extra legal. Tindakan-tindakan yang berada dalam ranah legal pada pokoknya mendorong bergeraknya (administrasi) implementasi hukum. Termasuk di dalam administrasi implementasi tersebut adalah pembuatan peraturan pelaksana atau peraturan administratif.[47]

·       Budaya Hukum
Budaya/Kultur Hukum menurut LawrenceM. Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Menurut Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan, tanpa adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak berdaya[48].
Aspek perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum  perlu dilakukan penataan ulang dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak menggunakan hukum sangat tergantung pada kultur (budaya) hukumnya. [49]
Budaya hukum menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan dan membuat keputusan dimana dalam setiap keputusan hakim dituntut untuk menggali nilai-nilai yang ada dimasyarakat.
Hakikat hukum yang demikian itu harus melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk membantu menjelaskan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di masyarakat, seperti ilmu politik, sosiologi, antropologi, ekonomi dan bidang ilmu lainnya. kajian semacam itu oleh Trubek disebut sebagai “teori sosial tentang hukum” atau “studi hukum yang bersifat sosial”.[50]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      Dengan dikeluarkannya putusan MK No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, membawa angin segar kepada masyarakat hukum adat, di mana dalam putusannya MK telah memberikan penekanan terhadap eksistensi hutan adat sebagai hutan hak dan bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara serta pengakuan secara sungguh-sungguh mengenai keberadaan masyarakat hukum adat. Dimana dalam putusan MK No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut hakim berusaha untuk memberikan putusan yang ideal dengan berpatokan pada tujuan hukum dan telah tercermin dalam putusan itu unsur-unsur  keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmassigkeit).
Ketiga unsur-unsur tersebut dapat ketika temukan tidak hanya dalam putusan MK, tetapi dalam sebuah sistem hukum yang yang saling berkaitan. Yang mana, sistem hukum tersebut  tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure). Sebagaimana teori yang dikemukakan oleh laurence M. Friedman bahwa unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture). 

B.    Saran
              Hakim-hakim MK harus berani memutus perkara dengan mengacu pada apa yang ada di luar persidangan seperti living law yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.




                [1] Yance Arizona, 2013. ‘HUTAN ADAT BUKAN LAGI HUTAN NEGARA: Membumikan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dalam konteks pembaruan hukum daerah’, Makalah disampaikan dalam Workshop Pengakuan dan Penguatan Pengelolaan Hutan Adat dan Kawasan Konservasi oleh Masyarakat Adat (ICCAs): Pengalaman dan Ruang Kebijakan. Diselenggarakan oleh Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dan FoMMA, Malinau, 24-26 September 2013.
             [2] Putusan MK 35/PUU-X/2012. hlm. 173-4
                [3] Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, hlm. 179
             [4] Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, hlm. 172-173
                [5] Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, hlm. 169.
                [6] Lawrence M Friedman, “American Law”, (London: W.W. Norton & Company, 1984), hlm. 6.
                [7] Lawrence M Friedman, The Legal System, New York: Russel Sage Foundation, 1975, juga baca Laurence M. Friedman , “On Legal Development”, alih bahasa Rachmadi Djoko Soemandijo Dalam Rutgers Law Reciew. No 1. 1969, Hlm 27-30
                [8] Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2011, hlm. 23
                [9] Yance Arizona, Peluang hukum implementasi Putusan MK 35 ke dalam konteks kebijakan pengakuan masyarakat adat di Kalimantan Tengah Makalah disampaikan dalam Lokakarya “Fakta Tekstual (Quo Vadis) Hutan Adat Pasca Putusan MK No.35/PUU-X/2012“, Palangkaraya, Rabu 20 November 2013. Acara diselenggarakan oleh AMAN Kalteng dan WWF Program Kalimantan Tengah
                [10] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan  Nusamedia, 2004, hlm. 24.
                [11] L..J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, cetakan kedua puluh enam, 1996, hlm. 11-12.
                [12] Lihat Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, hlm. 169.
                [13] Lawrence M. Friedman, The Legal System: A social Science perspective, New York: Russel Sage Foundation, 1986, hlm. 17. Lihat juga Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010,  hlm. 28
                [14] Makalah “Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian Hukum Dan Rasa Keadilan Masyarakat Suatu Sumbangan Pemikiran”, Op.Cit., hlm. 6
                [15] Laurence M Friedman, “Legal Culture And Walfare State”, Dalam Gunther Teubner (Ed), Dilemas Of Law In The Walfare State. Berlin-New York: Walter De Gruyter, 1986, Hlm. 13-27. William J. Chambliss & Robert B Seidman, Law, Order, And Power, Readling, Mass: Addisin-Wesly, 1971, Hlm 5-13. Juga Dalam Lawrance M Friedman, “Law And Development, A General Model”,Dalam Law And Society Review, No. VI, 1972
                [16] Makalah “Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian Hukum Dan Rasa Keadilan Masyarakat Suatu Sumbangan Pemikiran”,hlm. 2. Disampaikan pada “Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator Daerah Sumatera Utara”, pada hari Jum’at, 27 April 2007, bertempat di Gayo Room Garuda Plaza Hotel, Jl. Sisingamangaraja No. 18 Medan.
                [17] Tata Kelola Hutan Adat dan Resolusi Konflik Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Amir Syamsudin Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia diakses dari http://www.unorcid.org/upload/doc_ lib/20130902182846_ Minister%20of%20Law%20and%20Human%20Rights_Mr.%20Amir%20Syamsudin_KEMENKUMHAM.
                [18] Lawrence M Friedman, Loc. Cit., hlm. 6
                [19] Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 68
                [20] Ibid., hlm. 74
                [21] Emile Durkheim, The Division of Labor in Society, George Simpson, (transi), New York: The Free Press, 1964
             [22] Esmi Wirasih, Op.Cit., hlm. 83
                [23] Ibid., hlm. 23
                [24] Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 93-94.
                [25] Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 79-80.
                [26] Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 1986, hlm. 5-6
                [27] Purnadi Purbacaraka & Soejono Soekanto, Prihal Kaidah Hukum, Bandung: Alumni, 1978, hlm. 67.
                [28] Rafael Edy Baskoro, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Jakarta: ELSAM, 2006, hlm. 67
                [29] Erica-Irene Daes, Evolution of Standards Concerning the Rights of Indigeous Peoples: News Development and General Discussion of Future Action, UN Doc. E/ CN.4/Sub.2/AC.4/1995/3, hlm. 25-66.
                [30] Daniel Fitzpatrick “disputes and pluralism ini Modern indonesia land and law”, dalam yale journal of international law, vol. 22: 171, hlm. 186-187.
  [31]https://www.academia.edu/5470629/Mahkamah_Konstitusi_dan_Reformasi_Tenurial_Kehutanan diakses pada tanggal 4 Desember 2014 Pukul 10:01 Wib

                [32] Philipus M. Hadjon dalam bukunya, perlindungan hukum bagi rakyat indonesia, bina ilmu, surabaya, 1987, hlm. 184-194. Membahas mengenai pertanggungjawaban sikap administrasi negara, terdapat dua tolak  ukur, yaitu pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum atu dikenal dengan teori batas atas dan batas bawah.
                [33] Lili Rasdjidi dan Ira RasjidiDasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 42-43.
                [34]  Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana (Bandung: Alumni, 2005), hlm.120.
                [35] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hlm. 114.
                [36]Ahmad RifaiPenemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif,Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.30.
                [37] Roeslan Saleh dikutip dalam Bismar Siregar, Kata Hatiku, Tentangmu (Jakarta: Diandra Press, 2008), hlm. 121-122.
                [38] Darji Darmodiharjo, ShidartaPokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filosafat Hukum Indonesia  (Jakarta: Gramedia, 1995)hlm.113.
                [39]Abdul Halim, Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, 2009, hlm. 390.
                [40] Syaiful Bakhri, Pidana Denda Dan Korupsi, Yogyakarta: Total Media, 2009hlm. 129.
                [41] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 275.
                [42] Lihat UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2).
                [43] Tap MPR ini, tidak termasuk Tap MPR yang dicabut berlakunya oleh Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Terhadap Materi Dan Status Hukum Tap MPRs dan MPR RI Tahun 1990 dan Tahun 2002.
                [44] Baca Pasal 6 undang-undang tersebut.
                [45] Helmi Panuh, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari, Ed. 1cet. 1 Jakarta : Rajawali Pers, 2012, hlm. 120
                [46] Makalah hukum, Kilas Balik Kemenangan Masyarakat Adat Kuntu Dalam Putusan Perkara Nomor 35/Puu-X/2012 Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diakses dari google.com tanggal 1 Desember 2014
[47] Rikardo Simarmata, PUTUSAN MK NO.35/PUU-X/2012: Menggeser Corak Negara Hukum Indonesia. 09/18/2013, Posted in  KehutananKepustakaan. Diakses tanggal 1 Desember 2014 dari http://prakarsa-borneo.org/2013/09/putusan-mk-no-35puu-x2012-menggeser-corak-negara-hukum-indonesia/
[48] Achmad Ali,  Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 9
[49] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 5
[50] David M. Trubek, “Toward a Social Theory of Law: an Essay on the Study of Law And Development”, dalam Yale Law Journal, Vol. 82, 1,1972, hlm. 1-50.

0 Response to "Dinamika putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Suatu Telaah Sosiologis"

Post a Comment