iklan1
Kata Pengantar
Tiada kata yang dapat saya sampaikan kecuali rasa syukur kehadirat Allah SWT
hingga saat ini saya diberikan kesempatan untuk dapat menulis sebuah karya tulis, hanya karena rahmat yang diberikan-Nya saya dapat merangkai karya tulis ini hingga selesai. Apapun yang kami sajikan semoga selalu bermamfaat bagi para pembacanya.
hingga saat ini saya diberikan kesempatan untuk dapat menulis sebuah karya tulis, hanya karena rahmat yang diberikan-Nya saya dapat merangkai karya tulis ini hingga selesai. Apapun yang kami sajikan semoga selalu bermamfaat bagi para pembacanya.
Pada tulisan ini, saya dapat sampaikan kedudukan semantik dalam cabang-cabang linguistik sebagai bidang yang berkosentrasi dalam diskripsi makna. Sebuah kalimat tidak dapat diterima dalam bahasa sehari-hari apabila tidak mempunyai makna yang sesuai. Oleh karena itu makalah ini saya beri judul “Semantik”.
Selesainya penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini saya sampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Bapak DR. Ludi Wisnu Wardana, MM selaku dekan
2. Ibu Nia Budiana, S. Pd sebagai dosen pengapu
3. Dan pada rekan-rekan semua
Saya sangat menyadari, karya tulis ini masih banyak kekurangan baik isi maupun teknik penulisan, oleh sebab itu, kritik, saran dan pendapat dari pembaca sangat kami harapkan.
Mojokerto, 18Desember 2011
Penulis
Daftar Isi
Halaman Judul............................................................................................. i
Kata Pengantar............................................................................................. ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 2
1.3 Tujuan Masalah ........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan .................................................................................. 27
3.2 Saran ........................................................................................ 27
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa sentiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara lain pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang linguistik yang mempelajari tentang makna.
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Bidang studi liguistik yang objek penelitiannya makna bahasa merupkan satu tataran linguistik. Semantik dengan objeknya yaitu makna, berada di seluruh atau disemua tataran yang bangu-membangun ini : makna berada didalam tataran fonologi, morfologi dan sintaksis. Semantik bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan unsur yang berada pada semua tataran itu, meski sifat kehadiranyapada tiap tataran itu tidak sama.
Menurut Mansoer Pateda (2001:79) bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Ada beberapa jenis makna, antara lain makna leksikal, makna gramatikal, makna denotasi, dan makna konotasi. Selain itu, ada juga yang disebut relasi makna yaitu Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain.
3.
4.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Makna
Semantik merupakan salah satu bidang semantik yang mempelajari tentang makna. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya, dan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bumyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Menurut Ogden dan Richards (1923), dalam karya klasik tentang “teori semantik segi tiga” , kaitan antara lambang, citra mental atau konsep, dan referen atau objek dapat dijelaskan dengan gambar dan uraian sebagai berikut.
petanda(sebuah perabotan yang digunakn untuk duduk)
penanda (k-u-r-s-i) referen
Makna kata kursi adalah konsep kursi yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata k-u-r-s-i.dan memeliki makna sebuah perabotan yang di gunakan untuk duduk. Gambar di atas menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.
Dalam analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya maka, analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk.
Di dalam penggunaannya dalam penuturan yang nyata makna kata atau leksem seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Contohya : Dasar buaya ibunya sendiri ditipunya. Oeh karena itu, banyak pakar mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya.
Satu hal lagi yang harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa itu bersifat arbiter, maka hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
2.2 Jenis Makna
Jenis makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal, makna gramatikal dan kontekstual. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna referensial dan nonreferensial. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif. Berdasarkan ketepatan maknanya dapat dibedakan adanya makna istilah dan makna makna kata. Ada juga makna konseptual dan asosiatif, makna Idiom dan Peribahasa, makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna kolokatif, makna generik, makna spesifik, dan makna tematikal.
2.2.1. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kentekstual
Makna leksikal (leksical me3aning, sematic meaning, external meaning) adalah makna kata yang berdiri sendiri baik dalam bentuk dasar maupun dalambentuk kompleks (turunan) dan makna yang ada tetap seperti apa yang dapat kita lihat dalam kamus.Contoh:
rumah : bangunan untuk tempat tinggal manusia
makan : mengunyah dan menelan sesuatu
Makna grmatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat digabungkannya sebuah kata dalam suatu kalimat. Makna gramatikal dapat pula timbul sebagai akibat dari proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi. Contoh:
berumah : mempunyai rumah
rumah-rumah : banyak rumah
rumah makan : rumah tempat makan
rumah ayah : rumah milik ayah
Makna kontekstual muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dengan situasi. Makna kontekstual disebut juga makna struktural karena proses dan satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan. Contoh :
Ranbut di kepala nenek sudah putih.
Pak Harjo adalah seorang kepala sekolah.
Pada kepala surat terdapat alamat dan nomor telponnya.
Beras kepala harganya lebih mahal
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Sebagi contoh lagi pada kalimat tiga kali empat berapa ? . Kalau ditanyakan pada anak SMP maka jawabnya pasti dua belas tapi lain lagi jika ditanyakan pada ukang foto maka akan dijawab lima ratus atau dengan jawaban yang lain.
2.2.2 Makna Referensial dan Nonreferensial
Referen menurut Palmer ( dalam Mansoer Pateda, 2001: 125) adalah hubungan antara unsur-unsur linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat dan dunia pengalaman nonlinguistik. Referen atau acuan dapat diartikan berupa benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yangditunjuk oleh suatu lambang. Makna referensial mengisyaratkan tentang makna yamg langsung menunjuk pada sesuatu, baik benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses.
Makna referensial menurut uraian di atas dapat diartikan sebagai makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Dapat juga dikatakan bahwa makna referensial merupakan makna unsur bahasa yanga dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, baik berupa objek konkret atau gagasan yang dapat dijelaskan melalui analisis komponen. Contoh : kuda, merah dan gambar adalah kata referensial karena ada acuannya dalm dunia nyata.
Seadngkan nonreerensial acuanya tidak menetap pada satu maujud. Dan kata- kata yang termasuk dalam makna nonreferensial disebut kata-kata deiktik. Yang termasuk kata-kata deiktik adalah kata-kata pronomina, seperti dia, saya, dan kamu ; kata-kata yang menyatakan ruang, seperti di sini, disana, dan di situ; kata-kata yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti; dan kata-kata penunjuk, seperti ini dan itu.
2.2.3 Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif (referensial) ialah makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau makna dasarnya. Contoh:
merah : warna seperti warna darah.
ular : binatang menjalar, tidak berkaki, kulitnya bersisik.
Makna konotatif (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu.
Contoh:
Makna dasar(denotasi) Makna tambahan(konotasi)
merah : warna …………………… berani; dilarang
ular : binatang ………………… menakutkan/ berbahaya
Makna dasar beberapa kata misalnya: buruh, pekerjaan, pegawai, dan karyawan, memang sama, yaitu orang yang bekerja, tetapi nilai rasanya berbeda. Kata buruh dan pekerja bernilai rasa rendah/ kasar, sedangkan pegawai dan karyawan bernilai rasa tinggi.
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi negatif.Contoh:
Konotasi positif Konotasi negatif
suami istri laki bini
tunanetra buta
pria laki-laki.
Kata-kata yang bermakna denotatif tepat digunakan dalam karya ilmiah, sedangkan kata-kata yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra.
2.2.4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
2.2.4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual yaitu makna yang sesuai dengan konsepnya makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas asosiasi atau hubungan apa pun. Makna konseptual disebut juga makna denotatif, makna referensial, makna leksikal. Contoh : rumah memiliki makna konseptual bangunan tempat manusia tinggal.
Makna asosiatif disebut juga makna kiasan atau pemakaian kata yang tidak sebenarnya. Makna asosiatif adalah makna yang dimilki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya kata bunglonberasosiasi dengan makna orang yang tidak berpendirian tetap.
2.2.5 Makna Kata dan Makna istilah
Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal atau makna denotatif. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Misalnya kita belum tahu makna jatuh sebelum kata itu berada pada konteksnya. Oleh karena itu makna kata mash bersifat umum, kasar dan tidak jelas.
Berbeda dengan kata, istilah memiliki makna yag pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan dan kegiatan tertentu. Contoh : kata tangan dan lengan adalah sinonim. Namun kedua kata itu berbeda dibidang kedokteran. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tagan sedangkan lengan bermakna dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah, yang karena sering digunakan lalu menjadi kosakata umum. Artinya istilah itu tidak digunakan didalam bidang keilmuannya, tetapi telah di gunakan secara umum diluar bidangnya.
2.2.6 Makna Idiom dan Peribahasa
Makna idiomatik adalah makna yang ada dalam idiom, makna yang menyimpang dari makna konseptual dan gramatikal unsur pembentuknya. Dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk idiom yaitu (a) idiom penuh dan (b) idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Contoh: membanting tulang artinya bekerja keras. Idiom sebagian adalah idiom yang di dalamnya masih terdapat unsur yang masih memiliki makna leksikal. Contoh: koran kuning yang artinya koran yang memuat berita sensasi. Koran masih memiliki makna leksikalnya.
Beda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan makna peribahasa. Contoh: seperti anjing dengan kucing yang bermakna dua orag yang tidak pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya kucing dan anjing itu jika bertemu memang selalu berkelahi.
2.2.7 Makna Stilistika, Makna Afektif, Makna Kolokatif, Makna Generik, Makna Spesifik, dan Makna Tematikal
Makna generik adalah makna konseptual yang luas, umum, yang mencakup beberapa makna konseptual yang khusus atau sempit. Misalnya, sekolah dalam kalimat “Sekolah kami menang.” Bukan saja mencakup gedungnya, melainkan guru-guru, siswa-siswa dan pegawai tata usaha sekolah bersangkutan.
Makna spesifik adalah makna konseptual, khas, dan sempit. Misalnya jika berkata “ahli bahasa”, maka yang dimaksud bukan semua ahli, melainkan seseorang yang mengahlikan dirinya dalam bidang bahasa.
Makna afektif merupakan makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan bahasa. Oleh karena itu, makna afektif berhubungan dengan gaya bahasa.
Makna stilistik berhubungan dengan pemakaian bahasa yang menimbulkan efek terutama kepada pembaca. Makna stilistik lebih dirasakan di dalam sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra akan mendapat tempat tersendiri bagi kita karena kata yang digunakan mengandung makna stalistika. Makna stalistika lebih banyak ditampilkan melalui gaya bahasa.
Makna kolokatif adalah makna yang berhubungan dengan penggunaan beberapa kata di dalam lingkungan yang sama. Misalnya kata ikan, gurami, sayur, tomat tentunya kata-kata tersebut akan muncul di lingkungan dapur. Ada tiga keterbatasan kata jika dihubungkan dengan makna kolokatif, yaitu (a) makna dibatasi oleh unsur yang membentuk kata atau hubungan kata, (b) makna dibatasi oleh tingkat kecocokan kata, (c) makna dibatasi oleh kecepatan.
Makna tematikal adalah makna yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis, baik melalui urutan kata-kata, fokus pembicaraan, maupun penekanan pembicaraan.
2.3 Relasi Makna
Relasi makna adalah hubugan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Pada dasarnya prinsip relasi makna ada empat jenis, yaitu (1) prinsip kontiguitas, (2) prinsip kolementasi, (3) prinsip overlaping, dan (4) inklusi.
1. Prinsip kontiguitas yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa beberapa kata dapat memiliki makna sama atau mirip. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut sinonimi.
- Prinsip komplementasi yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna kata yang satu berlawanan dengan makna kata yang lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut antonimi.
- Prinsip overlaping yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi mengandung makna berbeda. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut homonimi dan polisemi.
- Prinsip inklusi yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna satu kata mencakup beberapa makna kata lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut hiponimi.
2.3.1 Sinonim
Sinonim : hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna
antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah, maksudnya jika ujaran A bersinomnim dengan B maka B bersinonim dengan A.Contoh : benar = betul, sama dengan betul = benar.
antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah, maksudnya jika ujaran A bersinomnim dengan B maka B bersinonim dengan A.Contoh : benar = betul, sama dengan betul = benar.
Faktor ketidaksamaan dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan sama persis adalah :
a. Faktor waktu, contoh : hulubalang dan komandan
b. Faktor tempat, contoh : saya dan beta
c. Faktor keformalan, contoh : uang dan duit
d. Faktor sosial, contoh : saya dan aku
e. Faktor bidang kegiatan, contoh : matahari dan surya
f. Faktor nuansa makna, contoh : melihat, melirik, menonton
2.3.2 Antonimi
Antonim adalah hubungan semantik dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan dengan ujaran yang lain.Contoh : hidup x mati
Jenis antonim :
a. Antonim yang bersifat mutlak, contoh : diam x bergerak
b. Antonim yang bersifat relatif / bergradasi, contoh : jauh x dekat
c. Antonim yang bersifat relasional, contoh : suami x istri
d. Antonim yang bersifat hierarkial, contoh : tamtama x bintara
bersila
f. Oposisi inversi, oposisi ini terdapat pada pasangan kata seperti beberapa – semua, mungkin – wajib. Pengujian utama dalam menetapkan oposisi ini adalah apakah kata itu mengikuti kaidah sinonimi yang mencakup (a) penggantian suatu istilah dengan yang lain dan (b) mengubah posisi suatu penyangkalan dalam kaitan dengan istilah berlawanan. Contoh: beberapa negara tidak mempunyai pantai = tidak semua negara mempunyai pantai
a.
.
2.3.3 Polisemi
Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu aluran arti. Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama ( yang didaftarkan kamus) adalah makna leksikal, makna denotatif dan makna konseptualnya. Yang lainnya adalah makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena itu, makna pada polisemi masih berkaitan satu sama lain.
Contoh:
Ranbut di kepala nenek sudah putih.( Kepala yang berarti bagian tubuh yang bagian atas)
Pak Harjo adalah seorang kepala sekolah.( Kepala yang menyatakan pimpinan)
2.3.4 Homonimi
Homonim adalah dua kata kebetulan bentuk, ucapan, tulisannya sama tetapi beda makna.Contoh : Bisa : 1. Bisa yang berarti racun, 2. Bisa yang berarti dapat atau mampu.
Pada kasus homonimi ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofon dan homograf.Homofon adalah dua kata yang mempunyai kesamaan bunyi tanpa memperhatikan ejaanya, dengan makna yang berbeda.Contoh : 1.Bang : sebutan saudara laki-laki,
2. Bank : tempat penyimpanan dan pengkreditan uang
Homograf adalah dua kata yang memiliki ejaan sama, tetapi ucapan dan maknanya beda.Contoh : 1. Apel : buah, 2. Apél : rapat, pertemuan.
Masalah lain dari homonimi yang cukup ruwet adalah perbedaannya dengan polisemi. Ada cara untuk menentukan homonimi dengan polisemi. Patokan pertama adalah dua buah bentuk ujaran atau lebih yang kebetulan sama, dan maknanya tentu berbeda, sedangkan polisemi sebuah ujaran yag memiliki makna lebih dari satu. Makna dalam polisemi meski berbeda tetapi masih dapat dilacak secara etimologi dan semantik bahwa makna itu masih mempunyai hubungan.
2.3.5 Hiponimi
Hiponim adalah sebuah bentuk ujaran yang mencakup dalam makna bentuk ujaran lain.Relasi makna bersifat searah. Contoh: antara kata jeruk dengan kata buah. Disini makna kata jeruk tercakup dalam kata buah, tetapi buah bukan hanya jeruk tapi bisa juga apel, mangga, pepaya dan jambu.
Hipernim adalah bagian dari hiponim. Dengan kata lain jika jeruk berhiponim dengan buah, maka buah berhipernim dengan jeruk. Ada juga yang menyebut hiponom dengan superordinat. Sedangkan hubungan antar jeruk, apel, mangga, dan jenis buah lainnya adalah kohiponim.
2.3.6 Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguitas adalah gejala yang terjadi akibat kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tergantung jeda dalam kalimat. Umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena bahasa tulis unsur suprasegmentalnya tidak dapat digambarkan secara akurat. Contoh: Buku sejarah baru. Dapat diartikan (1) buku sejarah yang baru. Dapat juga bermakna (2) buku tentang sejarah baru.
Ketaksaan dapat juga terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda tetapi karena masalah homonimi, sedangkan konteksnya tidak jelas. Contoh: Kami bertemu paus. Dapat ditafsirkan, (1) ikan paus, dan (2) pemimpin agama katolik di Roma.
Ada juga ketaksaan yang terjadi dalam bahasa lisan, meskipun intonasinya tepat. Ketaksaan dalam bahasa lisan biasanya adalah karena ketidakcermatan dalam menyusun kontruksi beranaforis. Contoh: Ujang dan Doni bersahabat karib. Dia sangat mencintai istrinya. Dapat ditafsirkan (1) ujang mencintai istri ujang, (2) Ujang mencintai istri Doni, (3) Doni mencintai istrinya, dan (4) Doni mencintai istri Ujang. Ketaksaan ini terjadi karenakata ganti dia dan nya tidak jelas mengacu pada siapa.
2.3.7 Redundansi
Redundansi adalah berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Contoh : Hamid menggenakan topi berwarna ungu, tidak akan berbeda maknanya dengan Hamid bertopi ungu.
Memang dalam ragam bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan kata-kata secara efisien, sehingga kata berlebihan, sepanjang tidak mengurangi atau mengganggu makna ( lebih tepat informasi), harus dibuang, tetapi dalam analisis semantik, setiap penggunaan unsur segmental dianggap membawa makna masing-masing.
2.4 Perubahan Makna
Dalam perubahan makna selalu ada hubungan (asosiasi) antara makna lama dan makna baru, tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu terjadi. Dalam beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah makna dengan sendirinya, sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain tetapi bagaimanapun suatu jenis asosiasi akan selalu mengalami proses. Dalam pengertian ini asosiasi dapat dianggap sebagai suatu syarat mutlak bagi perubahan makna ( Stephen, 2007 : 263-264 ).
Dalam sejarah ilmu semantik, teori asosiasi muncul dalam dua bentuk. Beberapa dari ahli semantik awal mengakui suatu asosiasinisme yang sederhana, mereka mencoba menjelaskan perubahan makna sebagai hasil asosiasi antara kata-kata yang diisolasikan (berdiri sendiri). Pada beberapa dekade terakhir suatu pandangan yang lebih maju berdasarkan prinsip-prinsip struktural telah meluas, perhatian telah berubah dari kata-kata tunggal menjadi satuan-satuan yang lebih luas yaitu yang disebut “medan asosiatif” yang mencakupi kata-kata tersebut.
2.4.1 Sebab-sebab Perubahan Makna
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna suatu kata. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Perkembangan dalam ilmu dan teknologi
Dalam hal ini sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung telah berubah sebagai akibat dari pandangan baru atau teori baru dalam satu bidang ilmu atau sebagai akibat dalam perkembangan teknologi. Sebagai contoh perubahan makna kata sastra dari makna tulisan sampai pada makna karya imaginatif adalah salah satu contoh perkembangan bidang keilmuan. Pandangan-pandangan baru atau teori baru mengenai sastra menyebabkan makna kata sastra yang tadinya “bermakna buku yang baik isinya dan baik bahasanya” menjadi berarti “karya yang bersifat imaginatif kreatif”.
2) perkembangan sosial dan budaya
Dalam perkembangan sosial dan budaya kemasyarakatan turut memengaruhi perubahan makna. Sebagai contoh kata saudara dalam bahasa sansekerta bermakna seperut atau satu kandungan. Sekarang kata saudara walaupun masih juga digunakan dalam artian tersebut tapi juga digunakan untuk menyebut siapa saja yang dianggap sederajat atau berstatus sosial yang sama. Hal ini terjadi pula pada hampir semua kata atau istilah perkerabatan seperti bapak, ibu, kakak, adik . Penyebab perubahan makna ini dimungkinkan disebabkan karena dahulu pada zaman sebelum merdeka (dan juga beberapa tahun setelah kemerdekaan) untuk menyebut dan menyapa orang yang lebih tinggi status sosialnya digunakan kata tuan atau nyonya. Kemudian setelah kemerdekaan dan timbulnya kesadaran bahwa sebutan tuan atau nyonya berbau kolonial sehingga kia menggantinya dengan sebutan bapak atau ibu.
3) Pebedaan bidang pemakaian
Kata-kata yang menjadi kosa kata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam kehidupan dan pemakaian sehari-hari dapat juga dipakai dalam bidang lain atau menjadi kosa kata umum. Sehingga kata-kata tersebut memiliki makna yang baru, atau makna lain disamping makna aslinya. Misalnya kata menggarap yang berasal dari bidang pertanian dengan segala macam derivasinya seperti tampak pada frase menggarap sawah, tanah garapan dan sebagainya, kini banyak digunakan dalam bidang-bidang lain dengan makna barunya yang berarti mengerjakan seperti tampak pada frasa menggarap skripsi, menggarap naskah drama dan lain-lain. Dari contoh yang diuraikan maka kata-kata tersebut bisa jadi mempunyai arti yang tidak sama dengan arti dalam bidang asalnya, hanya perlu diingat bahwa makna baru kata-kata tersebut masih ada kaitannya dengan makna asli. Kata-kata tersebut diunakan dalam bidang lain secara metaforis atau secara perbandingan. Kesimpulannya makna kata yang digunakan bukan dalam bidangnya itu dan makna kata yang digunakan di dalam bidang asalnya masih berada dalam poliseminya karena makna-makna tersebut masih saling berkaitan atau masih ada persamaan antara makna yang satu dengan makna yang lainnya.
4) Adanya Asosiasi
Kata-kata yang digunakan diluar bidangnya seperti dibicarakan pada bagian sebelumnya masih ada hubungan atau pertautan maknanya dengan makna yang digunakan pada idang asalnya. Agak berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai akibat penggunaan dalam bidang yang lain, disini makna baru yang muncul adalah berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Dalam contoh kata amplop dengan kata uang terjadi asosiasi yaitu berkenaan dengan wadah. Kata amplop berasal dari bidang administrasi atau surat menyurat, makna asalnya adalah sampul surat. Ke dalam amplop itu selain biasa dimasukkan surat, biasa pula dimasukkan benda lain seperti uang. Oleh karena itu dalam kalimat “ Berikan dia amplop biar urusanmu cepat selesai”. Dalam kalimat itu kata amplop bermakna uang sebab amplop yang dimaksud bukan berisi surat atau tidak berisi apa-apa melainkan berisi uang sebagai sogokan.
5) Pertukaran Tanggapan Indra
Dalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran tanggapan antara indera yang satu dengan indera yang lain. Rasa pedas, misalnya yang seharusnya ditanggap dengan alat indera perasa pada lidah tertukar menjadi ditanggap oleh alat indera pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas. Contoh lain pada kata kasar yang seharusnya ditanggap oleh alat indera peraba yaitu kulit namun bisa juga ditanggap oleh alat indera penglihatan mata seperti pada kalimat Tingkah lakunya kasar. Pertukaran alat indera penanggap ini biasa disebut dengan istilah sinestesia. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani sun artinya sama dan aisthetikas artinya tampak. Dalam pemakaian bahasa Indonesia secara umum banyak sekali terjadi gejala sinestesia ini. Contoh yang lain terjadi pada beberapa frase yaitu suaranya sedap didengar, warnanya enak dipandang, suaranya berat sekali, bentuknya manis, kedengarannya memang nikmat dan masih banyak contoh-contoh yang lain.
6) Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang rendah, kurang menyenangkan. Di samping itu ada juga yang menjadi memiliki nilai rasa yang tinggi atau menyenangkan. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi rendah ini disebut dengan istilah peyoratif sedangkan yang nilainya naik menjadi tinggi disebut ameliorative. Contoh kata bini sekarang ini dianggap peyoratif sedangkan kata istri dianggap ameliorative. Begitupun terjadi pada kata laki dan suami, kata bang dan bung. Nilai rasa itu kemungkinan besar hanya bersifat sinkronis. Secara diakronis ada kemungkinan bisa berubah. Perkembangan pandangan hidup yang biasanya sejalan dengan perkembangan budaya dan kemasyarakatan dapat memungkinkan terjadinya perubahan nilai rasa peyoratif atau amelioratifnya sebuah kata.
7) Adanya Penyingkatan
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya. Oleh karena itu kemudian banyak orang menggunakan singkatannya saja daripada menggunakan bentukya secara utuh. Sebagai contoh ada yang berkata “ ayahnya meninggal” tentu maksudnya meninggal dunia tapi hanya disebutkan meninggal saja. Hal ini terjadi pula pada kata berpulang yang maksudnya berpulang ke rahmatullah, ke perpus yang maksudnya ke perpustakaan, ke lab yang maksudnya ke laboratarium dan sebagainya. Kalau disimak sebenarnya dalam kasus penyingkatan kata ini bukanlah peristiwa perubahan makna yang terjadi sebab makna atau konsep itu tetap. Yang terjadi adalah perubahan bentuk kata. Kata yang semula berbentuk utuh disingkat menjadi bentuk yang lebih pendek.
8) Proses Gramatikal
Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi akan menyebabkan pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang terjadi sebenarnya bukan perubahan makna sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses gramatikal dan proses tersebut telah melahirkan makna-makna gramatikal.
9) Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosa ata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan member makna baru baik dengan menyempitkan, meluaskan maupun memberi makna baru. Seperti pada kata papan yang semula bermakna lempengan kayu tipis kini diangkat menjadi istilah untuk makna perumahan, kata teras yang semula bermakna inti atau saripati kayu sekarang memiliki makna yang baru yaitu utama atau pimpinan.
2.4.2. Jenis Perubahan Makna
Dalam bagian ini akan diuraikan beberapa jenis perubahan makna yang terjadi dalam bahasa Indonesia. Berikut pemaparannya :
1. Perubahan Meluas
Yang dimaksud perubahan yang meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna tetapi kemudian karena berbagai factor menjadi memiliki makna-makna yang lain. Proses perluasan makna ini dapat terjadi dalam kurun waktu yang relative singkat tetapi dapat juga dalam kurun waktu yang lama. Dan makna-makna lain yang terjadi sebagai hasil perluasan makna itu masih berada dalam lingkup poliseminya artinya masih ada hubungannya dengan makna asalnya. Seperti pada kata saudara yang dahulu hanya mempunyai satu makna yaitu seperut atau sekandungan sekarang berkembang menjadi bermakna lebih dari satu. Dan mempunyai makna lain yaitu siapa saja yang sepertalian darah. Lebih jauh lagi sekarang kata saudara bermakna siapapun orang tersebut dapat disebut saudara.
2. Perubahan Menyempit
Perubahan menyempit merupakan suatu gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas namun kemudian berubah menjadi terbatas hanya memiliki sebuah makna saja. Kata sarjana yang pada mulanya berarti orang pandai atau cendekiawan dan sekarang kata itu hanya memiliki sebuah makna saja yaitu orang yang lulus dari perguruan tinggi. Sehingga sepandai apapun seseorang sebagai hasil dari belajar sendiri, kalau bukan tamatan perguruan tinggi maka tidak bisa disebut sebagai sarjana. Sebaliknya serendah berapapun indeks prestasi seseorang kalau dia sudah lulus dari perguruan tinggi dia akan disebut sebagai sarjana.
3. Perubahan Total
Yang dimaksud perubahan total yaitu suatu makna sebuah kata yang berubah total atau berubah sama sekali dari makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal tapi keterkaitannya ini tampaknya sudah jauh sekali. Sebagai contoh kata seni yang mulanya bermakna air seni atau kencing sekarang digunakan sebagai istilah untuk sebuah karya atau ciptaan yang bernilai halus seperti seni lukis, seni tari, seni suara.
4. Penghalusan (ufemia)
Penghalusan dalam perubahan makna ini maksudnya adalah suatu gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih sopan daripada yang akan digantikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia. Misalnya kata penjara diganti dengan istilah lembaga pemasyarakatan, pemecatan diganti dengan istilah pemutusan hubungan kerja, babu diganti dengan istilah pembantu rumah tangga.
5. Pengasaran (disfemia)
Pengasaran yang dimaksud adalah suatu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa menjadi kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan oleh orang dalam situasi yang tidak ramah atau dalam keadaan jengkel. Seperti pada kata menjebloskan untuk menggantikan kata memasukkan, kata mendepak untuk menggantikan kata mengeluarkan dan sebagainya.
2.4.3. Faktor yang Memudahkan Terjadinya Perubahan Makna
Dalam hubungannya dengan perubahan makna Ullmann (1972 :198-210) lewat Mansoer Pateda menyebutkan beberapa factor yang memudahkan terjadinya perubahan makna, berikut uraiannya :
1. Faktor Kebahasaan
Perubahan makna karena factor kebahasaan berhubungan dengan fonologi, morfologi dan sintaksis. Misalnya kata sahaya yang pada mulanya bermakna budak tetapi karena kata ini berubah menjadi kata saya maka makna kata saya dihubungkan dengan orang pertama dan orang tidak menghubungkan dengan kata budak sehingga maknanya pun menjadi berubah.
2. Faktor kesejarahan
Faktor ini dapat dirinci menjadi factor objek, faktor institusi, faktor ide, dan faktor konsep ilmiah. Sebagai contoh factor objek, kata wanita yang sebenarnya berasal dari kata betina. Kata betina selalu dihubungkan dengan hewan. Kata betina dalam perkembangannya menjadi batina lalu fonem /b/ merubah menjadi /w/ sehingga menjadi wanita. Dan kata wanita ini berpadanan dengan kata perempuan dan sekarang orang tidak lagi menghubungkan kata wanita dengan kata hewan.
3. Faktor Sosial
Perubahan makna yang disebabkan karena faktor sosial dihubungkan dengan perkembangan Makna kata dalam masyarakat. Misalnya kata gerombolan yang pada mulanya bermakna orang yang berkumpul atau kerumunan orang tapi kemudian kata ini tidak disukai lagi sebab selalu dihubungkan dengan pemberontak atau pengacau. Sebelum tahun 1945 orang dapat saja berkata “ Gerombolan laki-laki menuju pasar”, tetapi setelah tahun 1945 apalagi dengan munculnya pemberontak maka kata gerombolan enggan digunakan bahkan ditakuti.
4. Faktor Psikologi
Faktor psikologi ini dapat dirinci lagi menjadi factor emosi dan kata-kata tabu. Sebagai contoh dari factor tabu misalnya penggunaan kata bangsat. Dahulu makna kata bangsat dihubungkan dengan binatang yang biasa menggigit jika kita duduk di kursi rotan karena binatang itu hidup di sela-sela anyaman rotan. Sekatang kalau orang marah lalu mengatakan, “ Hei bangsat, kenapa hanya duduk?” maka kata bangsat disini tidak lagi diartikan sebagai binatang kecil tapi manusia yang malas yang kelakuannya menyakitkan hati, sehingga ada perubahan makna pada kata tersebut.
5. Pengaruh Bahasa Asing
Perubahan bahasa yang satu dengan yang lain tidak dapat dihindarkan. Hal itu disebabkan oleh interaksi antara sesame bangsa. Itu sebabnya pengaruh bahasa asing terhadap bahasa Indonesia juga tidak dapat dihindarkan. Pengaruh itu misalnya berasal dari bahasa Inggris yaitu pada kata keran yang berasal dari bahasa Inggris crank yang kemudian dalam bahasa Indonesia bermakna keran yang artinya pancuran air ledeng yang dapat dibuka dan ditutup. Tetapi kalimat “ Engkau masuk departemen dan dapat membuka keran untuk kemajuan daerah kita”. Makna keran tidak lagi katup penutup tapi lebih banyak dikaitkan dengan anggaran.
6. Karena Kebutuhan Kata yang Baru
Telah diketahui bahwa manusia berkembang terus sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan tersebut perlu nama atau kata barukarena bahasa adalah alat komunikasi. Kadang-kadang konsep baru itu belum ada lambangnya. Dengan kata lain manusia berhadapan dengan ketiadaan kata atau istilah baru yang mendukung pemikirannya. Kebutuhan tersebut bukan saja kata atau istilah tersebut belum ada tapi juga orang merasa bahwa perlu menciptakan kata atau istilah baru untuk suatu konsep hasil penemuan manusia. Misalnya karena bangsa Indonesia merasa kurang enak menggunakan kata saudara maka muncullah kata Anda. Kata saudara pada mulanya dihubungkan dengan orang yang sedarah dengan kita tapi kini kata saudara digunakan untuk menyebut siapa saja.
2.5 Medan Makna dan Komponen Makna
2.5.1 Medan Makna
Medan makna ( semantic domain, semantik field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yagmaknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabotan rumah tangga, yang masing-masing merupakan medan makna.
Di dalam buku Thesaurus of English Word and Phrases Classified anf Arranged so as to Facillitate the Expression of Ideal and Assist in Literacy Composition oleh Peter Mark Roget (1779-1868) terdaftar 1042 kelompok medan makna yang keseluruhannya terdiri dari 250.000 kata dan frase. Namun, dalam studi medan makna ini, seperti yang dilakukan Nida (1974-1975), kata-kata biasanya dibagi atas empat kelompok. Yaitu, kelompok bendaan (entiti), kelompok kejadian/peristiwa (event), kelompok abstrak, dan kelompok relasi. Anggota kelompok bendaan dan peristiwa tampaknya tidak terbatas, tetapi dua kelompok terakhir bersifat terbatas.
Berdasarkan sifat hubungan semantisnya medan makna dibedakan menjadi dua, yaitu : kelompok medan kolokasi dan kelompok medan set. Kolokasi menunjukkan pada hubungan sintagmantik yang terdapat antara kata-kata atau unsur leksikal itu dan sifatnya linier. Conto: cabe, bawang, terasi, garam, merica dan lada berada dalam satu kolokasi yaitu berkenaan dengan bumbu dapur. Sedangkan set menunjukkan pada hubungan paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set biasanya mempunyai kelas yang sama, dan tampaknya juga merupakan satu kesatuan. Contoh: remaja merupakan tahap perkembangan darikanak-kanak menjadi dewasa.
2.5.2 Komponen Makna
Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen( yang disebut komponen makna, yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu. Berdasarkan pengertian-pengertian yang dimilikinya.
Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim; untuk membut prediksi makna-makna gramatikal afikasi, reduplikasi, dan komposisi dalam bahasa Indonesia; dan digunakan untuk meramalkan makna gramatikal, dapat juga kita lihat pada proses redupliakasi dan komposisi.
Contoh:
Komponen makna
|
Ayah
|
Ibu
|
1. Manusia
2. Dewasa
3. Jantan
4. Betina
|
+
+
+
-
|
+
+
-
+
|
2.5.3 Ksesuaian Semantik dengan Sintaksis
Diterima tidaknya sebuah kalimat bukan hanya masalah gramatikal, tetapi juga masalah semantik. Contoh:
Andi memanjat pohon di belakang rumah tadi siang.
S P O ket.tempt ket.waktu
Pohon memanjat Andi di belakang rumah tadi siang.
S P O ket.tempt ket.waktu
Keduanya sama-sama kalimat, namun kalimat pertamalah yang dapat diterima karena masuk akal berdasarkan makna.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap perkataan yang diucapkan. Semantik merupakan salah satu bidang linguistik yang mempelajari tentang makna. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya,dan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Pada kajian semantik ini kita dapat mengetahui tentang hakikat makna, jenis-jenis makna (makna leksikal, makna gramatikal dan kontekstual, makna referensial dan nonreferensial, makna konotatif dan denotatif, makna istilah dan makna makna kata, makna konseptual dan asosiatif, makna Idiom dan Peribahasa, makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna kolokatif, makna generik, makna spesifik, dan makna tematikal), relasi makna (sinonim, antonimi, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, redundansi), perubahan makna, medan makna dan komponen makna.
3.2 Saran
Saran ini ditujukan untuk masyarakat Indonesia pada umumnya dan mahasiswa pada jurusan kebahasaan terutama bahasa Indonesia, hendaklah di zaman yang serba berubah ini kita lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi khususnya dalam bidang bahasa Indonesia. Kita harus melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Perubahan yang terjadi perlu kita cermati dengan baik agar keaslian bahasa Indonesia tetap terjaga.
Daftar Pustaka
Stokhof, W. A. L. 1980. “Tata Bunyi Bahasa Indonesia”. Dewan Bahasa. Jilid 24, Bilangan 1: 38-54
Weinrich, Uriel. 1968. Langue in contaxt. The Hangue: Mouton
Voorhove, P. 1995. Critical Survey of Studies on The Langueage of Sumatra. ‘s-Gravenhaag : Martinus Nijhoff
1980. teori Linguistik dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Uhlenbeck, E.M. 1964. Critical Survey of Studies on The Langueage of Sumatra. ‘s-Gravenhaag : Martinus Nijhoff
arsono. 1986. Fonemik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
blogshinyocom.blogspot.com/2009/.../makalah-semantik-2-makna.ht...
susandi.wordpress.com/seputar-bahasa/semantik/
ahmadzulbahasa.blogspot.com/2010/09/tugas-makalah-semantik.htm
Pateda, Mansoer. 1996. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Ullmann, Stephen. 2007. Pengantar Semantik. Yogjakarta : Pustaka Pelajar
0 Response to "Makalah Semantik"
Post a Comment