Beberapa Hukum Menurut Para Imam

iklan1

*      Beberapa Contoh Hukum Menurut Para Imam Madzhab

1.      Hukum Minum Khamar

Khamar adalah minuman memabukkan. Khamar dalam bahasa Arab berarti “menutup”. Istilah menutup di sini adalah sesuatu yang bisa menutup akal. Menurut pengertian urfi pada masa itu, khamar adalah apa yang bisa menutupi akal yang terbuat dari pe
rasan anggur. Sedangkan dalam pengertian syara’, khamar tidak terbatas pada perasan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan dan tidak terbatas dari perasan anggur saja. Rasulullah saw. bersabda:

وعن ابن عمر رضى الله عنهما اّنّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قال : كلّ مسكر خمر وكلّ مسكر حرام

Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Nabi saw. bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram” (HR. Muslim)

Hadits itu menunjukkan bahwa khamar tidak terbatas terbuat dari perasan anggur saja, sebagaimana makna urfi tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan memabukkannya. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal layak disebut khamar, baik terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya. Jika khamar diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan bahwa berarti itu menunjukkan bahwa sifat yang melekat pada zat khamar adalah memabukkan. Karena sifat utama khamar itu memabukkan, maka untuk mengetahui keberadaan zat khamar itu atau untuk mengenali zatnya adalah dengan meneliti zat-zat apa saja yang memiliki sifat memabukkan.

Unsur-unsur jarimah minuman Khamar ada dua macam, antara lain:
Asy-Syurbu (meminum)
Ø  Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa unsur meminum ini terpenuhi apabila pelaku meminum sesuatu yang memabukkan. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan apakah yang diminum itu dibuat dari perasaan buang anggur, gandum, kurma, tebu, maupun bahan-bahan lainnya. Demikian pula tidak diperhatikan kadar kekuatan memabukkannnya, baik sedikit maupun banyak, hukumannya tetap haram.

Ø  Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa unsur pertama ini tidak dapat terpenuhi kecuali apabila yang diminum itu khamar. Apabila pendapat jumhur ulama tersebut diikuti, maka semua jenis bahan yang memabukkan hukumnya tetap haram, seperti ganja, kokain, heroin, dan semacamnya. Hanya saja karena ‘meminum’ merupakan unsur penting dalam jarimah minuman khamar, maka bahan-bahan yang dikonsumsi tidak dengan jalan diminum, tidak mengakibatkan hukuman had, melainkan hukuman ta’zir. Seseorang dianggap meminum apabila barang yang diminumnya telah sampai ke tenggorokan. Apabila tidak sampai ke tenggorokan maka dianggap tidak meminum. Seseorang meminum khamar dengan alasan untuk pengobatan, para fuqaha berbeda pendapat mengenai status hukumnya. Namun menurut pendapat yang rajih dalam mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, berobat dengan menggunakan khamar merupakan perbuatan yang dilarang, dan peminumnya dapat dikenai hukuman had. Dalil yang menguatkan pendapat tersebut ada dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ummi Salamah:

عَنْ امّ سلمة رضى الله عنها عن النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قال : إنّ الله لم يجعل شفاء كم فيما حرّم عليكم (اخرجه البيهقى و صححه ابن حبّا ن )

“Dari Ummi Salamah ra. Dari Nabi saw. beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan di dalam barang yang diharamkan atas kamu” (oleh Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Ibn Hibban) Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah, berobat dengan khamar hukumnya boleh asalkan tidak ada obat yang halal yang dapat menyembuhkan penyakit itu.

Hukuman untuk Peminum Khamar
Ø  Menurut Imam Abu Hanifah, ada dua jenis hukuman bagi orang yang meminum minuman keras dan hukuman mabuk, yakni:
·      Hukuman hudud karena meminum minuman keras tanpa memandang apakah peminumnya mabuk atau tidak, meminum sedikit atau banyak,
·      Hukuman hudud karena mabuk, yang diberikan kepada orang yang meminum minuman selain khamar, yang jika diminum dalam jumlah tertentu bisa membuat mabuk. Jika ia diminum dan tidak mabuk, maka ia tidak dihukum.
Imam yang lain mengatakan bahwa hukuman hudud hanya satu yaitu hukuman hudud karena meminum minuman. Atas dasar ini, setiap orang yang meminum minuman, yang jika diminum dalam jumlah banyak bisa memabukkan, akan dijatuhi hukuman hudud. Perlakuan ini tidak memandang apakah minuman itu bernama khamar atau nama lainnya, apakah peminumnya mabuk atau tidak. Ini merujuk pada kaidah:
“sesuatu yang (ketika) banyak memabukkan, (ketika) sedikit hukumnya haram”.

Ø  Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa orang yang meminum minuman keras harus didera sebanyak 80 kali. Namun Imam Syafi’i berbeda pendapat bahwa hukuman hudud atas tindak pidana ini adalah 40 kali dera. Akan tetapi tidak ada halangan bagi penguasa untuk mendera pelaku sampai 80 kali jika ia memiliki kebijakan seperti itu. Jadi, hukuman peminum minuman keras adalah 40 kali dera dan selebihnya yaitu 40 deraan lainnya adalah hukuman takzir.
Perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha dalam menentukan kadar hukuman hudud disebabkan tidak adanya ketentuan dalam Al-Qur’an tentang hukuman tersebut. Selain itu, riwayat yang ada tidak menyebutkan dengan pasti adanya ijma’ para sahabat tentang hukuman hudud tersebut. Hal yang melatarbelakangi jumlah hukuman dera 40 kali yakni pada masa Abu Bakar ra. saat itu Abu Bakar bertanya kepada para sahabat tentang berapa jumlah dera bagi peminum khamar. Sahabat meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mendera hingga 40 kali. Namun pada masa Umar bin Khatab ra, saat itu masyarakat risau akibat maraknya orang yang meminum minuman keras. Akhirnya Umar menetapkan hukuman hudud sebanyak 80 kali dera. Adapun sebab terjadinya perbedaan dalam penentuan hukuman ini adalah karena nash yang qath’i yang mengatur tentang hukuman had bagi peminum khamar itu tidak ada. di samping itu, tidak ada riwayat yang memastikan adanya ijma’ sahabat dalam penetapan hukuman had bagi peminum khamar. Walaupun Al-Qur’an mengharamkan khamar, yang kemudian diperkuat oleh hadits Nabi, namun untuk hukumannya sama sekali tidak ditetapkan secara pasti. Rasulullah menghukum orang yang meminum khamar dengan pukulan yang sedikit atau banyak, tetapi tidak lebih dari 40 kali. Pada masa pemerintahan khalifah Umar, beliau bingung memikirkan orang-orang yang bertambah banyak meminum khamar. Beliau mengadakan musyawarah dengan para sahabat untuk menetapkan hukumannya. Di antara sahabat yang berbicara adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan adalah 80 kali dera. Sayidina Umar akhirnya menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama.
Fuqaha yang menganggap bahwa hukuman had untuk peminum khamar itu 80 kali berpendapat bahwa para sahabat telah sepakat (ijma’), sedangkan ijma’ juga merupakan salah satu sumber hukum (dalil) syara’. Akan tetapi, mereka yang berpendapat bahwa hukuman had bagi peminum khamar itu 40 kali dera beralasan dengan sunah, yang kemudian diikuti oleh Khalifah Abu Bakar. Mereka berpendapat bahwa tindakan Nabi saw. itu merupakan hujjah yang tidak boleh ditinggalkan karena adanya perbuatan orang lain. Dan ijma’ tidak boleh terjadi atas keputusan yang menyalahi perbuatan Nabi dan para sahabat. Dengan demikian, mereka menafsirkan kelebihan 40 kali dera dari Sayidina Umar itu merupakan hukuman ta’zir yang boleh diterapkan apabila hakim memandang perlu.

Ø  Menurut imam Abu Hnafiah dan imam Malik sanksi minum khamar itu 80 kali dera.

Ø  Menurut imam Syafi’i adalah 40 kali jilid, meskipun kemudian ia membolehkan menambah sampai 80 kali jilid bila imam menghendakinya. Jadi 40 selebihnya bagi imam Syafi’i adalah ta’zir
Imam Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits Mu’awiyah ini berlaku pada awalnya, tetapi setelah itu dihapuskan. Diriwayatkan dari Jabir bii} Abdillah Radhiyallahu Anhu, ia menceritakan, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

"Sesungguhnya orang yang meminum khamr, maka deralah , jika dia masih mengulangi keempat kalinya, maka bunuhlah. " Jabir melanjutkan: "Kemudian kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dihadapkan seorang yang telah meminum khamr untuk yang keempat kalinya, maka beliau menderanya dan tidak membunuhnya. " (HR. At-Tirmidzi)

Demikian juga dengan apa yang diriwayatkan Al-Zuhri dari Qabishah bin Dzu’aib dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang isinya sama dengan hadits terakhir di atas. Seluruh ulama mengamalkan hadits tersebut dan kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat, baik pada masa-masa terdahulu maupun sekarang.
Di antara yang memperkuat pernyataan di atas adalah sabda Nabi Shal-lallahu Alaihi wa Sallam:

"Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: Jiwa dengan jiwa, janda yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya. " (HR. Tirmidzi)

Para ulama telah sepakat mewajibkan pemberian hukuman had bagi pe-minum khamr, yaitu hukuman dera. Tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam hal standar deraan tersebut. Para ulama penganut madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa hukumannya adalah delapan puluh kali dera. Sedangkan menurut penganut madzhab Syafi’i adalah empat puluh kali dera.
Adapun dari Imam Ahmad ada dua riwayat, pertama delapan puluh kali dera dan’yang kedua empat puluh kali dera. Sedangkan perintah membunuh peminum khamr yang meminumnya berulang kali telah dimansukh (dihapuskan).

Perbedaan Pandangan Fuqoha Tentang Khamar
Para fuqoha berbeda pendapat mengenai minuman memabukkan yang terbuat dari selain anggur, hal ini disebabkan karena ayat-ayat Al Quran yang berkenaan dengan minuman yang memabukkan diatas, memberi peluang terhadap kemungkinan perbadaan interpertasi.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa khamar adalah minuman keras yang memabukkan yang terbuat dari buah anggur. Minuman keras memabukkan yang terbuat selain dari anggur tidak dinamakan khamar, tetapi dinamakan “Nabidz”.
Sedangkan mayoritas fuqoha, Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa semua minuman keras yang memabukkan, dari bahan apapun asalnya termasuk khamar yang diharamkan, sedikit atau banyak meminumnya. Ini berdasarkan pada hadist riwayat Muslim dari Ibnu Umar,

عن ابن عمر رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه وسلم قال: كُلّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

Artinya: Dari ibnu Umar r.a: sesungguhnya Nabi SAW bersabda: setiap yang memabukkan itu adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram (HR. Muslim).
Imam Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits Mu’awiyah ini berlaku pada awalnya, tetapi setelah itu dihapuskan. Diriwayatkan dari Jabir bii} Abdillah Radhiyallahu Anhu, ia menceritakan, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya orang yang meminum khamr, maka deralah , jika dia masih mengulangi keempat kalinya, maka bunuhlah. " Jabir melanjutkan: "Kemudian kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dihadapkan seorang yang telah meminum khamr untuk yang keempat kalinya, maka beliau menderanya dan tidak membunuhnya. " (HR. At-Tirmidzi)

Di antara yang memperkuat pernyataan di atas adalah sabda Nabi Shal-lallahu Alaihi wa Sallam:

"Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: Jiwa dengan jiwa, janda yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya.
(HR. Tirmidzi).
HUKUM JABAT TANGAN DENGAN WANITA YANG BUKAN MAHRAM MENURUT IMAM MADZHAB EMPAT

Ø  Menurut madzhab Hanbali: 
Haram berjabatan tangan dengan wanita bukan mahram yang masih muda, walaupun memakai kain penghalang (ha'il). Berdasarkan sebuh hadits sahih riwayat Tabrani dan Baihaqi Nabi bersabda: "Memasukkan tangan ke besi yang panas itu lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal (bukan mahram atau istri)" Bersalaman merupakan bagian dari bersentuhan.
Sebuah hadits dari Aisyah menyatakan bahwa tidak telapak tangan Nabi tidak pernah menyentuh tangan perempuan lain sama sekali. Nabi berkata pada para perempuan apabila hendak membaiat mereka, "Aku akan membaiat kalian dengan kata-kata."

Ø  Menurut Madzhab Syafi'i:
Imam Nawawi berkata: perempuan yang haram dilihat, maka haram disentuh. Boleh memandang perempuan hanya apabila hendak melamarnya. Tapi tetap tidak boleh menyentuhnya.

Nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita saat membaiat
Ada hadits riwayat Ummu Athiyah yang terkesan seakan-akan Nabi pernah memegang tangan perempuan saat membaiat mereka. Anggapan itu tidak betul. Hadits riwayat Ummu Athiyah tersebut menceritakan bahwa Nabi mengutus Umat bin Khatab membaiat sekelompok perempuan Anshar. Umar kemudian membaiat mereka dari luar pintu atau luar rumah sedang perempuan itu berada dalam rumah. Di situ tidak disebut secara jelas apakah tangan Umar menyentuh atau tidak. Di samping itu, Ibnu Hajar pensyarah Sahih Bukhari menyatakan bahwa kesaksian Ummu Athiyah tersebut tertolak dengan hadits Aisyah.

Ø  Madzhab Hanafi berdasarkan pendapat Ibnu Najim yang mengatakan bahwa tidak boleh menyentuh wajah dan telapak tangan perempuan walaupun aman dari syahwat karena adanya keharaman dan tidak adanya darurat (keperluan mendesak) (Al Bahr Ar-Raiq VIII/219).

قال ابن نجيم : ولا يجوز له أن يمس وجهها ولا كفها وإن أمن الشهوة لوجود المحرم ولانعدام الضرورة .
" البحر الرائق "
( 8 / 219 )

Ø  Madzhab Maliki. Muhammad bin Ahmad berkata tidak boleh menyentuh wajah dan telapak tangan peremuan bukan mahram tanpa (kain) penghalang (Minah al-Jalil ala Syarh Mukhtasar Khalil I/223).

قال محمد بن أحمد ( عليش ) :ولا يجوز للأجنبي لمس وجه الأجنبية ولا كفيها ، فلا يجوز لهما وضع كفه على كفها بلا حائل ، قالت عائشة رضي الله تعالى عنها " ما بايع النبي صلى الله عليه وسلم امرأة بصفحة اليد قط إنما كانت مبايعته صلى الله عليه وسلم النساء بالكلام " ، وفي رواية " ما مست يده يد امرأة وإنما كان يبايعهن بالكلام " .

Ø  Madzhab Syafi'i. Menurut Imam Nawawi hukumnya haram berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (Al-Majmuk IV/515). Imam Waliuddin Al-Iraqi mengatakan bahwa Nabi tidak pernah menyentuh perempuan yang selain istri-istrinya baik saat membaiat atau situasi lain. Apabila Nabi yang sudah terpelihara dari berbagai macam keraguan tidak melakukannya, maka yang lain semestinya lebih dari itu (tidak melakukan jabat tangan) (Tarhut Tatsrib VII/45-46).

وقال ولي الدين العراقي
وفيه : أنه عليه الصلاة والسلام لم تمس يده قط يد امرأة غير زوجاته وما ملكت يمينه ، لا في مبايعة ، ولا في غيرها ، وإذا لم يفعل هو ذلك مع عصمته وانتفاء الريبة في حقه : فغيره أولى بذلك ، والظاهر أنه كان يمتنع من ذلك لتحريمه عليه ؛ فإنه لم يُعدَّ جوازه من خصائصه ، وقد قال الفقهاء من أصحابنا وغيرهم : إنه يحرم مس الأجنبية ولو في غير عورتها كالوجه ، وإن اختلفوا في جواز النظر حيث لا شهوة ولا خوف فتنة، فتحريم المس آكد من تحريم النظر ، ومحل التحريم ما إذا لم تدع لذلك ضرورة فإن كان ضرورة كتطبيب وفصد وحجامة وقلع ضرس وكحل عين ونحوها مما لا يوجد امرأة تفعله جاز للرجل الأجنبي فعله للضرورة .

Ø  Madzhab Hanbali. Hukumnya haram berjabat tangan (Al-Adab Asy-Syar'iyyah II/257).

وقال ابن مفلح :
وسئل أبو عبد الله – أي الإمام أحمد – عن الرجل يصافح المرأة قال : لا وشدد فيه جداً ، قلت : فيصافحها بثوبه ؟ قال : لا ...
والتحريم اختيار الشيخ تقي الدين ، وعلل بأن الملامسة أبلغ من النظر )

































Pandangan Madzhab Empat Masalah Onani Dalam Islam

Ø  Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥﴾
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧﴾
Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.”                               (QS. Al Mukminun : 5 – 7)
Ø  Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.
Ø  Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa didalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama… sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah SWT :
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119).
Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya : Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqoroh : 29).
Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian ulama tabi’in yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama dengan hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz III hal 424 – 426)
Dari pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama mengatakan perbuatan tersebut termasuk kedalam muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah swt :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32).
Ø  Pendapat pertama: Ulama Maliki, Syafi’i dan Zaidi mengharamkan secara mutlak, berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mu’minum ayat 5-7: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Maka barang siapa mencari yang di balik itu (berbuat zina, homoseksual, lesbian, onani, dan sebagainya), mereka itulah orang yang melampaui batas.” Ayat ini dengan jelas memerintahkan kepada kita agar menjaga kehormatan alat kelamin (penis), kecuali terhadap istri dan budak kita. Yang dimaksud budak di sini, ialah budak yang didapat dalam peperangan untuk membela agama.
Ø  Pendapat kedua: Ulama Hanafi secara prinsip mengharamkan onani, tetapi dalam keadaan gawat, yakni orang yang memuncak nafsu sexnya dan khawatir berbuat zina, maka ia boleh, bahkan wajib berbuat onani demi menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih besar dosa dan bahayanya daripada onani. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh: “Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya.”.
Ø  Pendapat ketiga: Ulama Hambali mengharamkan onani, kecuali kalau orang takut berbuat zina (karena terdorong nafsu seksnya yang kuat), atau khawatir terganggu kesehatannya, sedangkan ia tidak mempunyai istri atau amat (budak wanita), dan ia tidak mampu kawin, maka ia tidak berdosa berbuat onani. Menurut pendapat kedua dan ketiga di atas, onani hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. Sudah barang tentu yang diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. (darurat) itu dibatasi seminimal mungkin penggunaannya, dalam hal ini perbuatan onani itu. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh: “Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, hanya boleh sekadarnya saja.” Kaidah fiqh ini berclasarkan firmah Allah dalam Al-Qur’an Surat A]-Baqarah ayat 173:“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakan makanan yang diharamkan), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”.
Ø  Pendapat keempat: Ibnu Hazm memandang makruh onani, tidak berdosa, tetapi tidak etis.
Ø  Pendapat kelima: Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan lain-lain membolehkan onani. Kata Al-Hasan, “Orang Islam dahulu melakukannya dalam waktu peperangan (jauh dari keluargailistri)“. Dan kata Mujahid, seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas, “Orang Islam dahulu (Sahabat Nabi) mentoleransi para remaja/pemudanya melakukan onani/masturbasi”. Dan hukum mubah berbuat onani ini berlaku baik untuk pria maupun untuk wanita.

Kondisi tanpa ada kebutuhan (hajat) dengan tangannya sendiri Dalam kondisi ini, dari madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah sepakat bahwa hukum onani adalah haram. Karena dalam al-Qur’an ayat 5-6 Surat al-Mu’minun dan diperkuat dalam ayat 7dalam surat yang sama bahwa hanya ada dua hal yang diperbolehkan untuk berjima’ yaitu dengan isteri dan budaknya, tidak diperbolehkan dengan selain itu (termasuk masturbasi/ onani/ istimna’ karena dengan tangan atau alat selain kelamin isteri atau budaknya). Pendapat ini didukung sebuah qoul dari kalangan ulama’ Hanafiyah. Sedangkan menurut madzhab Hanafi (qoul madzhab), Imam Ahmad dan Imam ‘Atho’ dalam sebuah riwayat menyatakan hukum onani adalah makruh. Hukum makruh menurut madzhab Hanafiyah di beri catatan makruh yang diharamkan.

Kondisi takut melakukan zina Menurut Hanafiyah dan Hanabilah dalam qoul madzhab (qoul yang diterima dimadzhab tersebut) hukum onani dalam kondisi ini tidak ada masalah, artinya dilegalkan. Imam Al Mirdawi bahkan mengatakan wajibnya onani dalam kondisi ini, karena kondisi ini adalah kondisi yang melebihi dari sekedar kondisi terpaksa. Sedangkan menurut Syafi’iyah hukum onani dalam kondisi ini adalah haram. Karena hanya sekedar hajat dan syariat telah mengharamkan hal itu, kecuali tidak ada jalan lain untuk menghindari zina, toh masih ada cara lain untuk menghindar dari zina, yaitu dengan berpuasa misalnya.

Kondisi tidak ada jalan lain untuk menghindar dari zina Madzhab Hanafiyah, Syafi’yah dan Hanabilah sepakat ketika dalam kondisi ini maka hukum onani adalah legal, karena untuk menghindari zina yang lebih besar nilai dosanya. Sedangkan menurut Madzhab Malikiyah hukum onani tetap haram ditakutkan zina ataupun tidak, sedangkan apabilahanya dengan istimna’ jalan satu-satunya untuk menghindari zina, maka didahulukan melakukan onani dari pada zina karena mengedepankan mafsadah yang lebih ringan dari dua hal mafsadah.

Dengan tangan istrinya menurut pendapat yang Rojih dari Malikiyah, Hambali dan Hanafiyah dalam sebuah riwayat dan Imam Qodli Husain dari Syafi’iyah mengatakan hukum onani dengan tangan istrinya adalah legal. Karena seorang istri adalah tempat istimna’ (ngalap suko; jawa). Yang dimaksud legal oleh Hanafiyah dan Imam Qodli Husain diatas adalah makruh. Menanggapi hal ini Imam Ibnu ‘Abidin bahwa makruh yang dimaksud adalah makruh tanzih (makruh yang tidak sampai haram




Hukum Qunut Menurut Para Imam Madzhab Empat
Ø  Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa Qunut itu disunnahkan pada shalat witir yang dilakukan sebelum ruku'. Sedangkan pada shalat subuh, beliau tidak menganggapnya sebagai sunnah. Sehingga bila seorang makmum shalat subuh di belakang imam yang melakukan qunut, hendaknya dia diam saja dan tidak mengikuti atau mengamini imam. Namun Abu Yusuf, salah seorang tokoh dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa bila imamnya melakukan qunut, maka makmumnya harus mengikutinya, karena imam itu harus diikuti.

Ø  Imam Malik mengatakan bahwa qunut itu merupakan ibadah sunnah pada shalat subuh dan lebih afdhal dilakukan sebelum ruku'. Meskipun bila dilakukan sesudahnya tetap dibolehkan. Menurut beliau, melakukan Qunut secara zhahir dibenci untuk dilakukan kecuali hanya pada shalat subuh saja. Dan qunut itu dilakukan dengan sirr, yaitu tidak mengeraskan suara bacaan. Sehingga baik imam maupun makmum melakukannya masing-masing atau sendiri-sendiri. Dibolehkan untuk mengangkat tangan saat melakukan qunut.
Ø  Imam As-Syafi'i  mengatakan bahwa Qunut itu disunnahkan pada shalat subuh dan dilakukan sesudah ruku' pada rakaat kedua. Imam hendaknya berqunut dengan lafaz jama' dengan menjaharkan (mengeraskan) suaranya dengan diamini oleh makmum hingga lafaz (wa qini syarra maa qadhaita). Setelah itu dibaca secara sirr (tidak dikeraskan) mulai lafaz (Fa innaka taqdhi ...), dengan alasan bahwa lafaz itu bukan doa tapi pujian (tsana`). Disunnahkan pula untuk mengangkat kedua tangan namun tidak disunnahkan untuk mengusap wajah sesudahnya. Menurut mazhab ini, bila qunut pada shalat shubuh tidak dilaksanakan, maka hendaknya melakukan sujud sahwi, termasuk bila menjadi makmum dan imamnya bermazhab Al-Hanafiyah yang meyakini tidak ada kesunnahan qunut pada shalat subuh. Maka secara sendiri, makmum melakukan sujud sahwi.
Ø  Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa qunut itu merupakan amaliyah sunnah yang dikerjakan pada shalat witir yaitu dikerjakan setelah ruku. Sedangkan qunut pada shalat subuh tidak dianggap sunnah oleh beliau. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku’.
Pertama: Ulama Malikiyyah, Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.
Kedua: Ulama Syafi’iyyah, Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu qunut nazilah).


Ketiga: Ulama Hanafiyyah, Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian).
Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali), Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at.
Apakah perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca qunut shubuh?
Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, “Yang lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan do’a (qunut) imam. Makmum mengangkat tangan mengikuti imam karena ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu dan lainnya.                                   Imam Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di belakang imam yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan mengamini do’anya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkannya qunut shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari pendapat beliau. Akan tetapi, Imam Ahmad rahimahullah memberikan keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan mengangkat tangan ketika imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati.”













Hukum Sholat di KuburanMenurut Pandangan Empat Madzhab
Ø  Menurut Madzhab Hanafi, Sholat dikuburan hukumnya makruh tanzih. Makruh tanzih tersebut akan hilang, dan status hukumnya menjadi boleh apabila mengerjakan sholat di tempat sholat yang disiapkan untuk sholat dan didalamnya tidak terdapat makam seseorang, tidak ada najis dan kiblatnya tidak menghadap ke makam tersebut. Demikian pernyataan Al-Imam Ibnu ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah Radd Al-Muhtar (1/254)

Ø  Menurut Madzhab Maliki, Sholat dikuburan hukumnya boleh (tidak makruh), meskipun persis di atas kuburan dan tanpa alas, baik kuburan tersebut masih difungsikan atau pun sudah tidak dipakai, baik pernah digali atau tidak, dan meskipun kuburan orang musyrik. Tentu saja kebolehan tersebut apabila aman dari terkena najis. Dalam konteks ini, Imam ad-Dardir berkata dalam Assyarhus Shoghir (1/267) :
“ Dan boleh mengerjakan sholat diarah kuburan meskipun di atasnya, baik kubaran yang masih berfungsi maupun sudah lenyap, meskipun kuburan orang kafir…. Apabila aman dari najis.” (Assyarhus Shoghir 1/267).

Ø  Menurut Madzhab Syafi’i, Sholat dikuburan yang tidak pernah digali hukumnya sah tanpa ada perselisihan dikalangan ulama’ Syafi’iyah dan berstatus makruh tanzih. Sedangkan apabila kuburan tersebut sering digali maka hukumnya tidak sah, apabila tidak memakai alas(semisal sajadah), karena tanah yang diinjakknya telah bercampur dengan orang sudah meninggal. Demikian keterangan dariMukhtasharul Muzani (hal, 19), kitab al-Muhadzdzab dan Imam Nawawi dalamal-Majmu’ Syahrul Muhazdzab (3/164), Imam Nawawi  berkata : “Adapun hukum permasalahan tersebut, apabila kuburan itu nyata pernah digali, maka sholat di kuburan tersebut tidak sah tanpa ada perselisihan, apabila dibawahnya dihamparkan alas. Apabila kuburan tersebut nyata tidak pernah digali, maka sholat dikuburan tersebut sah tanpa ada perselisihan dan dihukumi makruh tanzih.” (Al-Imam an-Nawawi, al-Majmu’ 3/164).

Ø  Madzhab Hambali, Sholat dikuburan yang hanya berisi satu atau dua makam(mayat), hukumnya boleh dan sah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (1/718) dan Ibnu Muflih dalam al-Mubdi’ (1/394). Sedangkan sholat dikuburan yang berisi 3(tiga) makan atau lebih, ada dua riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal. Dalam satu riwayat, sholat ditempat tersebut hukumnya tidak sah sama sekali. Dalam riwayat yang lain, hukumnya sah selama tempat tersebut tidak najis. Hal ini bisa dilihat dalam kitab al-Mughni (2/471) karya Ibnu Qudamah al-Hambali.

Disisi lain, kemakruhan sholat dikuburan, diriwayatkan pula dari kalangan salaf seperti sahabat Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atha’, dan an-Nakha’i. Sementara pandangan yang tidak memakruhkan diriwayatkan dari Abu Hurairah, Watsilah bin al-Asqa’ dan Hasan al-Bashri, sebagaiman dipaparkan oleh Imam Ibnul Mundzir dalam kitabnya, al-Ausath (2/183).










Para ulama madzhab Syafi’iyah memberi perincian (tafsil) sabagai berikut:
·           Tidak sah sholat di pekuburan yang tanahnya tergali dengan tanpa khilaf (sepakat) dikarenakan tanah galian tersebut menjadi mutanajjis bercampur dengan nanah orang-orang yang telah mati. Tidak sah tersebut apabila ia tidak menggelar hamparan di bawahnya,adapun apabila ia menggelar hamparan di bawahnya (tikar dan sebagainya) maka menjadi makruh.
·           Namun bila pekuburan tersebut tidak tahaqquq (nyata,jelas) tidak tergali sehingga aman dari najis maka sholatnya sah dengan tanpa khilaf dikarenakan kesucian tempat yang muttasil dengannya. Namun tetap dihukumi makruh tanzih dikarenakan pekuburan adalah tempat timbunan dari najasah.
·           Bila diragukan apakah kuburan tersebut tergali apa tidak?maka ada dua qoul (pendapat) yang paling shohih adalah sholat tersebut sah disertai makruh karena yang ashal adalah kesucian tanah tersebut sehingga tidak bisa dihukumi najis yang disebabkan keraguan. Sedangkan qoul yang menjadi muqobilnya adalah sholat tersebut tidak sah dikarenakan sesuai dengan kaidah: yang ashal adalah ketetapan kefardluan atas dzimmahnya sedangkan dia ragu-ragu dalam pengguguran kefardluan sholat itu padahal kefardluan tidak bisa menjadi gugur disebabkan keraguan.

Para ulama madzhab Hanbaliyah sholat di pekuburan itu hukumnya tidak sah baik pekuburan yang sudah lama maupun yang masih baru,sering digali maupun tidak. Namun demikian tidak boleh dilarang melakukan sholat di tempat yang terdapat satu sampai dua buah kuburan dikarenakan tidak dinamakan pekuburan karena yang dimaksud Al makbaroh adalah nama bagi pekuburan yang mencakup tiga buah kuburan atau lebih. Mereka (Hanabilah) meriwayatkan bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kategori Al makbaroh maka sekalilingnya tidak bisa dipakai untuk tempat sholat. Mereka menyatakan bahwa: boleh melakukan shalat dirumah atau bangunan yang dikubur dirumah tersebut tiga buah kuburan atau lebih sebab yang demikian tidak bisa dinamakan AL MAKBAROH (PEKUBURAN). Inilah pernyataan para fuqoha (ulama ahli fiqih) tentang masalah shalat di perkuburan. Mereka tidak menyinggung-nyinggung masalah sholat di masjid yang ada kuburan disampingnya.

0 Response to "Beberapa Hukum Menurut Para Imam"

Post a Comment