iklan1
Beberapa Contoh Hukum Menurut Para Imam
Madzhab
1.
Hukum Minum Khamar
Khamar
adalah minuman memabukkan. Khamar dalam bahasa Arab berarti “menutup”. Istilah
menutup di sini adalah sesuatu yang bisa menutup akal. Menurut pengertian urfi
pada masa itu, khamar adalah apa yang bisa menutupi akal yang terbuat dari
pe
rasan anggur. Sedangkan dalam pengertian syara’, khamar tidak terbatas pada perasan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan dan tidak terbatas dari perasan anggur saja. Rasulullah saw. bersabda:
rasan anggur. Sedangkan dalam pengertian syara’, khamar tidak terbatas pada perasan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan dan tidak terbatas dari perasan anggur saja. Rasulullah saw. bersabda:
وعن ابن عمر رضى الله عنهما اّنّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قال : كلّ مسكر خمر وكلّ مسكر حرام
Dari
Ibnu Umar ra. Bahwa Nabi saw. bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah khamar
dan setiap yang memabukkan adalah haram” (HR. Muslim)
Hadits
itu menunjukkan bahwa khamar tidak terbatas terbuat dari perasan anggur saja,
sebagaimana makna urfi tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan
memabukkannya. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal layak disebut
khamar, baik terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya. Jika
khamar diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan bahwa
berarti itu menunjukkan bahwa sifat yang melekat pada zat khamar adalah
memabukkan. Karena sifat utama khamar itu memabukkan, maka untuk mengetahui
keberadaan zat khamar itu atau untuk mengenali zatnya adalah dengan meneliti
zat-zat apa saja yang memiliki sifat memabukkan.
Unsur-unsur
jarimah minuman Khamar ada dua macam, antara lain:
Asy-Syurbu
(meminum)
Ø Imam
Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa unsur meminum ini terpenuhi
apabila pelaku meminum sesuatu yang memabukkan. Dalam hal ini, tidak ada
perbedaan apakah yang diminum itu dibuat dari perasaan buang anggur, gandum,
kurma, tebu, maupun bahan-bahan lainnya. Demikian pula tidak diperhatikan kadar
kekuatan memabukkannnya, baik sedikit maupun banyak, hukumannya tetap haram.
Ø Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa unsur pertama ini tidak
dapat terpenuhi kecuali apabila yang diminum itu khamar. Apabila pendapat
jumhur ulama tersebut diikuti, maka semua jenis bahan yang memabukkan hukumnya
tetap haram, seperti ganja, kokain, heroin, dan semacamnya. Hanya saja karena
‘meminum’ merupakan unsur penting dalam jarimah minuman khamar, maka
bahan-bahan yang dikonsumsi tidak dengan jalan diminum, tidak mengakibatkan
hukuman had, melainkan hukuman ta’zir. Seseorang dianggap meminum apabila
barang yang diminumnya telah sampai ke tenggorokan. Apabila tidak sampai ke
tenggorokan maka dianggap tidak meminum. Seseorang meminum khamar dengan alasan
untuk pengobatan, para fuqaha berbeda pendapat mengenai status hukumnya. Namun
menurut pendapat yang rajih dalam mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, berobat
dengan menggunakan khamar merupakan perbuatan yang dilarang, dan peminumnya
dapat dikenai hukuman had. Dalil yang menguatkan pendapat tersebut ada dalam
hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ummi Salamah:
عَنْ امّ سلمة رضى الله عنها عن النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قال : إنّ الله لم يجعل شفاء كم فيما حرّم عليكم (اخرجه البيهقى و صححه ابن حبّا ن )
“Dari
Ummi Salamah ra. Dari Nabi saw. beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
menjadikan kesembuhan di dalam barang yang diharamkan atas kamu” (oleh
Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Ibn Hibban) Akan tetapi menurut Imam Abu
Hanifah, berobat dengan khamar hukumnya boleh asalkan tidak ada obat yang halal
yang dapat menyembuhkan penyakit itu.
Hukuman
untuk Peminum Khamar
Ø Menurut
Imam Abu Hanifah, ada dua jenis hukuman bagi orang yang meminum
minuman keras dan hukuman mabuk, yakni:
·
Hukuman hudud karena meminum minuman keras
tanpa memandang apakah peminumnya mabuk atau tidak, meminum sedikit atau
banyak,
·
Hukuman hudud karena mabuk, yang diberikan
kepada orang yang meminum minuman selain khamar, yang jika diminum dalam jumlah
tertentu bisa membuat mabuk. Jika ia diminum dan tidak mabuk, maka ia tidak
dihukum.
Imam
yang lain mengatakan bahwa hukuman hudud hanya satu yaitu hukuman hudud karena
meminum minuman. Atas dasar ini, setiap orang yang meminum minuman, yang jika
diminum dalam jumlah banyak bisa memabukkan, akan dijatuhi hukuman hudud.
Perlakuan ini tidak memandang apakah minuman itu bernama khamar atau nama
lainnya, apakah peminumnya mabuk atau tidak. Ini merujuk pada kaidah:
“sesuatu
yang (ketika) banyak memabukkan, (ketika) sedikit hukumnya haram”.
Ø Menurut
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin
Hanbal, bahwa orang yang meminum minuman keras harus
didera sebanyak 80 kali. Namun Imam Syafi’i berbeda pendapat bahwa hukuman
hudud atas tindak pidana ini adalah 40 kali dera. Akan tetapi tidak ada
halangan bagi penguasa untuk mendera pelaku sampai 80 kali jika ia memiliki
kebijakan seperti itu. Jadi, hukuman peminum minuman keras adalah 40 kali dera
dan selebihnya yaitu 40 deraan lainnya adalah hukuman takzir.
Perbedaan
pendapat di kalangan para fuqaha dalam menentukan kadar hukuman hudud
disebabkan tidak adanya ketentuan dalam Al-Qur’an tentang hukuman tersebut.
Selain itu, riwayat yang ada tidak menyebutkan dengan pasti adanya ijma’ para
sahabat tentang hukuman hudud tersebut. Hal yang melatarbelakangi jumlah
hukuman dera 40 kali yakni pada masa Abu Bakar ra. saat itu Abu Bakar bertanya
kepada para sahabat tentang berapa jumlah dera bagi peminum khamar. Sahabat
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mendera hingga 40 kali. Namun pada masa Umar
bin Khatab ra, saat itu masyarakat risau akibat maraknya orang yang meminum
minuman keras. Akhirnya Umar menetapkan hukuman hudud sebanyak 80 kali dera. Adapun
sebab terjadinya perbedaan dalam penentuan hukuman ini adalah karena nash yang
qath’i yang mengatur tentang hukuman had bagi peminum khamar itu tidak ada. di
samping itu, tidak ada riwayat yang memastikan adanya ijma’ sahabat dalam
penetapan hukuman had bagi peminum khamar. Walaupun Al-Qur’an mengharamkan
khamar, yang kemudian diperkuat oleh hadits Nabi, namun untuk hukumannya sama
sekali tidak ditetapkan secara pasti. Rasulullah menghukum orang yang meminum
khamar dengan pukulan yang sedikit atau banyak, tetapi tidak lebih dari 40
kali. Pada masa pemerintahan khalifah Umar, beliau bingung memikirkan
orang-orang yang bertambah banyak meminum khamar. Beliau mengadakan musyawarah
dengan para sahabat untuk menetapkan hukumannya. Di antara sahabat yang
berbicara adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang
paling ringan adalah 80 kali dera. Sayidina Umar akhirnya menyetujui pendapat
tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama.
Fuqaha
yang menganggap bahwa hukuman had untuk peminum khamar itu 80 kali berpendapat
bahwa para sahabat telah sepakat (ijma’), sedangkan ijma’ juga merupakan salah
satu sumber hukum (dalil) syara’. Akan tetapi, mereka yang berpendapat bahwa
hukuman had bagi peminum khamar itu 40 kali dera beralasan dengan sunah, yang
kemudian diikuti oleh Khalifah Abu Bakar. Mereka berpendapat bahwa tindakan
Nabi saw. itu merupakan hujjah yang tidak boleh ditinggalkan karena adanya
perbuatan orang lain. Dan ijma’ tidak boleh terjadi atas keputusan yang
menyalahi perbuatan Nabi dan para sahabat. Dengan demikian, mereka menafsirkan
kelebihan 40 kali dera dari Sayidina Umar itu merupakan hukuman ta’zir yang
boleh diterapkan apabila hakim memandang perlu.
Ø Menurut
imam Abu Hnafiah dan imam Malik sanksi minum khamar itu 80 kali dera.
Ø Menurut
imam Syafi’i adalah 40 kali jilid, meskipun kemudian ia
membolehkan menambah sampai 80 kali jilid bila imam menghendakinya. Jadi 40
selebihnya bagi imam Syafi’i adalah ta’zir
Imam Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits
Mu’awiyah ini berlaku pada awalnya, tetapi setelah itu dihapuskan. Diriwayatkan
dari Jabir bii} Abdillah Radhiyallahu Anhu, ia menceritakan, Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya orang yang meminum khamr, maka deralah , jika dia masih mengulangi keempat kalinya, maka bunuhlah. " Jabir melanjutkan: "Kemudian kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dihadapkan seorang yang telah meminum khamr untuk yang keempat kalinya, maka beliau menderanya dan tidak membunuhnya. " (HR. At-Tirmidzi)
Demikian juga dengan apa yang diriwayatkan Al-Zuhri dari Qabishah bin Dzu’aib dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang isinya sama dengan hadits terakhir di atas. Seluruh ulama mengamalkan hadits tersebut dan kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat, baik pada masa-masa terdahulu maupun sekarang.
Di antara yang memperkuat pernyataan di atas
adalah sabda Nabi Shal-lallahu Alaihi wa Sallam:
"Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: Jiwa dengan jiwa, janda yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya. " (HR. Tirmidzi)
Para
ulama telah sepakat mewajibkan pemberian hukuman had bagi pe-minum khamr, yaitu
hukuman dera. Tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam hal standar deraan
tersebut. Para ulama penganut madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa
hukumannya adalah delapan puluh kali dera. Sedangkan menurut penganut madzhab
Syafi’i adalah empat puluh kali dera.
Adapun dari Imam Ahmad ada dua riwayat, pertama delapan puluh kali dera dan’yang kedua empat puluh kali dera. Sedangkan perintah membunuh peminum khamr yang meminumnya berulang kali telah dimansukh (dihapuskan).
Adapun dari Imam Ahmad ada dua riwayat, pertama delapan puluh kali dera dan’yang kedua empat puluh kali dera. Sedangkan perintah membunuh peminum khamr yang meminumnya berulang kali telah dimansukh (dihapuskan).
Perbedaan Pandangan Fuqoha Tentang Khamar
Para fuqoha berbeda pendapat mengenai minuman
memabukkan yang terbuat dari selain anggur, hal ini disebabkan karena ayat-ayat
Al Quran yang berkenaan dengan minuman yang memabukkan diatas, memberi peluang
terhadap kemungkinan perbadaan interpertasi.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa khamar adalah minuman keras yang
memabukkan yang terbuat dari buah anggur. Minuman keras memabukkan yang terbuat
selain dari anggur tidak dinamakan khamar, tetapi dinamakan “Nabidz”.
Sedangkan mayoritas fuqoha, Imam Malik, Syafi’i
dan Ahmad
berpendapat bahwa semua minuman keras yang memabukkan, dari bahan apapun
asalnya termasuk khamar yang diharamkan, sedikit atau banyak meminumnya. Ini
berdasarkan pada hadist riwayat Muslim dari Ibnu Umar,
عن ابن عمر رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه وسلم قال: كُلّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Artinya: Dari ibnu Umar r.a: sesungguhnya Nabi SAW bersabda: setiap yang memabukkan itu adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram (HR. Muslim).
Imam Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits
Mu’awiyah ini berlaku pada awalnya, tetapi setelah itu dihapuskan. Diriwayatkan
dari Jabir bii} Abdillah Radhiyallahu Anhu, ia menceritakan, Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Di antara yang memperkuat pernyataan di atas adalah sabda Nabi Shal-lallahu Alaihi wa Sallam:
"Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: Jiwa dengan jiwa, janda yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya.
(HR. Tirmidzi).
HUKUM JABAT TANGAN DENGAN
WANITA YANG BUKAN MAHRAM MENURUT IMAM MADZHAB EMPAT
Ø Menurut madzhab Hanbali:
Haram berjabatan tangan dengan wanita bukan mahram
yang masih muda, walaupun memakai kain penghalang (ha'il). Berdasarkan sebuh
hadits sahih riwayat Tabrani dan Baihaqi Nabi bersabda: "Memasukkan tangan
ke besi yang panas itu lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal
(bukan mahram atau istri)" Bersalaman merupakan bagian dari bersentuhan.
Sebuah hadits dari Aisyah menyatakan bahwa tidak telapak tangan Nabi tidak pernah menyentuh tangan perempuan lain sama sekali. Nabi berkata pada para perempuan apabila hendak membaiat mereka, "Aku akan membaiat kalian dengan kata-kata."
Sebuah hadits dari Aisyah menyatakan bahwa tidak telapak tangan Nabi tidak pernah menyentuh tangan perempuan lain sama sekali. Nabi berkata pada para perempuan apabila hendak membaiat mereka, "Aku akan membaiat kalian dengan kata-kata."
Ø Menurut Madzhab Syafi'i:
Imam Nawawi berkata: perempuan yang haram dilihat,
maka haram disentuh. Boleh memandang perempuan hanya apabila hendak melamarnya.
Tapi tetap tidak boleh menyentuhnya.
Nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita saat membaiat
Nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita saat membaiat
Ada
hadits riwayat Ummu Athiyah yang terkesan seakan-akan Nabi pernah memegang
tangan perempuan saat membaiat mereka. Anggapan itu tidak betul. Hadits riwayat
Ummu Athiyah tersebut menceritakan bahwa Nabi mengutus Umat bin Khatab membaiat
sekelompok perempuan Anshar. Umar kemudian membaiat mereka dari luar pintu atau
luar rumah sedang perempuan itu berada dalam rumah. Di situ tidak disebut
secara jelas apakah tangan Umar menyentuh atau tidak. Di samping itu, Ibnu
Hajar pensyarah Sahih Bukhari menyatakan bahwa kesaksian Ummu Athiyah tersebut
tertolak dengan hadits Aisyah.
Ø Madzhab Hanafi berdasarkan
pendapat Ibnu Najim yang mengatakan bahwa tidak boleh menyentuh wajah dan
telapak tangan perempuan walaupun aman dari syahwat karena adanya keharaman dan
tidak adanya darurat (keperluan mendesak) (Al Bahr Ar-Raiq VIII/219).
قال ابن نجيم : ولا يجوز له أن يمس وجهها ولا كفها وإن أمن الشهوة لوجود المحرم ولانعدام الضرورة .
" البحر الرائق " ( 8 / 219 )
Ø Madzhab Maliki. Muhammad
bin Ahmad berkata tidak boleh menyentuh wajah dan telapak tangan peremuan bukan
mahram tanpa (kain) penghalang (Minah al-Jalil ala Syarh Mukhtasar Khalil
I/223).
قال محمد بن أحمد ( عليش ) :ولا يجوز للأجنبي لمس وجه الأجنبية ولا كفيها ، فلا يجوز لهما وضع كفه على كفها بلا حائل ، قالت عائشة رضي الله تعالى عنها " ما بايع النبي صلى الله عليه وسلم امرأة بصفحة اليد قط إنما كانت مبايعته صلى الله عليه وسلم النساء بالكلام " ، وفي رواية " ما مست يده يد امرأة وإنما كان يبايعهن بالكلام " .
Ø Madzhab Syafi'i. Menurut
Imam Nawawi hukumnya haram berjabat tangan dengan wanita bukan mahram
(Al-Majmuk IV/515). Imam Waliuddin Al-Iraqi mengatakan bahwa Nabi tidak pernah
menyentuh perempuan yang selain istri-istrinya baik saat membaiat atau situasi
lain. Apabila Nabi yang sudah terpelihara dari berbagai macam keraguan tidak
melakukannya, maka yang lain semestinya lebih dari itu (tidak melakukan jabat
tangan) (Tarhut Tatsrib VII/45-46).
وقال ولي الدين العراقي
وفيه : أنه عليه الصلاة والسلام لم تمس يده قط يد امرأة غير زوجاته وما ملكت يمينه ، لا في مبايعة ، ولا في غيرها ، وإذا لم يفعل هو ذلك مع عصمته وانتفاء الريبة في حقه : فغيره أولى بذلك ، والظاهر أنه كان يمتنع من ذلك لتحريمه عليه ؛ فإنه لم يُعدَّ جوازه من خصائصه ، وقد قال الفقهاء من أصحابنا وغيرهم : إنه يحرم مس الأجنبية ولو في غير عورتها كالوجه ، وإن اختلفوا في جواز النظر حيث لا شهوة ولا خوف فتنة، فتحريم المس آكد من تحريم النظر ، ومحل التحريم ما إذا لم تدع لذلك ضرورة فإن كان ضرورة كتطبيب وفصد وحجامة وقلع ضرس وكحل عين ونحوها مما لا يوجد امرأة تفعله جاز للرجل الأجنبي فعله للضرورة .
Ø Madzhab Hanbali.
Hukumnya haram berjabat tangan (Al-Adab Asy-Syar'iyyah II/257).
وقال ابن مفلح :
وسئل أبو عبد الله – أي الإمام أحمد – عن الرجل يصافح المرأة قال : لا وشدد فيه جداً ، قلت : فيصافحها بثوبه ؟ قال : لا ...
والتحريم اختيار الشيخ تقي الدين ، وعلل بأن الملامسة أبلغ من النظر )
Pandangan
Madzhab Empat Masalah Onani Dalam Islam
Ø Para
ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani
adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah
swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali
terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya
terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan
orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah
bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman
Allah SWT :
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥﴾
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧﴾
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧﴾
Artinya : “dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa
mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui
batas.” (QS.
Al Mukminun : 5 – 7)
Ø Para
ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam
keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan
bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak
melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang
lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk
bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa
onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia
tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.
Ø Para
ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali
apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam
kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki
kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh
dan tidak ada dosa didalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya
dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama… sehingga onani
itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah SWT :
وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119).
Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita
tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya : Artinya :
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al
Baqoroh : 29).
Diantara
yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian ulama tabi’in yang
masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam
peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para
pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani
seorang wanita sama dengan hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz
III hal 424 – 426)
Dari
pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas
menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama
mengatakan perbuatan tersebut termasuk kedalam muqoddimah zina (pendahuluan
zina), firman Allah swt :
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina.
Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
(QS. Al Israa : 32).
Ø Pendapat pertama: Ulama Maliki, Syafi’i dan Zaidi
mengharamkan secara mutlak, berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mu’minum ayat 5-7: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.
Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Maka barang siapa mencari yang
di balik itu (berbuat zina, homoseksual, lesbian, onani, dan sebagainya),
mereka itulah orang yang melampaui batas.” Ayat ini dengan jelas memerintahkan
kepada kita agar menjaga kehormatan alat kelamin (penis), kecuali terhadap
istri dan budak kita. Yang dimaksud budak di sini, ialah budak yang didapat
dalam peperangan untuk membela agama.
Ø Pendapat kedua: Ulama Hanafi secara prinsip
mengharamkan onani, tetapi dalam keadaan gawat, yakni orang yang memuncak nafsu
sexnya dan khawatir berbuat zina, maka ia boleh, bahkan wajib berbuat onani
demi menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih besar dosa dan
bahayanya daripada onani. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh: “Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan di
antara dua bahaya.”.
Ø Pendapat ketiga: Ulama Hambali mengharamkan onani, kecuali kalau orang takut
berbuat zina (karena terdorong nafsu seksnya yang kuat), atau khawatir
terganggu kesehatannya, sedangkan ia tidak mempunyai istri atau amat (budak
wanita), dan ia tidak mampu kawin, maka ia tidak berdosa berbuat onani. Menurut
pendapat kedua dan ketiga di atas, onani hanya diperbolehkan dalam keadaan
terpaksa. Sudah barang tentu yang diperbolehkan dalam keadaan terpaksa.
(darurat) itu dibatasi seminimal mungkin penggunaannya, dalam hal ini perbuatan
onani itu. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh: “Sesuatu
yang diperbolehkan karena darurat, hanya boleh sekadarnya saja.” Kaidah fiqh ini berclasarkan firmah
Allah dalam Al-Qur’an Surat A]-Baqarah ayat 173:“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakan
makanan yang diharamkan), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”.
Ø Pendapat keempat: Ibnu Hazm memandang makruh onani, tidak berdosa, tetapi
tidak etis.
Ø Pendapat kelima: Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan lain-lain membolehkan onani. Kata
Al-Hasan, “Orang
Islam dahulu melakukannya dalam waktu peperangan (jauh dari keluargailistri)“.
Dan kata Mujahid, seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas, “Orang
Islam dahulu (Sahabat Nabi) mentoleransi para remaja/pemudanya melakukan
onani/masturbasi”. Dan hukum mubah berbuat onani ini berlaku baik
untuk pria maupun untuk wanita.
Kondisi tanpa ada kebutuhan (hajat) dengan tangannya sendiri Dalam kondisi ini, dari madzhab Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah sepakat bahwa hukum onani adalah haram. Karena dalam al-Qur’an ayat 5-6 Surat al-Mu’minun dan diperkuat dalam ayat 7dalam
surat yang sama bahwa hanya ada dua hal yang
diperbolehkan untuk berjima’ yaitu dengan isteri
dan budaknya, tidak diperbolehkan dengan selain
itu (termasuk masturbasi/ onani/ istimna’ karena
dengan tangan atau alat selain kelamin isteri atau budaknya). Pendapat ini
didukung sebuah qoul dari kalangan ulama’
Hanafiyah. Sedangkan menurut madzhab Hanafi (qoul madzhab), Imam Ahmad dan Imam ‘Atho’ dalam
sebuah riwayat menyatakan hukum onani adalah
makruh. Hukum makruh menurut madzhab
Hanafiyah di beri catatan makruh yang diharamkan.
Kondisi takut melakukan zina Menurut Hanafiyah dan Hanabilah
dalam qoul madzhab (qoul yang diterima dimadzhab tersebut) hukum onani dalam kondisi ini tidak ada masalah,
artinya dilegalkan. Imam Al Mirdawi bahkan
mengatakan wajibnya onani dalam kondisi ini,
karena kondisi ini adalah kondisi yang melebihi
dari sekedar kondisi terpaksa. Sedangkan
menurut Syafi’iyah hukum onani dalam kondisi ini adalah haram. Karena hanya sekedar hajat dan syariat telah mengharamkan hal itu, kecuali tidak ada jalan
lain untuk menghindari zina, toh masih ada cara
lain untuk menghindar dari zina, yaitu dengan
berpuasa misalnya.
Kondisi tidak ada jalan lain untuk menghindar dari zina Madzhab Hanafiyah, Syafi’yah dan Hanabilah sepakat ketika dalam kondisi ini maka hukum onani
adalah legal, karena untuk menghindari zina yang
lebih besar nilai dosanya. Sedangkan menurut
Madzhab Malikiyah hukum onani tetap haram ditakutkan zina ataupun tidak, sedangkan apabilahanya dengan
istimna’ jalan satu-satunya untuk menghindari
zina, maka didahulukan melakukan onani
dari pada zina karena mengedepankan mafsadah
yang lebih ringan dari dua hal mafsadah.
Dengan tangan istrinya menurut pendapat yang Rojih dari Malikiyah,
Hambali dan Hanafiyah dalam sebuah riwayat dan Imam Qodli Husain dari Syafi’iyah mengatakan hukum onani dengan tangan istrinya adalah legal.
Karena seorang istri adalah tempat istimna’
(ngalap suko; jawa). Yang dimaksud legal
oleh Hanafiyah dan Imam Qodli Husain diatas
adalah makruh. Menanggapi hal ini Imam
Ibnu ‘Abidin bahwa makruh yang dimaksud
adalah makruh tanzih (makruh yang tidak
sampai haram
Hukum
Qunut Menurut Para Imam Madzhab Empat
Ø Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa Qunut itu disunnahkan pada
shalat witir yang dilakukan sebelum ruku'. Sedangkan pada shalat subuh, beliau
tidak menganggapnya sebagai sunnah. Sehingga bila seorang makmum shalat subuh
di belakang imam yang melakukan qunut, hendaknya dia diam saja dan tidak
mengikuti atau mengamini imam. Namun Abu Yusuf, salah seorang tokoh dari mazhab
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa bila imamnya melakukan qunut, maka makmumnya
harus mengikutinya, karena imam itu harus diikuti.
Ø Imam Malik mengatakan bahwa qunut itu merupakan ibadah
sunnah pada shalat subuh dan lebih afdhal dilakukan sebelum ruku'. Meskipun bila dilakukan sesudahnya
tetap dibolehkan. Menurut beliau, melakukan Qunut secara zhahir dibenci untuk
dilakukan kecuali hanya pada shalat subuh saja. Dan qunut itu dilakukan dengan
sirr, yaitu tidak mengeraskan suara bacaan. Sehingga baik imam maupun makmum
melakukannya masing-masing atau sendiri-sendiri. Dibolehkan untuk mengangkat tangan saat melakukan qunut.
Ø Imam As-Syafi'i mengatakan
bahwa Qunut itu disunnahkan pada shalat subuh dan dilakukan sesudah ruku' pada
rakaat kedua. Imam hendaknya berqunut dengan lafaz jama' dengan menjaharkan
(mengeraskan) suaranya dengan diamini oleh makmum hingga lafaz (wa qini syarra
maa qadhaita). Setelah itu dibaca secara sirr (tidak dikeraskan) mulai lafaz
(Fa innaka taqdhi ...), dengan alasan bahwa lafaz itu bukan doa tapi pujian
(tsana`). Disunnahkan pula untuk mengangkat kedua tangan namun
tidak disunnahkan untuk mengusap wajah sesudahnya. Menurut mazhab ini, bila
qunut pada shalat shubuh tidak dilaksanakan, maka hendaknya melakukan sujud
sahwi, termasuk bila menjadi makmum dan imamnya bermazhab Al-Hanafiyah yang
meyakini tidak ada kesunnahan qunut pada shalat subuh. Maka secara sendiri,
makmum melakukan sujud sahwi.
Ø Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa qunut itu merupakan amaliyah
sunnah yang dikerjakan pada shalat witir yaitu dikerjakan setelah ruku.
Sedangkan qunut pada shalat subuh tidak dianggap sunnah oleh beliau. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku’.
Pertama: Ulama Malikiyyah, Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat
shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.
Kedua: Ulama Syafi’iyyah, Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir
kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam
shalat lima waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik
kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga berlaku
pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu qunut nazilah).
Ketiga: Ulama Hanafiyyah, Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada
shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah,
namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut
adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya
munfarid (sendirian).
Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali), Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak
disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar
selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut
pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at.
Apakah perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca
qunut shubuh?
Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
mengatakan, “Yang lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan do’a (qunut) imam.
Makmum mengangkat tangan mengikuti imam karena ditakutkan akan terjadi perselisihan
antara satu dan lainnya. Imam
Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di belakang imam
yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan mengamini do’anya.
Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkannya qunut shubuh sebagaimana
yang sudah diketahui dari pendapat beliau. Akan tetapi, Imam Ahmad rahimahullah
memberikan keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan mengangkat tangan
ketika imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir
terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati.”
Hukum Sholat di
KuburanMenurut Pandangan Empat Madzhab
Ø Menurut Madzhab Hanafi, Sholat dikuburan
hukumnya makruh tanzih. Makruh tanzih tersebut akan hilang, dan status hukumnya
menjadi boleh apabila mengerjakan sholat di tempat sholat yang disiapkan untuk
sholat dan didalamnya tidak terdapat makam seseorang, tidak ada najis dan
kiblatnya tidak menghadap ke makam tersebut. Demikian pernyataan Al-Imam Ibnu
‘Abidin dalam kitab Hasyiyah Radd Al-Muhtar (1/254)
Ø Menurut Madzhab Maliki, Sholat dikuburan
hukumnya boleh (tidak makruh), meskipun persis di atas kuburan dan tanpa alas,
baik kuburan tersebut masih difungsikan atau pun sudah tidak dipakai, baik
pernah digali atau tidak, dan meskipun kuburan orang musyrik. Tentu saja
kebolehan tersebut apabila aman dari terkena najis. Dalam konteks ini, Imam
ad-Dardir berkata dalam Assyarhus Shoghir (1/267) :
“ Dan boleh mengerjakan sholat diarah kuburan meskipun di atasnya, baik
kubaran yang masih berfungsi maupun sudah lenyap, meskipun kuburan orang
kafir…. Apabila aman dari najis.” (Assyarhus Shoghir 1/267).
Ø Menurut Madzhab Syafi’i, Sholat dikuburan yang
tidak pernah digali hukumnya sah tanpa ada perselisihan dikalangan ulama’
Syafi’iyah dan berstatus makruh tanzih. Sedangkan apabila kuburan tersebut
sering digali maka hukumnya tidak sah, apabila tidak memakai alas(semisal sajadah),
karena tanah yang diinjakknya telah bercampur dengan orang sudah meninggal.
Demikian keterangan dariMukhtasharul Muzani (hal, 19), kitab al-Muhadzdzab dan
Imam Nawawi dalamal-Majmu’ Syahrul Muhazdzab (3/164), Imam Nawawi berkata
: “Adapun hukum permasalahan tersebut, apabila kuburan itu nyata pernah
digali, maka sholat di kuburan tersebut tidak sah tanpa ada perselisihan,
apabila dibawahnya dihamparkan alas. Apabila kuburan tersebut nyata tidak
pernah digali, maka sholat dikuburan tersebut sah tanpa ada perselisihan dan
dihukumi makruh tanzih.” (Al-Imam an-Nawawi, al-Majmu’ 3/164).
Ø Madzhab Hambali, Sholat dikuburan yang
hanya berisi satu atau dua makam(mayat), hukumnya boleh dan sah sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (1/718) dan Ibnu Muflih dalam
al-Mubdi’ (1/394). Sedangkan sholat dikuburan yang berisi 3(tiga) makan atau
lebih, ada dua riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal. Dalam satu riwayat, sholat
ditempat tersebut hukumnya tidak sah sama sekali. Dalam riwayat yang lain, hukumnya
sah selama tempat tersebut tidak najis. Hal ini bisa dilihat dalam kitab
al-Mughni (2/471) karya Ibnu Qudamah al-Hambali.
Disisi lain, kemakruhan
sholat dikuburan, diriwayatkan pula dari kalangan salaf seperti sahabat Ali bin
Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atha’, dan an-Nakha’i. Sementara pandangan
yang tidak memakruhkan diriwayatkan dari Abu Hurairah, Watsilah bin al-Asqa’
dan Hasan al-Bashri, sebagaiman dipaparkan oleh Imam Ibnul Mundzir dalam
kitabnya, al-Ausath (2/183).
Para ulama madzhab Syafi’iyah memberi perincian (tafsil)
sabagai berikut:
·
Tidak sah sholat di pekuburan yang tanahnya tergali dengan
tanpa khilaf (sepakat) dikarenakan tanah galian tersebut menjadi mutanajjis
bercampur dengan nanah orang-orang yang telah mati. Tidak sah tersebut apabila
ia tidak menggelar hamparan di bawahnya,adapun apabila ia menggelar hamparan di
bawahnya (tikar dan sebagainya) maka menjadi makruh.
·
Namun bila pekuburan tersebut tidak
tahaqquq (nyata,jelas) tidak tergali sehingga aman dari najis maka
sholatnya sah dengan tanpa khilaf dikarenakan kesucian tempat yang muttasil
dengannya. Namun tetap dihukumi makruh tanzih dikarenakan pekuburan adalah
tempat timbunan dari najasah.
·
Bila diragukan apakah kuburan tersebut tergali apa tidak?maka
ada dua qoul (pendapat) yang paling shohih adalah sholat tersebut sah disertai
makruh karena yang ashal adalah kesucian tanah tersebut sehingga tidak bisa
dihukumi najis yang disebabkan keraguan. Sedangkan qoul yang
menjadi muqobilnya adalah sholat tersebut tidak sah dikarenakan
sesuai dengan kaidah: yang ashal adalah ketetapan kefardluan atas dzimmahnya
sedangkan dia ragu-ragu dalam pengguguran kefardluan sholat itu
padahal kefardluan tidak bisa menjadi gugur disebabkan keraguan.
Para ulama madzhab Hanbaliyah sholat di pekuburan itu hukumnya tidak sah baik pekuburan yang sudah lama maupun yang masih baru,sering digali maupun tidak. Namun demikian tidak boleh dilarang melakukan sholat di tempat yang terdapat satu sampai dua buah kuburan dikarenakan tidak dinamakan pekuburan karena yang dimaksud Al makbaroh adalah nama bagi pekuburan yang mencakup tiga buah kuburan atau lebih. Mereka (Hanabilah) meriwayatkan bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kategori Al makbaroh maka sekalilingnya tidak bisa dipakai untuk tempat sholat. Mereka menyatakan bahwa: boleh melakukan shalat dirumah atau bangunan yang dikubur dirumah tersebut tiga buah kuburan atau lebih sebab yang demikian tidak bisa dinamakan AL MAKBAROH (PEKUBURAN). Inilah pernyataan para fuqoha (ulama ahli fiqih) tentang masalah shalat di perkuburan. Mereka tidak menyinggung-nyinggung masalah sholat di masjid yang ada kuburan disampingnya.
Para ulama madzhab Hanbaliyah sholat di pekuburan itu hukumnya tidak sah baik pekuburan yang sudah lama maupun yang masih baru,sering digali maupun tidak. Namun demikian tidak boleh dilarang melakukan sholat di tempat yang terdapat satu sampai dua buah kuburan dikarenakan tidak dinamakan pekuburan karena yang dimaksud Al makbaroh adalah nama bagi pekuburan yang mencakup tiga buah kuburan atau lebih. Mereka (Hanabilah) meriwayatkan bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kategori Al makbaroh maka sekalilingnya tidak bisa dipakai untuk tempat sholat. Mereka menyatakan bahwa: boleh melakukan shalat dirumah atau bangunan yang dikubur dirumah tersebut tiga buah kuburan atau lebih sebab yang demikian tidak bisa dinamakan AL MAKBAROH (PEKUBURAN). Inilah pernyataan para fuqoha (ulama ahli fiqih) tentang masalah shalat di perkuburan. Mereka tidak menyinggung-nyinggung masalah sholat di masjid yang ada kuburan disampingnya.
0 Response to "Beberapa Hukum Menurut Para Imam"
Post a Comment